Selular.ID – PT Bank Jago Tbk (ARTO) memperkenalkan konsep produk pembiayaan bertanggung jawab (responsible lending) dalam program SDG Innovation Accelerator for Young Professionals (SDGI) 2024.
Produk ini merujuk pada upaya untuk memajukan kesehatan keuangan yang direkomendasikan oleh Principles of Responsible Banking (PRB) dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Bank Jago terpilih sebagai salah satu tim inovator muda terbaik dalam program SDG Innovation Accelerator for Young Professionals (SDGI) 2024 dengan mengajukan konsep inovasi produk pembiayaan yang bertanggung jawab (responsible lending).
Baca juga: Harga Saham Bank Jago ARTO Pasca Pembobolan Rekening Rp1,39 M
Head of Sustainability & Digital Lending Bank Jago Andy Djiwandono mengatakan, konsep pembiayaan yang bertanggung jawab tersebut mengacu pada PRB dari PBB. PRB ini, jelas dia, menawarkan framework yang jelas mengenai inklusi keuangan dan kesehatan keuangan.
“Kami ingin nasabah semakin maju karena mereka bisa mendapatkan akses ke pinjaman yang bertanggung jawab sekaligus bisa membantu meningkatkan kesehatan keuangan mereka. Sehingga kita sama-sama maju, kami maju, mereka maju,” kata Andy.
Menurutnya, ide awal rancangan konsep pembiayaan bertanggung jawab muncul dari kepedulian Bank Jago terhadap isu-isu Sustainable Development Goals (SDGs), terutama terkait cara meningkatkan kesehatan finansial masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Konsep responsible lending ini sejalan dengan aspirasi Bank Jago untuk meningkatkan kesempatan tumbuh berjuta orang melalui solusi keuangan digital yang berfokus pada kehidupan,” kata dia.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) di industri peer to peer (P2P) lending naik dari posisi 2,29 persen pada Desember 2021 menjadi 2,78 persen pada Desember 2022 dan kemudian naik lagi menjadi 2,93 persen pada Desember 2023.
Pada kesempatan yang sama, Consumer Business Manager PT Bank Jago Tbk, Muhammad Pandu, menyebut bahwa tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) saat ini meningkat hingga 27 dibandingkan 2022.
Menurutnya, hal itu disebabkan karena banyak konsumen pinjaman online (pinjol) yang tidak punya kemampuan mengatur uang dan mengembalikan pinjaman.
“Kredit macet pinjol di Indonesia, ini kita ambil dari beberapa media teman-teman semua, itu meningkat 27 persen dibandingkan 2022. Yang artinya dengan maraknya pinjaman di Indonesia sekarang, itu tidak diimbangi dengan kemampuan untuk mengatur uang dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman yang sepadan,” katanya.
Biang masalah pun bukan hanya dari sisi konsumen, tapi juga di sisi perusahaan pemberi pinjaman.
Menurut Pandu, banyak perusahan pemberi pinjaman, baik P2P lending maupun perbankan digital, yang memperdaya calon konsumen untuk membuka pinjol.
Selain itu, perusahaan pinjol juga kerap menawarkan limit pinjaman lebih dari kemampuan calon pengguna. Ada pula perusahaan pinjol yang tidak transparan dan membingungkan pengguna dalam memberikan biaya simpanan.
“Bahkan di riset kami, kami temukan ada beberapa yang bahkan ketika mau klik setuju di situ sebenarnya di tulisan kecil 10 persen dari pinjaman ini akan diambil untuk biaya admin,” ujar Pandu.
Gabungan dari berbagai kecurangan dan ketidaktransparanan itu jelas merugikan konsumen. Padahal, pinjol pada mulanya hadir untuk menyelesaikan masalah konsumsi masyarakat Indonesia. Itu pun dilakukan dengan persyaratan cukup ketat dan waktu pengurusan yang cukup panjang.
“Tapi, memang tidak dipungkiri bahwa semakin ke sini itu memang ada beberapa pinjol yang datang dengan elemen-elemen yang kita sebut predatory. Itu yang kadang-kadang menyebabkan atau bahkan memperdaya peminjam sendiri,” ujarnya.
Pandu menilai bahwa kondisi ini dapat menjadi kesempatan bagi Bank Jago untuk menawarkan skema pembiayaan yang bertanggung jawab kepada konsumen agar mereka lebih tertib dalam mengembalikan pinjaman. Juga, dalam waktu lama, meningkatkan kesehatan finansial konsumen.