Selular.ID – CEO Nokia Pekka Lundmark menyebutkan tantangan yang terus berlanjut bagi divisi Jaringan Selular selama Q2 yang berkontribusi terhadap penurunan penjualan sebesar 18% tahun-ke-tahun di seluruh bisnis, meskipun ia menyebutkan tren positif di wilayah lain dan mengulangi prediksi kebangkitan pada semester kedua 2024.
Dalam laporan hasil keuangannya, eksekutif tersebut mengaitkan penurunan penjualan Nokia sebesar €4,5 miliar sebagian karena Q2 2023 menjadi puncak pembelanjaan 5G di India, sehingga menjadikannya perbandingan yang sulit.
Namun, ia juga mengindikasikan bahwa operator selular tetap berhati-hati dalam membelanjakan capex pada kuartal terakhir. Kebijakan pemangkasan itu berdampak buruk pada divisi Jaringan Selular yang selama ini menjadi pilar perusahaan.
Di sisi positifnya, Lundmark menambahkan bahwa sejauh ini telah terjadi “aktivitas tender pelanggan yang signifikan” pada 2024, dengan Nokia memenangkan sejumlah kesepakatan.
Perusahaan juga memperoleh €150 juta terkait dengan penyelesaian kontrak dengan operator AS AT&T, yang menandatangani kesepakatan terbuka RAN dalam jumlah besar dengan saingannya Ericsson pada akhir 2023.
Dia mengatakan kesimpulan negosiasi dengan AT&T mengenai perjanjian RAN yang ada “memberi kami kejelasan tentang jalan ke depan dan memastikan bahwa kami mempertahankan nilai yang disepakati dalam kontrak”.
Baca Juga: Nokia Memperbarui Jaringan 5G XL Axiata di Empat Kota di Indonesia
Di tempat lain, Lundmark menyoroti peningkatan tren penerimaan pesanan, terutama di divisi Infrastruktur Jaringan yang fokus pada tetap, dengan harapan akan adanya “peningkatan yang berarti dalam penjualan bersih” di seluruh Nokia pada semester kedua.
“Meskipun dinamikanya membaik, pemulihan penjualan bersih terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya, sehingga berdampak pada asumsi penjualan bersih grup bisnis kami untuk 2024”, ujar Pekka.
Walau pun demikian, Pekka menambahkan, pihaknya tetap berada di jalur yang tepat untuk mencapai prospek setahun penuh yang didukung oleh tindakan cepat terhadap biaya.
Nokia saat ini sedang dalam proses pemotongan biaya overhead dan melaporkan bahwa pihaknya telah “bertindak” sebesar €400 juta dari target pengurangan biaya yang diumumkan sebelumnya sebesar €800 juta hingga €1,2 miliar pada akhir 2026.
Laba bersih vendor tersebut turun 20% menjadi €328 juta, dengan angka yang disesuaikan untuk memperhitungkan penjualan bisnis kabel bawah laut yang tertunda dan realokasi divisi tersebut ke dalam pembukuan Nokia, penurunan nilai terkait, dan item-item lain yang hanya terjadi sekali saja.
Menurunnya kinerja Nokia pada Q2-2024, sejatinya telah tercermin pada kuartal sebelumnya. Kehilangan kontrak besar dari AT&T, karena berpindah ke Ericsson tahun lalu, membuat Nokia sedikit limbung.
Penjualan jaringan seluler kuartal pertama turun 39% dari tahun ke tahun, menjadi €1,58 miliar ($1,7 miliar). Meskipun Nokia juga menandai peningkatan margin kotornya, grup bisnis jaringan seluler tersebut mengalami kerugian operasional sebesar €42 juta ($45 juta), dibandingkan dengan laba sebesar €137 juta ($147 juta) pada tahun sebelumnya.
Kondisi itu pada akhirnya memaksa Pekka Lundmark mengurangi jumlah karyawan menjadi antara 72.000 dan 77.000 karyawan pada akhir 2026. Tahun lalu, Nokia mempekerjakan 8,689 orang, menurut laporan tahunan terbaru perusahaan.
Baca Juga: Nokia Modernisasi 4.400 Site Jaringan 5G XL Axiata di Jawa Tengah
Belanja Modal Operator Menyusut Drastis
Menurunnya kinerja Nokia tak lepas dari melesunya bisnis jaringan. Di luar Amerika, operator secara global merasa tidak perlu lagi berinvestasi pada peralatan jaringan, sehingga mengurangi belanja modal mereka.
Firma riset pasar Omdia, anak perusahaan Light Reading, telah menghitung bahwa keseluruhan pengeluaran untuk produk jaringan akses radio (RAN) turun 11% pada tahun lalu. Mereka memperkirakan kontraksi lain antara 7% dan 9% tahun ini.
Lemahnya minat belanja sebagian disebabkan oleh kegagalan 5G dalam menghasilkan pendapatan tambahan bagi operator selular. Tercatat, keluhan mengenai rendahnya pengembalian investasi semakin meningkat pada tahun lalu.
Sejatinya tak hanya Nokia yang kini merana, vendor sejenis seperti Ericsson dan Samsun juga tengah mengalami paceklik.
Seperti Nokia, Ericsson mengatakan akan mengurangi jumlah karyawan di Swedia sebanyak 1.200 posisi di tengah kondisi yang “menantang”.
Laporan Q1-2024 menunjukkan bahwa jumlah karyawan turun 6.389 posisi antara akhir 2022 dan Maret 2024, menjadi 99.140.
Penjualan bisnis jaringan Ericsson turun 21% pada kuartal pertama menjadi 33,7 miliar kronor Swedia ($3,2 miliar), dibandingkan periode tahun sebelumnya.
“Inisiatif biaya” bertanggung jawab atas peningkatan margin kotor sebesar 4,3 poin persentase menjadi 44%, kata Ericsson.
Baca Juga: Sukses Turn Around, Pekka Lundmark Pacu Terus Kinerja Nokia
Bisnis jaringan yang melesu juga mendera Samsung. Pendapatan bisnis jaringan Samsung turun 31% pada kuartal pertama 2024, menjadi hanya 740 miliar won Korea Selatan (US$530 juta), dibandingkan periode tahun sebelumnya.
Penurunan tersebut mengikuti penurunan penjualan hampir 30% pada 2023, menjadi KRW3,78 triliun ($2,7 miliar).
Di Amerika Utara, salah satu pasar yang paling menguntungkan bagi vendor peralatan, perusahaan telekomunikasi mengandalkan stok yang mereka kumpulkan sebelumnya dibandingkan membeli suku cadang baru.
Verizon, pelanggan terbesar Samsung di Amerika Utara, hanya membukukan belanja modal sebesar $4,4 miliar pada kuartal pertama, turun dari $6 miliar pada sebelumnya.
Alhasil, persoalan yang sama juga menimpa Samsung, terutama menyangkut pekerja. Namun berbeda dengan Ericsson dan Nokia yang bebas dalam mengambil kebijakan, termasuk merasionalisasi karyawan, Samsung tidak dalam posisi tersebut.
Samsung diketahui hanya dapat memindahkan pekerjanya dari bisnis jaringan ke divisi lain dalam lingkungan perusahaan.
Sekitar 700 dari 4.000 karyawan di Korea Selatan sedang dipindahtugaskan, menurut sebuah berita di Business Korea belum lama ini.
Salah satu sumber menjelaskan, langkah tersebut dengan mengacu pada undang-undang ketenagakerjaan lokal yang ketat sehingga membuat PHK secara langsung sulit dilakukan.
Yang lain mengatakan program ini mempengaruhi seperempat pekerjaan teknik dan sepersepuluh pekerjaan di Amerika Utara.
Baca Juga: Bawa Nokia Keluar Dari Krisis, Pekka Lundmark Buktikan Tangan Dinginnya