JAKARTA, SELULAR.ID – Fenomena tech winter yang melanda perusahaan rintisan alias startup tahun 2022 dan 2023 lalu, masih akan terjadi pada tahun 2024 ini.
Hal tersebut dikemukakan oleh pengamat ekonomi digital sekligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi.
Tech winter sendiri merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi startup yang berguguran atau untuk menyebut penurunan minat dan investasi dalam sektor teknologi.
Namun, kata dia, secara kuantitas dan kualitas dampaknya tidak seperti tahun sebelumnya.
TONTON JUGA:
“Bisa jadi tahun 2024 masih terjadi karena masih banyak perusahaan startup yang mengalami kendala,” ujar Heru melalui saat Selular hubungi, Kamis (4/1/2024).
“Kendala dalam hal pendanaan karena kian sulit,” sambungnya.
Baca juga: Daftar Startup yang Tutup Sepanjang 2023, Bagaimana 2024?
Selain itu, Heru menjelaskan, investor juga sudah mulai ingin uang yang ditanamkannya beberapa tahun lalu kembali.
Sehingga banyak startup melakukan Initial Public Offering atau IPO—penawaran umum perdana saham—di bursa sebagai bagian mengembalikan saham atau investasi yang ditanamkan investor.
Pendanan, dia berujar, memang menjadi masalah utama, tapi masuknya aplikasi TikTok ke Indonesia juga mengindikasikan satu temuan bahwa startup di Indonesia masih menarik bagi investasi asing.
Terutama startup unicorn (startup dengan valuasi melampaui US$1 miliar) dan dekacorn (startup dengan valuasi melampaui US$ 10 miliar).
“Apakah tech winter masih terjadi di 2024? Memang ini tidak bisa hilang 100 persen,” ucap Heru.
Namun Heru menuturkan fase 2022-2023 banyak startup mengubah dan melakukan strategi baru meskipun tak menampik ada yang akhirnya bangkrut.
Baca juga: Guru Jadi Profesi yang Paling Banyak Gunakan Pinjol
Starup yang bertahan mengurangi atau melakukan efisiensi terhadap bagaimana roda perusahaan berjalan.
Efisiensi bisa dilakukan dengan berbagai banyak model. Dia mencontohkan misalnya pengurangan karyawan atau fasilitas.
Dulu, kata Heru, banyak fasilitas bermain di berbagai kantor startup mulai dikurangi dan diefisienkan.
Yang tidak dapat dihindari rasionalisasi gaji karena selama ini gaji startup dinilai cukup menggiurkan dan cukup tinggi.
“Dengan sulitnya pendanaan banyak perusahaan startup yang harus realistis,” tutur Heru.
“Karena sulit bagi mereka untuk keluarkan biaya operasional besar,” sambungnya.
Sehingga pengurangan gaji ini bisa menjadi win-win solution bagi karyawan daripada terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pengurangan karyawan.
Terutama untuk manajemen karena manajemen cukup tinggi gajinya dan dapat saham maupun fasilitas lainnya.
Baca juga: Pendapatan Google Cs Melebihi Telkom, Regulasi OTT Wajib Dibuat