Kamis, 31 Juli 2025

The Fall & The Rise: TikTok Meraksasa, Vine Tinggal Nama

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Jakarta, Selular.ID – Perusahaan asal China, ByteDance mungkin tidak pernah menyangka, TikTok yang dikembangkan bisa mencetak sukses dalam waktu relatif singkat.

Padahal, seperti banyak produk atau aplikasi China lainnya, TikTok hanyalah follower.  Di awal kehadirannya, TikTok bisa disebut sebagai copy paste produk lain, yaitu Vine.

Sekedar diketahui, jauh sebelum nongolnya TikTok yang kemudian meraksasa,  Vine merupakan aplikasi video pendek pertama di dunia.

Aplikasi ini digagas Hofmann berserta dua sahabatnya, Rus Yusupov dan Colin Krol. Vine pertama kali melenggang ke publik pada Januari 2013.

Dengan video berdurasi pendek, hanya 6 hingga 10 detik, Vine merupakan antitesa dari Youtube dan Vimeo. Dua aplikasi video yang merajai jagat industri microvlogging.

Di awal kehadirannya, Vine hanya dipandang sebelah mata. Durasi video yang super pendek, membuat para penggagas Vine dianggap ‘nyeleneh.

Namun siapa sangka publik merespon berbeda. Pelan namun pasti, kehadiran Vine mulai membetot pengguna smartphone, terutama kalangan milenial yang senang mencoba hal-hal baru.

Digemari kalangan muda, Vine pun berkembang menjadi platform media hiburan. Video yang dipublikasikan di jejaring sosial Vine juga dapat dibagikan di berbagai platform jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.

Baca Juga: Alasan TikTok Investasi di Indonesia

Aplikasi Vine juga digunakan untuk menelusuri video, bersama dengan sekelompok video yang diunggah berdasarkan tema, dan berharap pengguna dapat “menjadi tren” video. Vine bersaing dengan layanan media sosial lainnya seperti Instagram dan Snapchat.

Keterlibatan sejumlah konten kreator ternama, seperti Shaw Mendes, Jake Paul, Lele Pons, Stewart Reynolds, dan Wahyu Ichwandardi alias “Pinot” dari Indonesia, membuat popularitas Vine semakin menanjak.

Hasilnya, pada Desember 2015, Vine digunakan lebih dari 200 juta pengguna. Membuat Vine sukses nangkring di posisi puncak daftar aplikasi terlaris, baik di Apps Store maupun Google Play Store.

Meroketnya jumlah pengguna, membuat Twitter tertarik untuk berinvestasi. Saat masih dikomandani oleh Jack Dorsey, raksasa microblogging itu rela menggelontorkan dana hingga USD 30 juta.

Menjadi bagian dari Twitter, Vine diprediksi bakal tambah meroket. Banyak pihak yang percaya, Vine akan menjadi platform besar yang mampu menandingi Youtube, situs video sharing milik Google.

Sayangnya, harapan tersebut menemui jalan terjal. Hanya berselang empat tahun usai diluncurkan, Vine berhenti beroperasi.

Twitter selaku pemilik Vine menganggap aplikasi ini gagal berkembang dan hanya merongrong kinerja keuangan. Membakar uang sambil kehilangan pangsa pasar, jelas menunjukkan model bisnis Vine tidak berkelanjutan.

Terdapat lima alasan utama mengapa Vine ditutup.

Pertama, Gagal Memenuhi Kebutuhan pasar: Pembuat konten dibatasi oleh video perulangan 6 detik dan tidak dapat bereksperimen dengan jenis konten video pendek baru.

Kedua, Masalah Monetisasi: Vine tidak mau menguji opsi monetisasi, yang mengakibatkan kurangnya pendapatan bagi perusahaan.

Ketiga, Gagal Mengantisipasi Persaingan: Pesaing seperti Instagram dan TikTok yang meluncurkan fitur video berdurasi 15 detik menyerbu pasar video bentuk pendek Vine yang menyebabkan kejatuhan mereka.

Keempat, Masalah Perusahaan Induk: Vine bukan prioritas utama untuk perusahaan induknya, Twitter. Perusahaan memiliki fitur video sendiri yang membatalkan keberadaan Vine.‍

Kelima, Masalah Churn Eksekutif dan Kepemimpinan: Vine kesulitan mempertahankan anggota staf kunci dan mempertahankan kepemimpinan yang baik.

Baca Juga: TikTok Shop Buat Shopee dan Lazada Sepi di Asia Tenggara

Halaman Selanjutnya..

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU