Selular.ID – Seperti kebanyakan negara yang memiliki sistem otoritarian, China memiliki sejarah panjang dalam pengaturan dan kontrol sosial terhadap warganya. Kebijakan yang ditempuh tak berbeda, saat era konvensional hingga kini berkembang di era digital.
Untuk membendung pengaruh buruk internet, China membangun Great Firewall yang secara khusus menjauhkan situs web yang masuk daftar hitam, sehingga tidak bisa diakses oleh masyarakatnya. Daftar ini mencakup sebagian besar platform media sosial dan layanan streaming terutama platform dari luar negeri.
Great Firewall atau Tembok Api Besar adalah kombinasi tindakan legislatif dan teknologi yang diberlakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok untuk mengatur segala aktifitas masyarakat dalam mengakses internet di dalam negeri.
Perannya dalam penyensoran internet di China adalah memblokir akses ke situs web asing tertentu dan memperlambat lalu lintas internet lintas batas.
Great Firewall beroperasi dengan memeriksa paket protokol kontrol transmisi (TCP/transmission control protocol) untuk kata kunci atau kata sensitif.
Jika kata kunci atau kata sensitif muncul di paket TCP, akses akan ditutup. Jika satu tautan ditutup, lebih banyak tautan dari mesin yang sama akan diblokir oleh Great Firewall.
Baca Juga: Jejak 4 Raksasa China di Bisnis Data Center Indonesia
Efeknya meliputi banyak hal, seperti membatasi akses ke sumber informasi asing, memblokir alat internet asing (misalnya Google Search, Facebook, Twitter, Wikipedia, dan lainnya) dan aplikasi seluler, hingga mengharuskan perusahaan asing untuk beradaptasi dengan peraturan domestik.
Meski dibanjiri protes negara barat, China menutup saluran sosial “tiga besar” (Facebook, Twitter, dan YouTube) pada 2009, lebih dari setahun sebelum Musim Semi Arab yang memicu revolusi di sejumlah negara, seperti Mesir, Suriah, Tunisia, Libya, dan Yaman. China juga melarang VPN (virtual private network), kecuali yang dikendalikan pemerintah.
Sikap keras China terhadap berbagai platform sosial milik asing, semakin menjadi pasca terjadi kerusuhan Xinjiang, Urumqi, Juli 2009.
Seperti diketahui, terinspirasi Arab Spring, kelompok minoritas Muslim China, Uyghur, memulai serangkaian protes yang berubah menjadi serangan kekerasan.
Sama seperti Musim Semi Arab, para aktivis ini menggunakan Facebook sebagai bagian dari jaringan komunikasi mereka.
Setelah pemerintah Tiongkok memadamkan kerusuhan, mereka berusaha membungkam warganya lebih lanjut. Pemerintahan Presiden Xi Jinping memblokir semua metode komunikasi yang memungkinkan warga untuk berbagi apa yang terjadi.
Melarang media sosial membantu menjaga China dalam gelembung metaforis. Pemerintah juga menutup semua acara politik dan nasional.
Secara keseluruhan, kebijakan keras ini memungkinkan pemerintah China untuk mengontrol bagaimana publik global melihat peristiwa di China.
Baca Juga: Tesla Tarik 1,1 Juta Unit Mobil Listrik dari China, Penyebabnya Bikin Was-was
Jutaan Postingan di Media Sosial Dihapus
Sejatinya, negara ini memiliki situs media sosial nasionalnya sendiri yang disebut Weibo, di mana penduduk setempat dapat bergaul di bawah pengawasan pemerintah.
Melokalkan media sosial negara itu juga memungkinkan China memonopoli industri teknologinya yang sedang berkembang. Beberapa aplikasi sosial, seperti TikTok, ada di China tetapi dengan nama berbeda dan di bawah aturan ketat.
Menariknya, Facebook sebagian dibuka blokirnya di Zona Perdagangan Bebas Shanghai. Platform media sosial terbesar di dunia itu, juga sepenuhnya tidak diblokir di Makau dan Hong Kong, yang beroperasi di bawah prinsip “Satu Negara, Dua Sistem” (untuk saat ini).
Alih-alih mengendurkan kontrol, regulator dunia maya China mengungkapkan bahwa, tak kurang dari 1,4 juta postingan di sejumlah platform media sosial telah dihapus.
Reuters melaprokan, langkah penghapusan itu menyusul penyelidikan dua bulan atas dugaan kesalahan informasi, pencatutan ilegal, dan peniruan identitas pejabat negara, di antara “masalah yang dinyatakan”.
Cyberspace Administration of China (CAC) mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya telah menutup 67.000 akun media sosial dan menghapus ratusan ribu postingan antara 10 Maret dan 22 Mei sebagai bagian dari kampanye “perbaikan” yang lebih luas.
Sejak 2021, China telah menargetkan miliaran akun media sosial dalam upaya untuk “membersihkan” dunia mayanya dan mempermudah kontrol pihak berwenang.
Tindakan keras terbaru menargetkan akun pada aplikasi media sosial China populer termasuk WeChat, Douyin, dan Weibo yang termasuk dalam kategori “self media,” sebuah istilah yang secara luas mengacu pada akun yang menerbitkan berita dan informasi tetapi tidak dikelola pemerintah atau disetujui negara.
Baca Juga: Tiga Raksasa Teknologi China Garap OLED Fleksibel dengan Kamera di Dalam Layar
Beijing sering menangkap warga dan menyensor akun karena menerbitkan atau membagikan informasi faktual yang dianggap sensitif atau kritis terhadap Partai Komunis, pemerintah atau militer, terutama ketika informasi tersebut menjadi viral.
Dari 67.000 akun yang ditutup secara permanen, hampir 8.000 dihapus karena “menyebarkan berita palsu, rumor, dan informasi berbahaya,” menurut CAC.
Sekitar 930.000 akun lainnya menerima hukuman yang tidak terlalu berat, mulai dari penghapusan semua pengikut hingga penangguhan atau pembatalan hak istimewa untuk menghasilkan keuntungan.
Dalam kampanye terpisah, regulator baru-baru ini menutup lebih dari 100.000 akun yang diduga salah merepresentasikan pembawa berita dan agensi media untuk melawan munculnya liputan berita palsu online yang dibantu oleh teknologi AI.
CAC pada Jumat (26/5) mengatakan kampanye terbarunya telah menargetkan hampir 13.000 akun militer palsu, dengan nama-nama seperti “Komando Tentara Merah China”, “Pasukan Anti-teroris China” dan “Pasukan Rudal Strategis”.
Sekitar 25.000 akun lain menjadi sasaran karena menyamar sebagai lembaga publik, seperti pusat pengendalian penyakit dan pencegahan serta lembaga penelitian milik negara.
Hampir 187.000 dihukum karena menyamar sebagai bisnis media berita, sementara lebih dari 430.000 diduga menawarkan nasihat profesional atau layanan pendidikan tanpa memiliki kualifikasi profesional yang relevan.
Sekitar 45.000 akun ditutup karena “isu hangat, pengejaran pengaruh, dan monetisasi ilegal”.
Regulator mengatakan telah “secara aktif berkoordinasi dengan keamanan publik, pengawasan pasar dan departemen lain, untuk memberikan pukulan berat dan memperbaiki ‘media mandiri’ ilegal.”
“Pada saat yang sama, (kami) juga mengimbau mayoritas warganet untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan dan pelaporan (‘self-media’ ilegal), memberikan petunjuk dan bersama-sama menjaga dunia maya yang bersih,” tambah CAC.
Baca Juga: Top 5 China Q1-2023: Pasar Smartphone Menyusut 11%