Selular.ID – Pesatnya perkembangan teknologi generasi 4.0, yang salah satunya ditandai dengan kehadiran sistem kecerdasan buatan, artificial intelligence (AI), menimbulkan kekhawatiran di berbagai bidang. Karena itulah, sektor pendidikan memiliki peran penting dalam menyiapkan generasi yang mampu mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan zaman.
Di sisi lain, bidang pendidikan juga menghadapi ancaman dengan adanya kehadiran kecerdasan buatan.
Stevanus Wisnu Wijaya, Dekan Sekolah STEM Universitas Prasetiya Mulya menuturkan, ada kekhawatiran, pada suatu saat nanti, kecerdasan buatan akan menggantikan peran
guru atau dosen.
Menurutnya, kekhawatiran itu bisa disikapi secara positif. Kehadiran AI jangan dilihat sebagai sebuah ancaman, justru sebagai sebuah kesempatan untuk mendukung proses pendidikan.
Salah satu manfaat kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan, kata Wisnu, adalah dengan menjadikan AI sebagai sumber pengetahuan untuk membangun inovasi baru.
Jika dimanfaatkan dengan baik, AI bisa menghadirkan pengalaman belajar yang lebih baik dan menarik bagi siswa
“Dengan demikian, para siswa akan terdorong untuk menjadi lebih kreatif yang pada akhirnya bisa turut berperan dalam perkembangan teknologi itu sendiri, dengan menjadi co-creator dan inovator teknologi-teknologi baru,”ujar Wisnu, dalam acara Teachers Gathering 2023, baru-baru ini.
Baca Juga:CEO IBM Arvind Krishna: Tak Ada Karyawan Baru yang Kemampuannya Setara Kecerdasan Buatan
Bagi guru, AI sangat potensial dimanfaatkan sebagai alat untuk menganalisis data. Dengan kemampuan kecerdasan buatan yang terus berkembang, para guru bisa menggunakan hasil analisis tersebut untuk membuat pemetaan minat dan bakat para siswa. Hingga merancang model pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan.
Noer Hassan Wirajuda, Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional Prasmul, mengatakan, para pendidik juga harus peka dalam melihat tren dalam proses pembelajaran.
Baru-baru ini, Pusat Studi Kebangsaaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya melakukan survei terhadap 1.600 mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk mengetahui cara belajar dan bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan.
“Dari survei itu terungkap, para siswa belajar melalui internet dan media sosial. Sisanya, sebanyak 26 persen menjawab belajar dari kelas, dan 16 persen lainnya belajar dari buku,” ujar Hassan.
Hasil survei ini, kata dia, memperlihatkan tren baru yang bisa menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pendidik. Karena survei tersebut juga menunjukkan para anak didik menginginkan proses pembelajaran yang lebih interaktif.
Menurut Hassan, para pendidik, guru maupun dosen, harus siap menghadapi perubahan tersebut dan menangkap keinginan para anak didiknya.
Guru perlu mengembangkan metode baru dalam pembelajaran yang lebih interaktif, tanpa mengurangi kualitas muatan ilmu yang disampaikan.
Sebagai contoh, para pendidik bisa memanfaatkan media sosial, kecerdasan buatan, sampai teknologi metamesta (metaverse) untuk memberikan materi pendidikan secara multimedia, sehingga proses belajar para siswa menjadi lebih menarik.
Teknologi berkembang revisi kurikulum harus lebih cepat
Sementara itu, Bukik Setiawan, Ketua Yayasan Guru Belajar, menekankan pentingnya penguatan pengembangan keahlian dan kemampuan guru.
Saat ini, kata Bukik, kapasitas program pengembangan guru sangat kecil sehingga berjalan lamban.
Setiap tahun, pemerintah hanya menyediakan ruang pengembangan kapasitas untuk 300 ribu guru, tidak sebanding dengan kebutuhannya. Maka tak heran jika banyak pendidik yang merasa kesulitan mengikuti perubahan.”
Menurut Bukik, pada kenyataannya, saat ini, di Indonesia perubahan kurikulum terhitung lamban.
Idealnya revisi atau penyesuaian kurikulum itu dilakukan setiap tahun, berdasarkan hasil evaluasi. Terlebih dengan pesatnya perkembangan teknologi seperti sekarang.
Namun, ia menambahkan, perubahan kurikulum per lima tahun saja sudah terasa terlalu cepat, karena pengembangan kapasitas gurunya yang juga berjalan lamban. “Para pendidik jadi terkesan kewalahan mengikuti perkembangan zaman.”
Sebagai informasi, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dalam kajian terbarunya, menyatakan ada potensi 23 juta orang terancam kehilangan pekerjaan pada 2030 sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan digitalisasi.
Baca Juga:Anggota Parlemen Mulai Bahas Nasib AI, Tapi Belum Jelas
Karakteristik pekerjaan yang terancam, dalam kajian Kadin, antara lain pekerjaan yang terstandarisasi, dapat dilakukan dengan bantuan teknologi, tingkat risiko kecelakaan kerja tinggi, serta pekerjaan yang kurang fleksibel.