Selular.ID – Pasar smartphone Indonesia sejatinya tidak sedang baik-baik saja. Tercermin pada 2022, di mana permintaan anjlok drastis.
Sesuai laporan bertajuk “Worldwide Quarterly Mobile Phone Tracker” yang dikeluarkan IDC pada Februari lalu, permintaan ponsel anjlok ke titik terendah.
Menurut lembaga riset yang berbasis di Framingham, Massachusetts (AS) itu, permintaan ponsel pada tahun lalu turun hingga 14,3% year over year (YoY) menjadi hanya 35 juta unit. Itu adalah rekor permintaan terendah dalam 13 tahun terakhir.
Padahal sebelum pandemi, daya serap ponsel di pasar domestik mencapai 50 – 60 juta unit per tahun. Angka itu menempatkan Indonesia sebagai pasar ponsel terbesar ke empat di dunia, setelah China, India, dan AS.
IDC menyimpulkan bahwa, penurunan ini disebabkan oleh rendahnya daya beli masyarakat akibat adanya peningkatan harga barang seperti bensin dan komoditas (termasuk ponsel), serta kurangnya pasokan smartphone pada segmen entry-level akibat terbatasnya produksi chipset.
Meski pasar menurun tajam, namun Indonesia tetap menyimpan potensi yang besar. IDC menyebutkan bahwa, segmen premium kelak bakal menjadi salah satu lumbung utama bagi para vendor. Terutama mereka selama ini konsisten bermain di segmen high end.
Pasalnya, perangkat dengan harga lebih tinggi dalam rentang harga di atas Rp9 juta memiliki kinerja yang lebih baik sepanjang 2022, tumbuh 36,9% YoY.
Dengan permintaan yang masih tinggi, wajar jika penurunan yang terjadi pada tahun lalu, tidak menyurutkan para pemain baru yang mencoba peruntungan.
Baca Juga: Masuk Pasar Indonesia, OnePlus Bakal Sasar Komunitas
Terbukti pada kuartal keempat 2022, pasar Indonesia kedatangan dua brand asal China, masing-masing ZTE dan iQOO.
Seperti diketahui, ZTE resmi meluncurkan tiga ponsel terbaru di Indonesia pada Selasa (20/9/2022). Tiga smartphone Android tersebut, yakni ZTE Blade V40 Vita, ZTE Blade A72 dan ZTE Blade A52.
ZTE bukanlah pemain asing karena sebelumnya selama bertahun-tahun pernah menjajakan produknya di Indonesia, utamanya melalui kerjasama (bundling) dengan operator selular. Namun setelah meluncurkan tiga varian Nubia pada April 2017, ZTE tak lagi aktif.
Sedangkan iQOO, hadir menyapa konsumen di Tanah Air pada 8 Desember 2022 lewat varian iQOO 11 5G. Kependekan dari I Quest On and On, iQOO adalah bagian dari merek Vivo, vendor terbesar ketiga di Indonesia berdasarkan laporan IDC 2022.
OnePlus Come Back Setelah Enam Tahun Hengkang
Setelah ZTE dan iQOO, konsumen di Indonesia bersiap untuk menerima kedatangan pemain baru lainnya, yaitu OnePlus.
Kepastian masuknya OnePlus disampaikan langsung oleh Patrick Owen, Chief Marketing Office OnePlus Indonesia. Menurut Patrick, OnePlus berkomitmen untuk menghadirkan varian produk smartphone berkualitas di Indonesia yang dinantikan para pelanggan OnePlus.
Sejauh ini, Patrick belum akan membuka sepenuhnya varian apa yang akan diluncurkan kelak. Ia hanya mengatakan bahwa OnePlus akan menghadirkan berbagai fitur canggih dengan harga produk yang terjangkau dan bersaing dengan pengembang smartphone di kelasnya.
“OnePlus juga selalu berupaya untuk membangun ekosistem smart device 5G sesuai dengan keunggulannya sebagai smartphone yang ‘Fast and Smooth”, ujar Patrick, di Jakarta (4/4/2023).
Sejatinya, seperti halnya ZTE, OnePlus bukanlah merek smartphone yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Menengok ke belakang, OnePlus mengibarkan bendera putih pada 2017.
One Plus mengaku terpaksa meninggalkan gelanggang Indonesia karena tak mampu memenuhi aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30%.
Baca Juga: OnePlus 11 Jupiter Rock Bakal Segera Meluncur di Negara Ini
Padahal sebelum memutuskan balik badan, One Plus sempat memasarkan tiga perangkat yang sudah 4G enable.
Namun karena terkendala regulasi, perangkat tersebut terpaksa di down grade menjadi 3G. Dalam keterangan resminya, OnePlus Indonesia memutuskan resmi tak beroperasi di pasar dalam negeri, tepat pada awal Juni 2017.
Kini setelah enam tahun berselang, OnePlus akan kembali menyambangi pasar Indonesia. Hal itu tentu menjadi kabar baik, karena konsumen Indonesia memiliki lebih banyak pilihan, terutama segmen menengah atas yang selama ini menjadi kekuatan OnePlus.
Kehadiran OnePlus pastinya akan menjadi ujian bagi dua vendor yang selama ini bersaing ketat, Apple dan Samsung.
Pasca Huawei yang seolah mati suri akibat sanksi Amerika Serikat, keduanya memimpin segmen yang identik dengan kalangan berduit itu.
Namun di sisi lain, OnePlus menghadapi tantangan yang tak ringan. Setidaknya terdapat empat tantangan utama yang dihadapi oleh OnePlus.
Pertama, pasar Indonesia sudah penuh sesak oleh banyaknya pemain, sehingga upaya mencuri pangsa pasar tidaklah mudah.
Apalagi, lima posisi teratas (Oppo, Samsung, Vivo, Xiaomi, Realme) terbilang sudah sangat solid. Terbukti, sejak 2019 tidak ada vendor lain yang mampu menyodok dan mengubah posisi lima besar.
Kedua, persepsi merek OnePlus yang rendah. Karena hengkang cukup lama, konsumen tidak banyak yang tahu tentang keberadaan OnePlus sebagai salah satu merek smartphone terkemuka. Kecuali mereka yang sebelumnya merupakan pengguna OnePlus.
Untuk bisa meraih persepsi merek yang kembali bagus, tak ada pilihan bagi OnePlus kecuali menggencarkan aktifitas pemasaran, sejalan dengan upaya membangun layanan pasca penjualan (after sales service).
Ketiga, perilaku konsumen dan channel penjualan yang berubah drastis. Lonjakan pengguna internet membuat industri e-commerce semakin berlari kencang.
Menurut data Wearesocial dan Hootsuite, sekitar 90% pengguna internet di Indonesia pernah berbelanja online. Hal ini cukup membuktikan bahwa masyarakat semakin nyaman belanja secara daring.
Selain mempersingkat waktu dan tenaga, ada banyak promo yang diberikan selain bebas ongkos kirim, sehingga belanja jadi lebih hemat. Belum lagi fasilitas free ongkir (ongkos kirim), kemudahan cara bayar, dan kecepatan waktu pengiriman.
Perubahan perilaku konsumen di era digital, tentu menjadi peluang sekaligus tantangan bagi OnePlus. Vendor perlu merumuskan strategi yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pelanggan, yang utamanya di-drive oleh perkembangan teknologi dan media sosial.
Meski mengakses internet sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Begitu pun belanja daring yang sudah menjangkiti sebagian masyarakat, terutama kalangan milenial, namun hal itu tidak sepenuhnya menggantikan toko fisik.
Pasar offline dinilai tetap sangat penting, karena pelanggan Indonesia masih butuh experience terhadap sebuah produk sebelum memutuskan untuk membelinya. Saat ini perbandingan pasar offline dengan online adalah 85% – 15%.
Meski masih terbilang kecil, bukan tidak mungkin, kedepannya pertumbuhan pasar online semakin meningkat, sejalan dengan infrastruktur digital yang semakin baik, sehingga mendorong kepercayaan konsumen terhadap platform e-commerce.
Baca Juga: Bos OnePlus Isyaratkan Perusahaan Jajaki Ponsel Lipat Segera
Keempat, permintaan smartphone melemah karena terpangkasnya daya beli masyarakat. Seperti diulas pada awal artikel ini, pasar smartphone Indonesia kini tidak sedang baik-baik saja.
Faktor ekonomi seperti inflasi berdampak signifikan terhadap daya beli konsumen, terutama di kalangan masyarakat berpendapatan rendah yang lebih mengutamakan barang-barang kebutuhan pokok.
Selain itu, terjadi pergeseran pengeluaran ke bidang lain seperti traveling karena orang-orang kembali ke aktivitas sebelum pandemi.
Meski pasar menurun tajam, namun sebagai negara dengan permintaan ponsel terbesar keempat di dunia, Indonesia tetap menyimpan potensi yang besar.
Terutama segmen premium yang terus bertumbuh sejalan dengan kebutuhan konsumen yang menginginkan perangkat lebih baik, walaupun harus mengeluarkan dana lebih banyak.
Hal ini sangat cocok dengan positioning dengan OnePlus yang sejak awal memilih bermain di segmen mid to high end. Bukan entry level yang bisa disebut sudah berdarah-darah.
Selain menghadapi pesaing yang lebih sedikit, segmen mid to high end juga menawarkan ‘cuan’ yang lebih baik. Alih-alih bersaing di harga murah, OnePlus dapat menarik konsumen yang lebih mengedepankan spek produk namun dengan harga kompetitif.
Dapat disimpukan, meski permintaan smartphone saat ini cenderung melemah, namun selalu ada peluang bagi pemain baru, seperti OnePlus. Apalagi, konsumen Indonesia cenderung tidak loyal pada satu brand.
Studi Global Consumer Loyalty Nielsen yang dipublikasikan pada Agustus 2019, menunjukkan bahwa kini konsumen secara aktif mencari merek-merek baru karena pertaruhan membeli produk-produk baru ini didukung oleh faktor pendukung seperti meningkatnya tingkat pendapatan di negara berkembang.
Di Indonesia sendiri, lebih dari sepertiga atau sebesar 38 persen konsumen menyatakan bahwa mereka suka mencoba hal-hal baru, dan setengah atau 50 persen dari konsumen lebih memilih untuk tetap dengan apa yang sudah mereka kenal. Meski demikian, mereka dapat pindah merek untuk coba-coba.
Terlepas dari beragam tantangan yang menghadang, kiat dan strategi pemasaran akan menentukan nasib OnePlus ke depannya. Apakah OnePlus akan mampu berkibar seperti janji Patrick Owen, atau hanya sekedar menjadi pemain pinggiran.
Baca Juga: OnePlus Nord CE 3 Lite Meluncur Ini Harga dan Spesifkasi Utama