Meski demikian, prediksi Frank ini banyak komunitas ilmiah patahkan.
Argumennya sederhana: bagaimana bisa gempa yang terjadi di permukaan bumi dapat Frank prediksi dengan melihat posisi tata surya?
Argumen ini tentu berdasarkan oleh fakta kalau ilmu pengetahuan sampai sejauh ini tidak mampu memprediksi datangnya gempa.
Termasuk juga kedatangan bencana pengikutnya seperti tsunami atau longsor.
Lalu, apakah ada penelitian ilmiah yang memaparkan hal ini?
Ternyata, penelitian serupa yang mirip dengan klaim SSGEOS itu pernah tertulis di jurnal sains ternama, Nature, berjudul “On the correlation between solar activity and large earthquakes worldwide” yang terbit pada tahun 2020.
Penelitinya berasal dari Università della Basilicata, Italia yang Vito Marchitelli ketuai.
Penelitian itu menyimpulkan kalau ada bukti signifikan secara statistik antara korelasi yang tinggi antara gempa bumi di dunia dengan kerapatan proton di dekat magnestosfer.
Kerapatan proton itu kemungkinan besar karena efek angin matahari, yang memodulasi kerapatan proton hingga memunculkan tarik-menarik antara ionosfer dan Bumi.
“Pengamatan luas atas beberapa efek elektromagnetik makroskopik sebelumnya yang terkait dengan gempa bumi besar, mendukung model kualitatif kami untuk menjelaskan korelasi kepadatan proton dan gempa bumi,” tulis tim peneliti.
Meski demikian, riset pengaruh tata surya terhadap kemunculan gempa bumi masih sedikit.
Untuk membuktikan kebenaran lebih lanjut, maka membutuhkan pula riset yang lebih banyak dan kredibel.
Artinya, sampai saat ini argumen mayoritas peneliti yang menyebut gempa tidak dapat orang prediksi, masih sangat bisa orang percaya.
Namun, berbagai prediksi yang Frank lakukan, misalnya, bisa menjadi lampu kuning sebagai langkah pematangan upaya mitigasi.
Baca juga: Ikuti Telegram, WhatsApp Hadirkan Fitur Pesan Audio Menjadi Teks, Berbayar kah?