GSMA merekomendasikan negara-negara yang sejauh ini merilis spektrum 5G terbatas untuk menyelidiki potensi untuk menetapkan lebih banyak di pita 850MHZ, 900MHz, 1800MHz dan 2100MHz, dengan mencatat bahwa mungkin ada kebutuhan untuk refarming ekstensif untuk menghindari interferensi.
Sebelumnya, International Telecommunication Union (ITU), dalam gelaran World Radiocommunication Conference (WRC) 2019, merekomendasi tiga spektrum untuk layanan 5G, yakni 26 GHz (24,5-27,5GHz), 40 GHz (37-43,5 GHz) dan 66 GHz.
5G adalah teknologi jaringan nirkabel terbaru untuk perangkat robotic, smart cities, IoT, smartphone, jam tangan pintar, mobil, dan entah apa lagi, tetapi belum tersedia di setiap wilayah di seluruh dunia.
Beberapa perkiraan memperkirakan bahwa pada 2025, kita akan mencapai 3,6 miliar koneksi 5G, jumlah yang diperkirakan akan tumbuh menjadi 4,4 miliar pada 2027.
Sampai akhir 2021 kemarin, total sudah ada 200 jaringan 5G komersial yang tersedia di seluruh dunia. Angka ini berasal dari total 89 negara di dunia yang sudah mengimplementasikan 5G.
Hal ini terungkap dalam laporan dari Global Suppliers Association (GSA). Dalam laporan tersebut juga terungkap ada lebih dari 99 operator yang setidaknya sedang berencana menggunakan teknologi SA (Standalone) 5G.
Dilansir dari Techradar, Rabu (12/1/ 2022), GSA menemukan ada sekitar 78 negara di dunia yang setidaknya memiliki satu jaringan 5G yang sesuai standard. Selain itu, GSA juga memprediksi empat dari lima operator 5G telah berhasil meluncurkan layanan broadband 5G Fixed Wireless Access (FWA).
Baca Juga: Kejar Indonesia, India Bersiap Lelang Spektrum 5G, Targetkan Waktu Peluncuran Maret 2023
Di Indonesia sendiri, tiga operator telah meluncurkan 5G pada 2021, masing-masing Telkomsel, Indosat Ooredoo, dan XL Axiata. Namun sejauh ini layanan 5G ketiga operator itu masih sangat terbatas.
Investasi yang terbilang mahal, terbatasnya alokasi frekwensi dan masih sedikitnya use case yang dikembangkan, membuat layanan 5G di Indonesia seolah jalan di tempat.