Jumat, 1 Agustus 2025
Selular.ID -

Sanksi Terhadap ZTE dan Huawei, Apa Sesungguhnya yang Terjadi?

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Jakarta, Selular.ID – Seperti serangan badai tornado, pekan lalu ZTE dibuat kalang kabut oleh sanksi keras yang dijatuhkan oleh Departemen Perdagangan AS. Vendor jaringan dan perangkat telekomunikasi asal China itu, dinilai tidak mematuhi perjanjian perdagangan dengan mengirim barang serta teknologi ke Iran dan Korea Utara secara ilegal.

Hukuman yang diberikan berupa larangan bagi perusahaan-perusahaan AS untuk menjual komponen peralatan telekomunikasi kepada ZTE, selama tujuh tahun ke depan. ZTE sebenarnya setuju membayar penalti USD 1,19 miliar, tapi AS menilai ZTE tak menghukum para pegawai yang terlibat sehingga kena sanksi.

Larangan itu akan mencegah ZTE mendapatkan komponen hardware utama dari perusahaan-perusahaan AS seperti Qualcomm dan Intel untuk smartphone dan peralatan jaringannya.

Bahkan ZTE terancam dilarang memakai sistem operasi Android. Sebuah keputusan drastis yang akan menimbulkan kerugian besar bagi ZTE, karena ketergantungan perusahaan tersebut terhadap sistem operasi Android yang dimiliki Google.

Tentu saja ZTE tidak begitu saja menerima sanksi yang bisa merobohkan sendi-sendi perusahaan. Dalam pernyataaan yang disampaikan kepada redaksi Selular, ZTE mengungkapkan bahwa sejak April 2016, pihaknya sangat mementingkan Kepatuhan Pengendalian Ekspor. Di dalam ZTE, kepatuhan dianggap sebagai fondasi dan titik berat kegiatan perusahaan.

Baca juga: Ini Pernyataan Resmi ZTE Atas “Perintah Penolakan” AS

Atas keputusan yang dinilai sangat memberatkan itu, ZTE bahkan berencana untuk membawa persoalan itu ke ranah hukum.

“Sanksi seperti itu bisa membuat perusahaan dalam waktu cepat menjadi koma. Kami akan melawan hukuman yang tidak fair dan tidak beralasan ini,” sebut Chairman ZTE, Yin Yimin.

Yimin mengakui perusahaannya memang membuat kesalahan, namun hukuman yang dijatuhkan terlampau berat. Sehingga ZTE divonis tidak bisa menggunakan teknologi kunci perusahaan asal AS seperti Qualcomm.

Tak dapat dipungkiri, sanksi tegas yang dijatuhkan otoritas AS terhadap ZTE, merupakan babak baru, menyusul perang dagang yang dikobarkan oleh Presiden AS Donald Trump kepada China.

Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, pesaing terdekat ZTE, Huawei harus menerima kenyataan pahit karena gagal memasuki pasar AS. Meski sudah menjalin kerjasama dengan dua operator, AT&T dan Verizon, seri Mate 10 milik Huawei, batal dinikmati oleh pelanggan di negeri Paman Sam karena alasan keamanan nasional.

Baca juga: RUU AS Larang Pemerintah Pilih Mitra Berteknologi Huawei dan ZTE

Seperti halnya ZTE, Huawei juga dengan tegas membantah tudingan bahwa mereka menjadi bagian dari aksi spionase yang dilakukan pemerintah Tiongkok.

Raksasa telekomunikasi yang berbasis di Shenzen itu, menyebutkan bahwa Huawei terbukti memiliki sejarah panjang, memberikan produk yang memenuhi standar keamanan, privasi dan rekayasa tertinggi di industri ICT. Produk-produk mereka bahkan telah disertifikasi oleh Komisi Komunikasi Federal untuk dijual di AS.

Huawei juga menambahkan, mereka tetap berkomitmen untuk mendapatkan kepercayaan yang sama dengan konsumen AS dan membuat produk mereka dapat diakses dengan berbagai cara.

Sayangnya, pernyataan yang panjang lebar tersebut tidak membuat situasi menjadi lebih baik.

Bagi Huawei, kegagalan memasuki pasar AS lewat seri Mate 10, sesungguhnya bukan yang pertama. Pada 2014, Huawei juga dilarang menjalin kerjasama dengan operator-operator AS untuk menggunakan perangkat jaringan 3G dan 4G miliknya.

Saat itu Michael Hayden, mantan direktur NSA yang juga pernah menjabat sebagau direktur di Motorola Solutions, salah satu rival Huawei di Amerika Serikat, mengklaim bahwa ia punya setumpuk data yang menegaskan bahwa Huawei menjual database pelanggannya ke pemerintahan China. .Tudingan ini sempat dibantah Huawei sebagai klaim yang tidak berdasar dan berbau fitnah.

Meski demikian. apa yang ditudingkan oleh Hayden dari Motorola sejatinya sebelas-duabelas dengan apa yang dikhawatirkan oleh para anggota parlemen di Amerika Serikat. Huawei dianggap sebagai bagian dari spionase China untuk memata-matai Amerika yang dikemas dalam bisnis teknologi.

Perlombaan 5G

Pada awalnya, kegagalan berulang kali Huawei memasuki pasar AS terkesan menguntungkan ZTE. Di tengah tensi yang memanas antara AS dan China, ZTE mampu mempertahankan kemitraan dengan beberapa operator dominan dan tetap menjadi vendor nomor dua di pasar prabayar AS (dan nomor empat secara keseluruhan di smartphone).

Analis riset Canalys, Vincent Thielke menyebutkan bahwa cukup membingungkan mengapa hanya Huawei yang menerima pukulan telak, mengingat hubungan yang memburuk antara AS dan Tiongkok secara keseluruhan.

Namun Linda Sui, Direktur Strategi Nirkabel Strategy Analytics, mengatakan ada beberapa alasan ZTE menghadapi lebih sedikit tekanan di pasar AS ketimbang Huawei.

ZTE dipandang kurang dari ancaman karena ketergantungan pada chipset Qualcomm untuk handsetnya (meskipun memiliki bisnis chipset sendiri) dan perannya yang kurang menonjol di pasar peralatan global.

Sebaliknya, ia mencatat Huawei menggunakan chipset Kirin miliknya sendiri di ponsel andalannya. Di industri jaringan, baru-baru Huawei ini membuat langkah yang signifikan untuk melampaui Ericsson sebagai vendor peralatan telekomunikasi terbesar di dunia.

Selain itu, Huawei adalah peserta terdepan dalam proses standar 5G/3GPP. Sui mengatakan kombinasi faktor ini menyebabkan pemerintah dan beberapa perusahaan untuk menandai Huawei sebagai “ancaman atauu penantang utama, sekarang dan di masa depan”.

Senada dengan Sui, Thielke menambahkan bahwa AS tidak ingin mendukung China atau kekuatan lain yang mencapai kepemimpinan 5G, yang telah ditunjukkan dalam upaya penolakan rencana akuisisi Broadcom terhadap Qualcomm.

Thielke juga mencatat ZTE telah didirikan di AS selama bertahun-tahun, sementara Huawei masih mencari penerimaan di pasar. Selain kemitraan tersebut dengan Qualcomm, ZTE menikmati hubungan dengan semua operator utama AS dan memiliki banyak sponsor di negara itu.

“ZTE telah berada di pasar AS lebih lama dan telah melakukan investasi signifikan dalam ekonomi AS. Memiliki akar yang lebih dalam di AS adalah salah satu alasan mengapa ZTE mampu tetap kuat sementara Huawei mengambil pemukulan.” Ujar Thielke.

Hubungan para eksekutif Huawei dengan pemerintah China dan militer, serta kurangnya transparansi, juga dilakukan terhadap perusahaan oleh para pejabat AS. Sui menunjukkan pendiri Huawei, Ren Zhengfei, yang bertugas di tentara Tiongkok, sementara ketuanya Sun Yafang sebelumnya bekerja di sektor keamanan pemerintah China.

Selain itu, ZTE adalah perusahaan yang terdaftar secara publik, sedangkan Huawei dimiliki secara pribadi dan oleh karena itu kurang transparan secara finansial (meskipun Huawei memang melaporkan hasil setengah tahun dan hasil tahunannya).

Tapi sementara ZTE mengelak dari yang terburuk sejauh ini, Sui dan Thielke mengatakan perusahaan tetap rentan terhadap ketegangan yang meningkat antara pemerintah AS dan Cina.

“Semua tentang politik,” kata Sui menyimpulkan.

Jika sudah menyangkut urusan politik, hanya ada sedikit upaya yang bisa dilakukan oleh Huawei atau ZTE, tambah Sui.

Pada akhirnya, ramalan yang dilontarkan oleh Sui menjadi kenyataan. ZTE tak lagi kebal dengan kebijakan ofensif yang dilakukan pemerintahan Donald Trump. Presiden dari Partai Republik ini, sejak awal sudah menargetkan bakal mengeluarkan kebijakan yang tidak populis terkait hubungan dagang dengan China yang selama ini dinilai berat sebelah.

Bahkan dalam skala yang lebih luas, sanksi yang dijatuhkan kepada ZTE lebih buruk dibandingkan Huawei. Sebab hal itu menyangkut surviving perusahaan di masa depan.

Tak dapat dipungkiri, seperti halnya Huawei, ambisi ZTE menjadi pemain utama dalam pengembangan teknologi 5G, membuat AS akhirnya memasukan ZTE sebagai daftar hitam.

Seperti kita ketahui, sejak beberapa tahun terakhir, ZTE sangat agresif dalam mengembangkan teknologi 5G yang akan membuat mereka menjadi pemimpin industri jaringan di masa depan. Tak tanggung-tanggung, ZTE telah menyiapkan anggaran tambahan mencapai USD 2,1 miliar untuk penelitian teknologi dan pengembangan produk yang berkaitan dengan evolusi jaringan 5G.

Baca juga: Kembangkan Teknologi 5G, ZTE Siap Gelontorkan USD 2,1 Milyar

Pada ajang Mobile World Congress (MWC) 2018 di Barcelona, ZTE bahkan telah memamerkan berbagai perangkat teknologi 5G. Diantaranya end-to-end IoDT yang berbasis standar 3GPP 5G NR terbaru, kemudian ada Sub-6GHz 5G Field Trial pertama di dunia, NB-IoT R14 data rate enhancement feature pertama di dunia, dan produk end-to-end 5G komersial lengkap.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU