Minggu, 3 Agustus 2025
Selular.ID -

Menanti Konsolidasi Besar Operator Jilid Kelima

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Jakarta, Selular.ID – Isu tentang konsolidasi antar operator terus mengemuka sejak beberapa tahun terakhir. Namun, apakah itu bisa terealisasi pada akhir 2018? Ini adalah pertanyaan yang cukup sulit dijawab.

Bahkan Menkominfo Rudiantara pun tidak bisa memastikan bahwa aksi korporasi dalam bentuk merger atau akusisi, dapat terjadi di masa kepemimpinannya.

Menteri yang akrab dipanggil Chief RA itu hanya bisa berharap agar operator mau mengesampingkan ego. Meski begitu, ia menyerahkan sepenuhnya terhadap para pemegang saham.

Keinginan pemerintah agar konsolidasi dapat terjadi bukan tanpa alasan. Hal itu disebabkan kondisi persaingan antar operator yang sangat ketat sehingga berdampak terhadap minimnya keuntungan yang didapat operator selular.

Persoalan lain yang tak kalah penting juga menyangkut efiesiensi, terutama dari sisi pemanfaatan spectrum. Banyaknya operator memang membuat alokasi spectrum menjadi terbatas. Keterbatasan frekwensi pada ujung-ujungnya akan membuat kualitas layanan menjadi menurun.

Di sisi lain, teknologi telekomunikasi baru pun terus berdatangan dan membutuhkan alokasi frekuensi khusus agar bisa tetap menjaga interoperability dengan negara lain.

Tengok saja, setelah 4G, teknologi lanjutan sudah berada di depan mata, yakni 5G. Disebut-sebut dalam tiga tahun ke depan, Indonesia juga akan mengadopsi 5G yang hingga saat ini belum diketahui dimana alokasi frekwensi tersedia.

Untuk menjembatani dan mendorong terjadinya konsolidasi. Langkah yang akan dilakukan Rudiantara adalah dengan menyiapkan regulasi konsolidasi yang saat ini tengah dalam proses penyusunan.

“Pemerintah hanya bisa meng-encourage. Mendorong terjadi konsolidasi dengan menyiapkan regulasi yang jelas, terutama menyangkut hak kepemilikan frekwensi”, jelasnya di Jakarta (16/04/18).

Harus diakui, dengan belum adanya payung tentang M&A (merger and acquisition), saat ini boleh dibilang proses konsolidasi masih jalan di tempat. Artinya, sekeras apa pun dorongan pemerintah jika aturan tersebut belum dikeluarkan, operator masih belum akan tergerak.

Pasalnya, hal tersebut menyangkut investasi jutaan dollar yang sudah dibenamkan. Induk perusahaan operator sudah menghitung untung rugi, jika hendak melakukan merger atau akuisisi.

Sebelumnya berdasarkan penelusuran Selular di Pasar Modal, beredar kabar bahwa akan ada proses merger dan akuisisi yang dilakukan oleh tiga operator yakni, Indosat Ooredoo (ISAT), Hutchinson Tri Indonesia dan Smartfren Telecom.

Baca juga: Smartfren Tanggapi Isu Merger Tiga Operator

Namun, seperti biasa, dalam penjelasannya petinggi operator tidak mengatakan ya atau tidak tentang kepastian rumor tersebut. Dengan diplomatis, Dirut Smartfren Merza Fachys, hanya menyebutkan bahwa merger dan akuisisi merupakan ranahnya pemegang saham, bukan ranah pengurus perusahaan.

“Pengurus tetap fokus pada bagaimana existing operation bisa se-efisien mungkin, bisnis bisa berkembang se-maksimal mungkin di atas rata-rata industri dan seluruh SDM perusahaan bekerja se-baik mungkin dengan apresiasi yang sesuai harapan,” pungkas pria berkumis tebal ini.

Pernyataan senada juga disampaikan Joy Wahyudi. Pria yang baru menjabat sebagai Dirut Indosat Ooredoo pada akhir 2017 itu, mengatakan bahwa dirinya tidak bisa berkomentar terkait kebenaran kabar M&A yang melibatkan perusahaan yang dipimpinnya.

“Saya tidak bisa comment benar tidaknya beritanya karena bukan datangnya dari kita. Yang pasti kita memang melihat tantangan yang besar kedepannya di indusrtri ini dan secara company, Indosat komit untuk terus meningkatkan layanan kita ke pasar di Indonesia,” jelas Joy kepada Selular.

Bagi Indosat Ooredoo, rumor tentang merger dan akuisisi bukan kali pertama terjadi. Pada Agustus 2016, anak perusahaan Ooredoo Qatar itu, disebut-sebut bakal dilepas ke Sinar Mas Group.

Baca juga: Sinarmas Group Bakal Caplok Indosat

Kelompok usaha yang dimiliki keluarga Eka Cipta Wijaya itu, bahkan sudah mengajukan penawaran kepada Ooredoo. Tak tanggung-tanggung, harga yang diberikan adalah harga pembelian saham Ooredoo ditambah premium.

Sayangnya, pihak Ooredoo tidak memberikan kepastian atas penawaran Sinarmas tersebut. Ooredoo masih mempertimbangkan untuk harga yanglebih tinggi lagi dari yang saat ini.

Dengan kondisi yang terbilang masih status quo, apakah program konsolidasi hanya sekedar menjadi wacana belaka?

Rasanya pandangan itu terlalu pesimis. Dengan ruang pertumbuhan yang semakin sempit dan revenue yang semakin landai, bagaimana pun, cepat atau pun lambat, proses merger antara operator di dalam negeri pasti akan terjadi. Dalam hal ini saya sangat setuju dengan pernyataan Arief Yahya.

Saat menjadi Direktur Utama PT Telkom Indonesia, pria yang kini menjadi Menteri Pariwisata itu, menyambut baik proses merger antara XL Axiata dengan AXIS.

“Merger itu adalah suatu keniscayaan, pasti dilakukan. Di seluruh dunia, operator keempat itu tidak ada yang pernah besar. Jadi nature operator itu hanya ada tiga,” kata Arief.

Dibandingkan sejumlah negara lain, jumlah operator di Indonesia jauh lebih banyak. Hal itu pada akhirnya berpengaruh pada kualitas layanan yang makin menurun.

Saat ini, jumlah operator di Indonesia ada lebih dari 10 operator. China dengan penduduk lebih dari 1 miliar dan India dengan penduduk sekitar 700 juta orang, hanya memiliki tidak lebih dari 4 operator. Begitu pun dengan Amerika Serikat dan Australia yang cuma ada tiga operator.

Menurut Arief, pelajaran dari proses merger XL dan AXIS ini akan terjadi di Indonesia cepat atau lambat. “Konsolidasi baik untuk industri. Selanjutnya bisa kami tebak, hal ini akan sama dilakukan oleh operator lain,” tandas Arief.

Konsolidasi Besar

Jika kita menengok ke belakang, konsolidasi antar operator sesungguhnya bukan barang baru di Indonesia. Sejarah mencatat, sepanjang lebih dari satu dekade terakhir, terdapat lima konsolidasi besar yang melibatkan sejumlah operator telekomunikasi dan mempengaruhi peta persaingan industri.

Pertama: Merger dan akuisisi antara Indosat, Satelindo, dan IM3. Penggabungan keempat perusahaan itu resmi dilakukan pada 20 November 2003 menjadi satu entitas yaitu Indosat.

Kasus ini merupakan jenis penggabungan badan usaha merger, Indosat sebagai perusahaan yang menerima merger (absorbing company) tetap eksis. Sedangkan Satelindo, IM3, dan Bimagraha sebagai perusahaan yang bergabung (target company) dibubarkan demi hokum, namun tanpa proses likuidasi.

Kedua: Akuisisi Mobile-8 Telecom oleh Smart Telecom. Sebelum diakuisisi oleh Smart Telecom, Mobile-8 Telecom dimiliki oleh PT Global Mediacom. Namun akibat krisis finansial dan penurunan penjualan, perusahaan yang dimiliki Hari Tanoesudibyo itu diakuisisi oleh Sinar Mas Group pada bulan November 2011.

Oleh Sinar Mas, Smartfren kemudian dijadikan holding atau induk usaha dari PT Smart Telecom. Padahal, smartfren sendiri merupakan hasil merger dari PT Telekomindo Selular Raya (Telesera), PT Metro Selular Nusantara (Metrosel), PT Komunikasi Selular Indonesia (Komselindo), dan PT Menara Jakarta.

Ketiga: Akusisi NTS (Natrindo Telepon Selular), operator dibawah Lippo Group oleh Maxis Communications Berhad, Malaysia. Masing-masing sebesar 51% pada Januari 2005 dan 44% pada April 2007. Natrindo sendiri adalah perusahaan operator telekomunikasi selular GSM 1.800 MHz pertama di Indonesia yang awalnya berfokus pada wilayah Jawa Timur yaitu sekitar bulan Mei 2011 dengan merek dagang Lippo Telecom.

Namun setelah berhasil memiliki lisensi nasional, alih-alih memperluas pasar, NTS lebih memilih untuk menjual seluruh saham yang dimilikinya ke Maxis.

Pada Juni 2007, Saudi Telecom Company (STC) mengakuisisi 51 persen saham Natrindo yang dimiliki Maxis, sehingga saham Maxis di Natrindo hanya tinggal 44 persen. Dengan posisi yang dominan, STC mengembangkan brand sendiri, yakni AXIS. Sebelum diakuisisi oleh XL, AXIS dikenal sebagai operator dengan promo tarif murah internet.

Keempat: merger dan akusisi XL Axiata Tbk dengan PT Axis Telekom pada 2012. Tak seperti empat proses konsolidasi sebelumnya, yang relatif ‘adem ayem’. Proses konsolidasi antara XL dan Axis menimbulkan gesekan yang kuat di antara seluruh stake holder, terutama menyangkut penguasaan frekwensi.

Karena dinilai bisa mengubah tatanan industri bahkan berpotensi menjadi dominan player, pemerintah pada akhirnya memutuskan bahwa XL tak sepenuhnya bisa menikmati frekwensi milik AXIS.

Operator yang identik dengan warna biru itu harus mengembalikan spektrum selebar 10 MHz di frekuensi 2.100 Mhz. Pasca merger, XL hanya menguasai 22,5 Mhz di rentang spektrum 900 MHz dan 1.800 MHz (2G), serta 15 Mhz di 2.100 MHz (3G).

Nah, setelah empat konsolidasi di atas, akankah di masa Kepemimpinan Menkominfo Rudiantara akan tercipta merger atau konsolidasi besar jilid ke lima? Kita tunggu saja.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU