Minggu, 3 Agustus 2025
Selular.ID -

Strategi “CodelQutec” Bikin Huawei Berjaya di Bisnis Jaringan

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Huawei OffJakarta, Selular.ID – Pada akhir Januari 2012, XL Axiata membuat kejutan besar. Anak perusahaan Axiata Malaysia itu, memutuskan mengalihkan pengelolaan jaringan layanan 2G/3G miliknya kepada vendor jaringan, Huawei Tech Investment.

Lewat kerja sama managed services yang berlangsung hingga 2019, XL mengklaim akan terjadi penghematan beban pada biaya operasional (opex) dan belanja modal (capex). Sehingga perusahaan bisa menghemat hingga USD 150 juta atau sekitar Rp 1,35 triliun dalam periode tersebut.

Managed service untuk pengelolaan jaringan 2G/3G itu, termasuk Network Operations Center (NOC), Field of Operations (FOP), Network Performance Management (NPM) dan Spare Parts Management Service kepada Huawei. Dengan managed services, XL bisa lebih fokus pada bisnis intinya, yaitu penyediaan layanan.

Dipilihnya Huawei oleh XL karena vendor network asal China itu dinilai paling memenuhi berbagai persyaratan yang sudah ditentukan. Salah satunya kemampuan menangani multi vendor dengan pengalaman menangani proyek serupa di beberapa negara, terutama di Eropa dan India.

Meski telah menjalin managed service, perjanjian itu tidak eksklusif dengan XL saja. Karena untuk Indonesia, Huawei sebelumnya juga menjalin kerjasama serupa dengan Axis dan Tri.

Dengan menunjuk Huawei sebagai mitra pengelolaan jaringan, XL menjadi lebih fokus pada bisnis intinya, yaitu penyediaan layanan. Sedangkan bagi Huawei, kontak pengelolaan jaringan itu menjadi momentum yang sangat berharga dalam upaya memperkuat eksistensi bisnis mereka di Tanah air.

Faktanya, pasca kerja sama dengan XL tersebut, keberuntungan Huawei mulai berubah. Kontrak-kontrak yang bersifat penuh maupun parsial dengan berbagai operator di Indonesia, termasuk dua pemain besar, yakni Indosat Ooredoo dan Telkomsel, terus meningkat.

Dari hasil bisik-bisik sejumlah nara sumber, Huawei kini setidaknya telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar bisnis jaringan. Artinya, hanya dalam tempo kurang dari satu dekade, Huawei telah mengubah posisi, dari challenger menjadi market leader.

Pencapaian ini terbilang luar biasa, mengingat sejak lama, vendor jaringan asal Eropa, seperti Ericsson, Nokia, Alcatel Lucent, Siemens (almarhum) telah menguasai pasar bisnis jaringan di Tanah Air.

Seperti kita ketahui, kedigdayaan vendor-vendor Eropa dimulai sejak teknologi selular berbasis analog, yakni NMT (Nordic Mobile Telephone) masuk ke Indonesia pada 1984. Di susul AMPS (Advance Mobile Phone System). Keduanya merupakan teknologi generasi pertama.
Kemudian berlanjut dengan masuknya teknologi selular generasi kedua, yakni CDMA dan GSM pada 1995.

Di dua era itu, vendor asal China seperti Huawei bisa disebut sebagai anak bawang. Namun, berkembangnya teknologi 3G pada awal 2000, membuka kesempatan bagi Huawei untuk bersaing dengan raksasa-raksasa itu.

Imbas dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998, membuat posisi Huawei mulai menguat. Strategi harga yang lebih murah, bahkan kemudian mampu mendepak vendor Eropa dari posisi puncak.

Lantas, apa yang menyebabkan pencapaian Huawei begitu moncer? Mengapa kini hampir semua operator dalam negeri mau bermitra dengan vendor berlogo bunga merah itu? Padahal persepsi produk asal China rata-rata masih minor di mata masyarakat Indonesia.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa meminjam pernyataan Daniel Joseph Kelly, Vice President and Head of International Media Affairs, Huawei Technologies.

Daniel mengakui, pamor Huawei sebagai penyedia solusi informasi global dan teknologi komunikasi mulai dilirik banyak pebisnis dan operator di negara. Sejak ekspansi secara global pada 2000, nama Huawei terus berkibar.

Besarnya dana untuk penelitian dan pengembangan menjadi kunci Huawei untuk mengejar ketinggalan dari vendor jaringan asal Eropa.

“Huawei menerapkan 10 persen dari pendapatan untuk dialokasikan ke bagian Research dan Development. Dana tersebut digunakan untuk melakukan penelitian dan uji secara sains terhadap kemajuan teknologi,” kata Daniel dalam satu kesempatan.

Tidak tanggung-tanggung, pada 2013 Huawei menggelontorkan dana sebesar USD 30 miliar untuk pengembangan perangkatnya.

“Hasilnya, Huawei menjadi nomor 1 perusahaan yang memiliki hak cipta terbanyak di China. Pengakuan hak cipta dari Amerika Serikat dan masuk ke dalam Top 50, serta Top 15 pemegang hak cipta di Eropa,” jelas Daniel.

Tentu saja penjelasan Daniel tersebut lebih bersifat formal alias normatif. Untuk penjelasan lebih mendetail dan agak out of box, analisa yang dilontarkan pengamat telekomunikasi Garuda Sugardo, rasanya jauh lebih menarik.

Menurut Garuda, dalam pemilihan sistem telekomunikasi ada empat kriteria utama, yaitu: QCDT (Quality, Cost, Delivery, Technology).

Namun vendor China tahu benar tabiat dan kondisi kita, makanya yang dia mainkan adalah strategi “CodelQutec” (cost, delivery, quality, technology).

Pertama, cost. Untuk bisa bersaing, vendor China tak segan untuk menerapkan jurus banting harga. Unsur biaya lebih diutamakan. Yang penting harga murah dan menang tender. Urusan after sales belakangan.

Kedua delivery. Masalah ada barang yang masih kurang tidak meenjadi persoalan, pokoknya kirim duluan. Apalagi orang Indonesia sekarang sedang tergila-gila dengan “ongkir gratis”.

Ketiga quality. Kalau barang elektronik, Network-Device-Accessories di telekomunikasi beda-beda tipis mutunya. Laptop, TV, ponsel, lampu digital, saat ini semua juga buatan China. KW-2 siapa takut? Yang penting harganya pas di kantong dan speknya oke.

Keempat technology. Di bidang teknologi sistem selular, China tahu betul bahwa kriteria “life time” itu bikin mahal dan boros. Itu sebabnya mereka bikin produk berbasis “life cycle”. Konsepnya, beli barang berumur 7 tahun, kalau 4 tahun teknologi sudah berubah?

Di luar strategi “CodelQutec” itu, Garuda menegaskan bahwa persoalan relasi, koneksi, dan basa-basi itu adalah kunci sukses dalam bisnis.

“Apapun politiknya dan siapa pun pemimpinnya, tujuan pokok bisnis adalah profit alias duit. Semua mengacu pada falsafah dagang Cina 3C, yaitu: Cin-cai, Ceng-li dan Cuan. Simpel saja”, tandas Garuda.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU