Jakarta, Selular.ID – Berkaitan dengan ditandatanganinya MoU antara pemerintah Indonesia dan Qualcomm tentang kerjasama dalam pemberantasan perangkat smartphone counterfeit dan ilegal, IDC menilai hal tersebut merupakan langkah awal yang tepat. Berdasarkan data Mobile Phone Tracker IDC Indonesia, jumlah perangkat smartphone yang masuk ke pasar Indonesia di tahun 2016 mencapai 30 juta unit. Namun data tersebut hanya mencakup unit smartphone yang legal.
“Hingga saat ini, peredaran perangkat counterfeit dan ilegal masih sangat marak di pasar smartphone Indonesia. Konsumen pun cenderung tertarik untuk membelinya karena menawarkan selisih harga yang signifikan dibandingkan dengan perangkat yang legal,” kata Risky Febrian, Associate Market Analyst IDC Indonesia, dalam siaran resmi yang diterima Selular.ID (17/8/2017).
“Peredaran smartphone counterfeit dan ilegal bukan hanya merugikan pemerintah dan pelaku usaha yang terkait, namun pada akhirnya konsumen lah yang paling dirugikan. Hal ini dikarenakan perangkat-perangkat ilegal tersebut tidak disertai dengan dukungan layanan purna-jual dari pabrikan perangkat terkait. Terlebih lagi, selama ini pasar Indonesia cenderung menjadi tujuan untuk mengirimkan inventaris smartphone yang tidak laku di pasar global,” Risky menambahkan.
Namun, metode yang diterapkan dalam MoU tersebut baru sebatas tindakan yang cenderung merugikan konsumen, karena jika IMEI perangkat tersebut terbukti ilegal, maka konsumen tidak dapat lagi menggunakan perangkat tersebut di Indonesia. Untuk kedepannya, pemerintah harus menyusun langkah strategis untuk menghadang peredaran perangkat counterfeit dan ilegal sebelum masuk ke pasar smartphone Indonesia. Sehingga konsumen pun pada akhirnya tidak akan dirugikan dengan peredaran perangkat ilegal.
“Jika pemerintah serius dalam upaya pemberantasan perangkat ilegal ini, harus ada tindakan tegas bagi pemain ritel yang kedapatan menjualnya. Karena hingga saat ini masih banyak pemain ritel, baik offline maupun online, yang masih menjual dan bahkan mempromosikan perangkat smartphone counterfeit dan ilegal,” papar Risky.
Strategi ini juga dinilai dapat menjadi dua sisi mata pisau, karena belum ada kejelasan aturan jika perangkat smartphone yang dimiliki konsumen memang dibeli langsung dari luar negeri, atau contoh kasus lain adalah turis asing yang membawa smartphonenya selama berada di Indonesia. Perlu ada kejelasan regulasi yang mengatur hal tersebut sehingga kebijakan ini tidak merugikan pihak manapun, dan menutup celah hukum yang dapat dieksploitasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, dukungan pemerintah untuk pembangunan industri manufaktur yang dapat menyokong ekosistem industri smartphone sangat penting untuk menekan angka peredaran perangkat counterfeit dan ilegal di pasar smartphone Indonesia. Pemerintah juga dinilai perlu untuk menyederhanakan proses regulasi yang berkaitan dengan ekosistem perangkat smartphone di Indonesia, sehingga pihak pabrikan perangkat smartphone ataupun distributornya akan lebih mudah dalam mengikuti regulasi yang berlaku.
Pada akhirnya, memang dalam jangka pendek penerapan kebijakan ini akan menimbulkan terbatasnya jumlah perangkat smartphone yang beredar di pasar. Namun kedepannya, diharapkan kebijakan ini akan menguntungkan semua pihak, baik dari sisi perusahaan perangkat smartphone yang penjualannya tidak akan lagi terdampak oleh smartphone ilegal, dan juga dari sisi konsumen yang akan terlindungi dengan membeli smartphone legal.