Oleh : Robert Cattanach, President Director of Nokia Indonesia
Selular.ID – Kita semua telah membicarakan tentang 5G selama bertahun-tahun, namun standardisasi yang diperlukan untuk menjadikannya sebagai sebuah realitas komersial global belum terbentuk. Banyak orang menilai hal ini sebagai titik tunda potensial. Dan siapa yang mau menunggu jika ada yang menjanjikan sesuatu sebagus 5G?
Hal ini merupakan isu yang 3GPP tengah atasi dengan cara menawarkan percepatan jadwal standardisasi 5G yang dapat berujung pada uji coba dan penyebaran 5G skala besar secepat-cepatnya pada tahun 2019. Tentunya, hal ini merupakan berita baik, namun tetap berisiko. Berikut penjelasannya.
Percepatan peluncuran jaringan andal 5G akan membuat spesifikasi-spesifikasi tersedia lebih cepat, sehingga membantu para vendor untuk memperkuat desain platform mereka. Dengan demikian, para operator yang belum melaksanakan uji coba prastandar 5G tidak akan menderita kerugian, dibandingkan dengan mereka yang telah melaksanakannya. Hal ini pun mencegah ekosistem terfragmentasi menjadi penawaran-penawaran proprietary yang terlalu banyak.
Namun, apa yang membuat jadwal baru yang lebih cepat ini menjadi mungkin?
Itu semua kembali pada pendekatan bertahap dari rilis awal spesifikasi-spesifikasi 3GPP (Release 15). Sejauh ini, kita berpikir untuk menghubungkan 5G New Radio (NR) ke Next Generation Core, yaitu 5G core baru. Ini merupakan pendekatan standalone.
Pendekatan Standalone dan Non-Standalone
Jadwal baru yang dipercepat bergantung pada pendekatan non-standalone atau NSA, di mana 5G NR terhubung ke jaringan LTE yang telah ada yang berfungsi sebagai sebuah “anchor” yang menggunakan pendekatan konektivitas ganda. Dengan metode ini, semua fungsi kontrol radio 5G dijalankan oleh jaringan LTE. Radio 5G hanyalah perpanjangan dari jaringan LTE, sebagai peningkat kapasitas. Tahapan awal ini menghilangkan elemen-elemen disruptif dari 5G.
Peningkat kapasitas terkait eMBB ini memungkinkan spektrum baru untuk digunakan dengan cara yang paling efektif guna mengatasi masalah kekurangan kapasitas di area-area yang padat.
Fokus lain adalah terkait URLLC latency rendah, yang mungkin juga dibarengi dengan ultra-reliability. Fungsi latency rendah dapat menjadi diferensiator yang sesungguhnya yang dapat memperkuat sejumlah besar aplikasi. URLLC telah dimasukkan dalam tahap awal Work Item (3GPP Release 15) dan membutuhkan penyebaran 5G yang standalone (SA).
Namun, pendekatan yang dipercepat untuk NSA ini memiliki beberapa risiko. Beberapa vendor ingin secara langsung menyalin sebagian besar komponen teknologi dari LTE. Walaupun hal ini meningkatkan kecepatan, namun hal tersebut pun menghalangi konsep diferensiasi yang lebih kuat untuk 5G.
Jeda waktu selama enam bulan antara finalisasi spesifikasi standalone dan non-standalone juga mengartikan bahwa ekosistem yang hanya menggunakan pendekatan non-standalone dapat berkembang.
Kurangnya beberapa kemampuan 5G yang benar-benar penting ini dapat berdampak serius terhadap kredibilitas visi besar 5G.
Di luar risiko-risiko tersebut, ada suatu optimisme yang besar bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ada banyak pemain besar yang ikut mengambil peranan dan berdasarkan pengalaman, kami tahu ketika semakin banyak industri bersatu padu, semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
Di Indonesia, walaupun harus menunggu beberapa tahun sebelum 5G dapat diterapkan menyeluruh di seluruh wilayah di Indonesia, keinginan para operator dan pemerintah Indonesia sangatlah kuat. Bagi para operator, peluang untuk beralih ke Internet of Things (IoT) dengan kecepatan lebih cepat dan latensi rendah, serta mewujudkan ekosistem untuk mengembangkan solusi M2M bagi perusahaan-perusahaan merupakan peluang bisnis yang menjanjikan untuk masa depan. Sedangkan bagi pemerintah, memiliki cakupan broadband yang lebih luas akan membantu menghilangkan kesenjangan digital di wilayah-wilayah di Indonesia dan mempercepat proses Inklusi Keuangan, dari 39% menjadi 70% pada tahun 2019