Jakarta, Selular.ID – Sebagai bintang film, kiprah Joe Taslim sebenarnya belum terlalu panjang. Selama karier aktingnya, Joe tercatat baru membintangi enam judul film dan satu serial televisi. Namun saat The Raid yang dirilis pada 2014 berhasil menyabet The Cadillac People’s Choice Midnight Madness Award, sejak itulah nama Joe dikenal hingga ke manca negara.
Kesuksesan film laga yang dibintangi bersama aktor Iko Uwais itu akhirnya memberikan Joe tiket ke Hollywood. Ia pun didapuk menjadi salah satu bintang dalam Fast and Furious 6 dan Star Trek Beyond.
Seperti selebritis lainnya, sukses di layar perak membuat karir Joe sebagai brand ambassador (BA) juga moncer. Mantan atlet judo yang lahir di Palembang ini, tetap didapuk menjadi bintang iklan Kartu Halo Telkomsel sejak 2013. Mulai dari Halo Fit, Halo Hybrid, hingga yang terakhir Halo Kick. Ini kali pertama, Telkomsel menggunakan cukup lama BA untuk produk yang sama.
Selain Kartu Halo, Joe yang pernah menyabet perak dalam ajang SEA GAMES 2017, juga dipercaya menjadi BA untuk produk smartphone flagship milik Asus, yakni Zenfone 3. Bersama aktris Bunga Citra Lestari (BCL), keduanya pada akhir 2016 didaulat sebagai bintang iklan Zenfone 3 dan ZenFone 3 Max.
Iklan Zenfone 3 terlihat elegan. Dengan durasi satu menit, shooting iklan itu dilakukan di Warsawa, Polandia. Visualisasinya menggambarkan kehebatan, ketangguhan, dan kelas premium Zenfone 3 yang dipersenjatai kamera utama 16 Mp.
Menceritakan BCL secara siluet mengambil gambar Joe yang tengah jogging dari atas Lamborghini berkecepatan tinggi. Foto hasil jepretan dengan teknik panning tersebut, tampak sempurna. Tetap fokus meski diambil sambil bergerak. Hal itu menunjukkan kualitas Zenfone 3 yang memang menonjolkan keunggulan fotografi. Sesuai slogan Asus, built for photography.
Sementara iklan ZenFone 3 Max lebih menggambarkan suasana yang fun khas anak muda. Untuk itu, tampilan BCL dan Joe pun disulap sesuai segmen tersebut. Dengan tag line #GakAdaMatinya, smartphone ini menawarkan keunggulan baterai besar yang mampu bertahan seharian. Hebatnya lagi dengan fitur Reverse Charging, pengguna juga bisa mengisi ulang smartphone orang lain.
Bagi Joe, menjadi BA untuk smartphone Asus bukanlah yang pertama. Pada 2013, Joe dipercaya sebagai bintang iklan G2, smartphone premium besutan LG. Selain produk telekomunikasi, pria berwajah oriental ini, juga menjadi bintang Kratingdaeng dan Nissan Juke.
Jauh sebelum tenar, Joe pernah menjadi BA Vitacharm. Iklan minuman ini sempat beredar pada 2004-2006. Karena berpenampilan culun dan belum dikenal publik, tentu saja tak ada yang istimewa.
Hanya menggambarkan seorang lelaki yang memiliki tubuh sekuat Bruce Lee dengan minum Vitacharm. Sayangnya, digerus merek-merek minuman energi lainnya, kini Vitacharm kehilangan gereget di pasar. Bahkan dengan pesaing terdekatnya, Yakult, merek ini kalah tenar.
Hal yang sama juga terjadi pada LG. Sempat menyedot animo konsumen era feature phone, prestasi LG saat ini masih naik turun. Seperti halnya produsen elektronik Taiwan Acer, LG telah sekian lama berkutat di pasar Indonesia, namun tak pernah naik kelas.
Berbeda dengan kompatriotnya Samsung yang kini nomor satu, LG bahkan tak masuk pernah masuk dalam posisi lima besar. Padahal fitur dan teknologi yang mereka benamkan tak kalah dibandingkan para pesaing.
Tuntutan Brand
Sulitnya LG dan Vitacharm naik kelas jelas bukan karena Joe Taslim. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, terutama persoalan ekuitas merek. Meski demikian, harus diakui, menjadi BA sebuah produk sesungguhnya tak sekedar mengumpulkan pundi-pundi uang. Bagaimana pun, brand berharap banyak, sang endorser dapat mengatrol citra dan positioning merek.
Inilah yang menjadi tantangan bagi Joe Taslim. Menelisik kiprah Joe dalam Halo Telkomsel dan Asus misalnya, tantangannya sungguh berbeda. Untuk Kartu Halo, peran Joe bisa dibilang tak terlalu berat. Pasalnya, Kartu Halo punya ekuitas merek yang sangat kuat.
Meski jumlah pelanggan Kartu Halo tak lebih dari 10% dari seluruh pelanggan Telkomsel yang didominasi pra bayar. Telkomsel juga masih menjadi operator terpopuler sekaligus terbesar di Indonesia. Bisa dibilang, Joe hanya bertugas memperkuat citra sekaligus menambah jumlah pelanggan kartu Halo, khususnya di kalangan anak muda yang gemar ber-internet ria.
Lain halnya dengan Asus. Tuntutan terhadap Joe bisa dibilang tinggi. Pasalnya, sepanjang 2016 Asus kehilangan pangsa pasar yang cukup besar. Mengacu pada laporan Quarterly Mobile Phone Tracker dari International Data Corporation (IDC), posisi Asus anjlok pada kuartal ketiga 2016. Laporan itu menyebutkan, Samsung menguasai sekitar 32,2%, disusul OPPO (16,7%), Asus (8,2%), Advan (6%), Andromax Smartfren dan Lenovo (5,7%), serta merek lainnya.
Padahal, dalam catatan IDC market share Asus sepanjang 2015 mencapai 15% berkat keberhasilan menjual sekitar lima juta unit smartphone. Bahkan pada kuartal keempat 2015, vendor asal Taiwan ini sempat menduduki posisi puncak. Lewat seri Zenfone 2 yang laris manis, Asus sukses meraup pangsa pasar 21,9%. Mengungguli Samsung di tempat kedua dengan peroleh pangsa pasar 19,7 persen.
Sayangnya, pada 2016 momentum Asus tak berlanjut. Padahal perusahaan sebelumnya telah bertekad untuk mempertahankan posisi sebagai vendor smartphone nomor dua di Indonesia.
Tentu banyak faktor dibalik tersendatnya langkah Asus mengulang sukses di 2015. Selain keterlambatan dalam proses pemenuhan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri), aktifitas pemasaran Asus sebelumnya lebih tefokus pada saluran digital, terutama media sosial.
Sementara dua seteru terdekatnya, Samsung dan Oppo secara aktif mempromosikan kampanye pemasaran yang besar di saluran ritel. Keduanya mengintegrasikan media-media digital dan tradisional untuk mempopulerkan produk-produknya.
Tak ketinggalan, keduanya juga juga menggandeng public figure sebagai BA. Guna mempopulerkan smartphone dengan positioning “selfie expert”, Oppo menunjuk Isyana Saraswati, pebalap F1 Rio Haryanto dan berlanjut Raisa, untuk seri F1 dan F1s. Sedangkan Samsung, mendaulat aktor Abimana Aryasatya untuk seri J7 Prime.
Belajar dari kesuksesan Samsung dan Oppo, tren menggunakan BA tak hanya dilakukan oleh Asus, namun juga berjangkit ke Vivo. Pemain baru asal Tiongkok yang bernafsu masuk ke posisi lima besar ini, rela menggelontorkan dana besar untuk menggandeng sejumlah selebritis.
Tak tanggung-tanggung, Vivo menggaet Afgan dan Pevita Pearce. Keduanya didaulat untuk mempopulerkan Vivo V5, smartphone yang diklaim memiliki fitur kamera 20 Mp pertama di dunia. Sebelumnya, Vivo menggandeng Agnes Monica untuk seri V3 dan V3 Max.
Dilema Selebriti
Tak dapat dipungkiri, kompetisi yang ketat membuat upaya vendor memperkuat ekuitas merek tak lagi mudah. Memakai selebritis sebagai endorser, merupakan jalan pintas untuk mempercepat terbentuknya awareness sekaligus membangun positioning di benak konsumen.
Alhasil, penggunaan selebriti sebagai endorsement sudah menjadi hal biasa dalam bisnis saat ini. Faktanya, keterlibatan selebritis apalagi yang tengah berada di puncak ketenaran, akan meningkatkan perhatian dan kesukaan publik terhadap produk yang diiklankan. Ujung-ujungnya, brand berharap penjualan meningkat dan mendorong loyalitas konsumen.
Namun dibalik potensi instan, penggunaan selebritis sebagai BA bukan tanpa risiko. Setidaknya ada lima risiko yang harus ditanggung oleh brand.
Pertama, menggunakan jasa selebriti ngetop bisa berdampak pada overshadowing. Kharisma dan kepopuleran selebritis lebih kuat dibandingkan brand yang mendaulatnya sebagai ambassador.
Kedua, memakai selebriti apalagi yang sedang berada di puncak ketenaran perlu biaya yang tidak murah. Perusahaan setidaknya harus mengeluarkan 20% lebih mahal untuk menyewa selebriti ngetop.
Ketiga, karakter selebriti bisa tidak sesuai dengan karakter brand yang di-endorse. Alih-alih memperkuat citra merek, mereka malah memunculkan sentiment buruk karena kecerobohannya. Hal ini bisa menjadi masalah untuk program pemasaran selanjutnya dari brand yang bersangkutan.
Ambil contoh, Isyana Saraswati. Pelantun “Tetap Dalam Jiwa” itu, pernah menjadi duta toko online, Tokopedia. Sebagai duta salah satu e-commerce terbesar di Indonesia itu, seharusnya Isyana mempromosikan kegiatan berbelanja di dunia maya.
Namun, kepada salah satu media cetak di Indonesia, Isyana mengaku lebih suka mendatangi toko fisik untuk berbelanja. Ia malah tidak pernah berbelanja melalui internet. Alasannya, sama dengan kebanyakan orang, takut tertipu.
Menyadari kesalahan yang dibuatnya, Isyana pun langsung memberikan klarifikasi melalui akun Twitter pribadinya. “Berita soal aku ga berani belanja online memang benar, kalau bukan di Tokopedia :),” kicaunya, seperti ingin mendinginkan suasana.
Sayangnya, saat memberikan klarifikasi, Isyana kembali ceroboh. Selama ini, dia diketahui sebagai ambassador Oppo. Namun, tweet klarifikasi tentang Tokopedia itu dikicaukan Isyana dengan menggunakan iPhone. Hal tersebut bisa diketahui dari aplikasi TweetBot.
Dalam kasus lain, blunder yang dilakukan Isyana juga dilakukan oleh Agnes Monica. Penyanyi yang belakangan mengubah nama menjadi Agnez Mo ini, ketahuan ‘ngetwit menggunakan iPhone. Padahal ia sedang mempromosikan produk Vivo V3Max, di mana ia menjadi BA-nya. Alhasil, Vivo lebih suka menggunakan Afgan dan Pevita Pearce sebagai duta untuk suksesor V3, yakni V5.
Keempat, memakai selebriti yang sedang naik daun bisa overexpose. Karena produk lain pasti juga memanfaatkan artis yang sedang ngetop itu untuk meng-endorse produknya. Karena brand berebutan, biasanya perhatian audience menjadi tidak fokus.
Kelima, penggunaan selebriti sebagai ikon produk, bisa jadi kontra produktif, terutama pada saat ia tersandung masalah, baik pribadi atau bisnis. Apalagi jika endorser melakukan perbuatan yang tidak pantas, citra produk bisa ikut melorot.
Ambil contoh Luna Maya yang pernah tersangkut kasus asusila beberapa tahun lalu. Sebelum kasus tersebut merebak, Luna masih terikat kontrak sebagai BA sejumlah produk papan atas seperti Toshiba, Lux, Vitalong C, dan XL Axiata. Namun, satu persatu perusahaan yang menyewa Luna memutuskan kontrak, karena tak ingin citra brand mereka menjadi rusak.
Kasus teranyar menimpa Tolak Angin. Pemimpin pasar di industri jamu itu, terpaksa memutus kontrak yang sudah berjalan beberapa tahun dengan Ernest Prakarsa. Lantaran cuitannya terkait Zakir Naik merupakan pihak yang mendanai ISIS.
Tak ingin bernasib seperti Sari Roti yang gagal mengelola isu pada aksi (bela Islam) 212, manajemen Sido Muncul mengambil sikap tegas. Pasalnya, kontroversi dari cuitan komika itu, sudah berujung pada hastag #BoikotTolakAngin.
Konten Video
Terlepas dari risiko-risiko tersebut, penggunaan selebriti sesungguhnya sejalan dengan kebutuhan generasi milenial yang kini semakin gemar mengakses konten video. Hal ini sesuai dengan survey terbaru yang dilansir oleh APAC Kantar TNS. Terlihat keinginan kuat dari responden untuk mengonsumsi video online kapan saja dan dimana saja mereka inginkan.
Survey bertajuk Connected Live, merupakan studi global mengenai sikap perilaku 70.000 pengguna internet di 57 negara, termasuk Indonesia.
Menurut temuan itu, connected consumer di seluruh APAC memiliki durasi menonton video lebih besar dari pada tahun-tahun sebelumnya. Orang-orang tersebut menikmati konten video dari berbagai sumber, mulai dari online TV, streaming konten seperti Netflix yang berbasis langganan, video bebas tonton di Youtube, hingga konten video yang disajikan melalui social feeds mereka.
Sekitar 31% connected consumer menonton video online setiap hari rata-rata 1,1 jam, baik melalui channel gratis maupun berlangganan dan jaringan sosial. Meski begitu, tayangan TV masih mendominasi karena 94% dari konsumen menonton TV tradisional dengan rata-rata 2,4 jam sehari.
Di Indonesia sendiri, sebanyak 33% connected consumer punya kebiasaan menonton konten video yang berasal dari Youtube. Proporsi itu tertinggi di antara negara-negara APAC, diikuti Malaysia 28% dan Vietnam 25%. Tak hanya itu, hampir setengah (42%) dari mereka yang membaca posting brand di Facebook.
“Hal ini memberikan peluang yang lebih tinggi bagi pemilik brand untuk menciptakan hubungan yang memiliki dampak yang lebih berarti dengan konsumen di platform social online”, ujar Direktur APAC Kantar TNS, Zoe Lawrence.
Temuan lain menunjukkan, blogger dan selebriti memberikan pengaruh penting terhadap publikasi video. Tak tanggung-tanggung sebanyak 30% connected consumer di Indonesia mengonsumsi konten video di Youtube setiap minggunya. Ini adalah yang tertinggi karena secara-rata konten yang sama hanya dinikmati 23% di negara-negara APAC lainnya.
Tren tersebut menunjukkan, bahwa penggunaan influencer masih merupakan strategi yang dapat diandalkan untuk meraih ketertarikan sekaligus menjalin koneksi dengan connected consumer di Indonesia.