Jakarta, Selular.ID – Platform layanan pemesanan kendaraan Grab, dengan lantang mengajukan tiga poin keberatan atas revisi Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016, yang dinilai justru akan membuat industri transportasi publik mengalami kemunduran. Salah satu poin dari revisi PM tersebut menyebut perihal penetapan tarif atas dan tarif bawah.
Ridzki Kramadibrata, Managing Director Grab Indonesia, mempersoalkan aturan tarif atas dan tarif bawah bakal mempengaruhi mekanisme pasar, karena kebutuhan pasar merupakan pendekatan yang paling efisien.
Ia menjelaskan, bahwa sistem tarif pada layanan transportasi online sudah diketahui lebih dulu saat pengguna memesan kendaraan. Sehingga pengguna bisa leluasa melanjutkan atau bahkan membatalkan order bila tarif tidak sesuai keinginan. Hal ini tentu berbeda dengan layanan transportasi konvensional.
“Kita contohkan, saat memesan taksi konvensional kita tidak tahu berapa bayarnya. Penumpang harap-harap cemas bila tarifnya membengkak. Namun di transportasi online, ketika penumpang memesan kendaraan sudah tahu persis berapa bayar bila layanan itu diambil. Begitu pula sebaliknya, pengemudi bebas menolak. Inilah disebut kesepakatan,” kata Ridzki.
Jika pembatasan tarif dilakukan, banyak orang yang menggunakan layanan ride-sharing tidak akan mampu lagi menikmati layanan transportasi yang aman untuk sampai ke tujuan. Di sisi lain, ketika terjadi keterbatasan suplai, mitra pengemudi tidak mendapatkan kompensasi yang adil atas jasa mereka. Dengan begitu, semakin sedikit mitra pengemudi yang akan mengambil pesanan. “Pasar akan terganggu, dan pada akhirnya penumpang dan mitra pengemudi kami merugi,” ujarnya.
Darmaningtyas, Ketua Bidang Advokasi, Masyarakat Transportasi Indonesia, menjelaskan penerapan batas tarif atas dan bawah ditujukan untuk melindungi dua pihak, yaitu konsumen dan penyedia layanan transportasi publik.
Batas tarif atas diberlakukan untuk melindungi konsumen agar tarif menumpang kendaraan tidak dipungut setinggi-tingginya. Sedangkan tarif bawah ditetapkan guna melindungi operator transportasi publik dari perang tarif sesama penyedia jasa di bisnis tersebut. “Kalau tidak ada batasan, maka akan muncul persaingan tidak sehat,” jawab Darmaningtyas.