Minggu, 3 Agustus 2025
Selular.ID -

Persaingan Belum Usai (Catatan Akhir Tahun 2016)

BACA JUGA

BTS 22Jakarta, Selular.ID – Tahun 2016 ini merupakan tahun yang penuh persaingan dalam industry telekomunikasi tanah air. Namun sayangnya aroma persaingan sejak pertengahan tahun yang terjadi dalam industry ini bahkan sempat cenderung “brutal” dimana sebagian operator tampaknya mengesampingkan etika dalam berkampanye.

Secara garis besar berdasarkan pengamatan redaksi Selular, dinamika yang terjadi dalam industry telekomunikasi berakar pada tiga hal, yakni perang tariff, kebijakan interkoneksi dan rencana penerapan network sharing.

Diawali Indosat Ooredoo yang menawarkan tarif Rp1 per detik,  XL Axiata mengikuti dengan menawarkan tariff yang lebih murah yakni Rp59 per menit . Menurut Leonardo Henry Ghavaza, Analis dari Bahana, meskipun promosi ini berada di daerah luar Jawa saja, namun hal ini diyakini bisa mengganggu harga rasional di sector telekomunikasi.

Tariff murah yang ditawarkan oleh Indosat Ooredoo dan XL Axiata menurut Leonardo diyakini akan terus berlanjut untuk meningkatkan market share mengingat kedua operator ini baru saja melakukan moderniasai jaringannya sedangkan utilisasinya sendiri masih rendah. “Kami percaya ini bisa meningkatkan persaingan di daerah luar Jawa.” ujarnya.

Sementara itu kebijakan penurunan tariff interkoneksi yang dilakukan pemerintah terus menuai polemik dimana Telkom group keberatan dengan tariff yang akan diberlakukan tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun telah memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika untuk memberikan penjelasan terkait rencananya tersebut. Kebijakan penurunan tariff interkoneksi ini pun dipercaya bakal memberikan keuntungan kepada Indosat Ooredoo dan XL Axiata.

Operatorpun pada akhirnya tidak menuai kesepakatan terkait tariff interkoneksi yang akan diberlakukan. Hal ini pun akhirnya membuat regulatorterpaksa menunda pemberlakuan tariff tersebut. Bahkan hingga kesempatan terakhir Telkom group tetap dengan komitmen awalnya tidak menyetujui angka yang ditetapkan Kominfo.

Menyusul hal tersebut akhirnya Kominfo pun menetapkan bahwa tariff interkoneksi ini bakal ditentukan oleh verifikator. Namun sayangnya hinggaakhir tahun ini pun belum ada keputusan yang dikeluarkan oleh berapa angka yang pas, bahkan tersiar kabar verifikatornya sendiri belum ditentukan.

Dinamika lain yang juga terjadi dan merupakan terbesar yang terjadi adalah menyangkut rencana kebijakan berbagi jaringan yang akan diberlakukan pemerintah melalui revisi peraturan pemerintah No.52/53 tahun 2000. Bukan hanya saja bakal merubah wajah industry telekomunikasi tanah air, kebijakan ini juga bakal berdampak langsung kepada pelanggan terutama yang berada di wilayah timur Indonesia yang selama ini tak tersentuh oleh akses telekomunikasi.

Kebijakan ini diyakini Pemerintah dapat menciptakan pemerataan pembangunan jaringan telekomunikasi. Hanya saja bagi Telkom Group kebijakan ini dinilai tidak berimbang mengingat semua operator mempunyai kesempatan dan kewajiban yang sama dalam membangun jaringan dan hal itu tidak dilakukan sehingga tercipta gap yang cukup tinggi dalam hal ketersediaan jaringan.

Kebijakan ini menurut Leo dapat meruntuhkan dominasi Telkom Group di luar jawa. Meski demikian walaupun kebijakan ini jadi diterapkan masih dibutuhkan upaya ekstra bagi para pemain yang akan ekspansi di wilayah tersebut karena tentunya membutuhkan pengetahuan lokal.

Kepastian regulasi

Jika ditarik benang merah terhadap semua dinamika yang terjadi pada industry telekomunikasi tanah air, akar permasalahaannya adalah perlu segera dilakukan pembaharuan terhadap undang-undang yang mengatur industry ini mengingat UU yang ada sudah sangat (obsolete).

Di awal kepemimpinannya, Menkominfo Rudiantara terlhat sudah sesuai dengan jalurnya yang serius untuk mengawal perubahan UU No.36 Tahun 1999 ini. Namun di tengah perjalanan fokus sang menteri pun seolah terganggu dengan lebih mengutamakan melakukan revisi atas peraturan pemerintah nomor 52 dan 53 tahun 2000.

Efisiensi industry menjadi alasan kuat untuk tetap menggulirkan perubahan PP ini meski menuai banyak polemik. Pasalnya, UU telekomunikasi sendiri yang menjadi acuan dasar dan kekuatan utama untuk mengatur industry ini belum disesuaikan. Beberapa pasal perubahan yang ditawarkan dalam perubahan PP tersebut pun dinilai bertentangan dengan UU No.36 tahun 1999 tersebut.

Proses pembentukan revisi atas PP 52 dan 53 ini pun dipandang tidak transaparan dimana komunikasi public untuk penyelarasan revisi ini terkesan diabaikan. Memang belakangan Kominfo akhirnya melakukan uji public terhadap revisi ini hanya saja hal tersebut dilakukan setelah polemik terlanjur memanas.

Kondisi ini pun akhrirnya membuat industry ini kehilangan arah disamping memang tidak adanya grand design terhadap industry ini. para pelaku industry ini membutuhkan kepastian regulasi mengingat di era internet cepat ini operator selular tidak hanya harus bersaing dengan sesame operator melainkan juga dengan para penyelenggara over the top (OTT).

Di sisi lain, menurut Dimitri Mahayana, Chief Lembaga Riset Sharing Vision, pemain OTT tak diikat oleh aturanseketat operator. Mereka tak harus membayar lisensi, perizinan, tidak harus bayar pajak (bahkan banyak yang mangkir), termasuk tak memberi layanan optimal pelanggan, sehingga bea operasional lebih ringan.

Hal ini pun membuat industry telekomunikasi membutuhkan kepastian aturan (regulasi)agar tetap bisa menjalankan dan merencanakan bsnisnya dengan nyaman.

Kinerja

Meski iklim persaingan dalam industry telekomunikasi tanah air terus memanas dengan polemik yang menyertainya dan belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan segera berakhir, kinerja positif tentunya harus tetap diperlihatkan untuk dapat bertahan dalam industry ini.

Hingga jelang akhir tahun 2016 Telkom dan tentunya juga Telkomsel sebagai anak usaha serta Indosat sepertinya mampu menunjukkan kinerja postifnya. Sementara XL masih harus terus mengeluarkan upaya lebih walaupun sudah menunjukkan adanya perbaikan

Polemik yang bersumber dari rencana pemerintah mengubah tarif interkoneksi dan revisi PP 52/53, nyatanya tak berdampak negatif terhadap kinerja PT Telkom. Malah BUMN telekomunikasi itu sepanjang kuartal ketiga 2016 mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 13,8 persen di banding periode yg sama tahun 2015 dulu menjadi Rp 86,19 triliun.

Perolehan ini sangat didukung oleh bisnis Data, Internet, dan IT yang meningkat tajam 37 persen YoY. Bisnis Data, Internet, dan IT tersebut memberikan kontribusi sebesar 37,7 persen terhadap total pendatapan Perseroan.

Hingga Triwulan III/2016 ini Telkom membukukan laba bersih sebesar Rp 14,73 triliun atau tumbuh 27,6 persen serta EBITDA Rp 44,38 triliun atau tumbuh 20 persen dari periode yg sama tahun lalu. Kinerja Perseroan yg dapat mencatatkan triple-double-digit growth ini ditunjang pula dari performansi salah sesuatu anak usahanya, Telkomsel, yang juga membukukan kinerja yang sangat baik.

Telkomsel membukukan pendapatan sebesar Rp 63,65 triliun dengan pendapatan digital business tumbuh 40,8 persen menjadi Rp 22,17 triliun dan berhasil mencetak laba bersih senilai Rp 21,03 triliun.

Sementara itu Indosat Ooredoo berhasil mencatat pertumbuhan tahunan ‘double digit’ untuk bisnis selularnya di kuartal III tahun 2016 (pada sembilan bulan tahun 2016), yaitu sebesar 11,9%. Pertumbuhan ini utamanya disebabkan oleh peningkatan pendapatan Data, Telepon, SMS dan VAS yang diimbangi dengan penurunan dari pendapatan interkoneksi.

Indosat Ooredo juga berhasil mencatat pertumbuhan untuk pendapatan sebesar 9,9% terhadap periode yang sama tahun sebelumnya, dengan membukukan pendapatan konsolidasian sebesar Rp21,5 triliun untuk sembilan bulan tahun 2016. EBITDA tumbuh 10,5% menjadi Rp9,5 triliun (9B 2015: Rp8,6 triliun), dengan marjin EBITDA sebesar 44,0%. Beban mengalami peningkatan sebesar 5,5% menjadi Rp18,7 triliun (9B 2015: Rp17,7 triliun). Pendapatan selular, data tetap (MIDI) dan telepon tetap masing-masing memberikan kontribusi sebesar 83%, 14%, dan 3% terhadap pendapatan konsolidasian Perusahaan.

Sedangkan XL Axiata pada laporan keuangan quartal 3 tahun 2016 pendapatannya malah tergerus. Emiten yang memiliki kode bursa EXCL ini di quartal 3 tahun 2016 hanya membukukan pendapatan Rp16 triliun. Padahal di periode yang sama tahun sebelumnya pendapatan operator telekomunikasi asal Malaysia ini bisa mencapai Rp 16,9 triliun.

Kinerja yang masih ‘terseok-seok’ ini juga dapat dilihat dari pertumbuhan laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) perseroan yang hanya tumbuh 3% YoY menjadi Rp 6,2 triliun. Tak hanya EBITDA saja yang ‘cekak’ pertumbuhannya. margin XL juga terbilang minim hanya  2,8% YoY menjadi 38,6%.

Selain itu, penjualan menara telekomunikasi kepada Protelindo yang dilakukan XL memang membuat anak usaha Axiata ini mampu membayar pinjaman kepada pemegang sahamnya dan membuat beban bunga perseroan menjadi berkurang. Namun perjanjian leaseback 2.433 manara telekomunikasi XL dari Protelindo selama 10 tahun membuat beban jangka panjang perseroan melesat sangat signifikan. Dari Rp2 triliun di quartal ke 3 tahun 2015 menjadi Rp3,4 triliun di quartal ke 3 tahun 2016.

 

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU