Jakarta, Selular.ID – Draft revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP 52 tahun 2000) dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit yang mengakomodasi model bisnis network sharing, konon sudah berada di meja Presiden untuk ditandatangani. Namun ada permasalahan ‘terpendam’ di dalam revisi tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh Garuda Sugardo mantan petinggi Telkom dan Telkomsel. Menurutnya populisnya network sharing memang menguntungkan pelanggan, tapi yang paling diuntungkan adalah operator asing.
Seperti diketahui, kebanyakan operator selular di Indonesia dikuasai oleh pihak asing. Telkomsel sahamnya dipegang oleh Telkom (65%) dan SingTel (35%), Indosat Ooredoo sudah jelas dikuasai oleh Ooredoo, operator asal Qatar, XL Axiata didominasi oleh Axiata asal Malaysia, Tri Indonesia milik Hutchison, dan Smartfren dipegang PT Wahana Inti Nusantara (32,8%), PT Bali Media Telekomunikasi (24,1%), PT Global Nusa Data (24,8%), dan masyarakat (18,28%) .
Konsep Network Sharing sendiri adalah penggunaan jaringan aktif secara bersama oleh para operator. Secara gamblangnya, jika misalkan Telkomsel memiliki jaringan di suatu daerah, maka operator lain yang tidak memiliki jaringan bisa menggunakan jaringan milik Telkomsel. Telkomsel sendiri bisa dikatakan sebagai operator yang paling luas menggelar jaringannya ke berbagai daerah di Indonesia.
“Tidak ada keharusan Telkomsel menerima konsep network sharing dengan sesama operator seluler, selama Telkomsel hanya diposisikan selaku “donatur” network,” tegas Garuda Sugardo. Lebih lanjut dia juga mengingatkan, Indosat telah menerima segala macam lisensi seperti yang dimiliki Telkom sehingga layak disebut Full Network Service Provider dengan segala hak dan kewajibannya.Sebagai pemilik lisensi, operator tentu sadar konsekuensinya adalah membangun infrastruktur jaringan, tidak hanya di daerah yang gemuk, tetapi di seluruh daerah di Indonesia.
“Saya mengerti dan setuju konsep network sharing 100%, itu pasti! Tetapi dalam arti kata saling berbagi, bukan yang satu berbagi tapi yang lain minta bagian. Itu tidak adil dan tendensi berpihak. Apalagi kepada operator yang sudah “menggadaikan” jaringan kepada vendor secara managed service. Mereka adalah operator “pemalas”, segan membangun, enggan pula memelihara jaringan. Padahal lisensi mereka adalah sebagai Operator Jaringan dan Operator Layanan,” ketusnya.
Garuda mengharapkan, Presiden Joko Widodo tak menandatangani revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP 52 tahun 2000) dan PP 53 tahun 2000. “Ini kalau dijalankan akan blunder di masa depan. Pemerintah tidak perlu melindungi kelalaian para operator mana pun. Biarkan mereka sadar kewajibannya. Mereka yang bermental free rider harus “dikepret” agar sadar bahwa regulasi Indonesia eksis dan berdaulat,” tutupnya.
Pemikiran senada juga dilontarkan oleh Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi. Menurutnya network sharing di seluruh dunia merupakan jenis kebijakan insentif dari pemerintah untuk memperluas akses telekomunikasi masyarakat yang daerahnya belum terjamah operator manapun, bukan untuk membantu pemain yang tidak mau membangun agar dapat mengefisiensikan biaya belanja modal dan operasionalnya.
“Kalau dilihat dari pemberitaan di media massa network sharing yang digulirkan seperti ingin membantu pesaing Telkom Group untuk tidak perlu melakukan subsidi investasi memasuki pasar luar Jawa seperti yang dialami operator pelat merah itu,” katanya.
Diungkapkan Ridwan, Telkomsel dalam menggelar jaringan di luar Jawa biasanya mengalami pain period karena trafik tak langsung datang. “Kalau dilihat di laporan keuangannya, itu ada 16.000 BTS harus disubsidi setiap bulannya oleh Telkomsel demi melayani masyarakat. Jadi, saya bingung kalau ada operator yang enggan membangun didukung pemerintah, sementara ada yang sudah bersusah payah, malah mau dibebani lagi, tutupnya.