IMG_0097

Belum lagi diberlakukan, aturan baru menyangkut revisi tarif interkoneksi terus menimbulkan polemik.  Operator terlihat tak satu suara dalam mensikapi isu ini. Tarik menarik antara pihak yang menginginkan penurunan drastis dan gradual tampaknya masih akan terus terjadi hingga keputusan final dibuat oleh regulator. Meminjam istilah Merza Fachys, Presdir Smartfren. “Perjuangannya sampai tinta mengering. Jadi, lihat saja nanti waktu diumumkan”.

Seperti diketahui, awalnya rencana penurunan tarif interkoneksi sudah dapat diketok palu pada akhir 2015. Kemudian mundur hingga April 2016. Dan terus-terusan molor hingga kini. Terakhir  Menkominfo Rudiantara menegaskan bahwa ia siap menurunkan tarif interkoneksi hingga 25% dibandingkan dengan tarif sebelumnya.

Beleid baru ini akan diputuskan pada Juni 2016. Rudiantara bilang tujuan pemangkasan tariff interkoneksi agar terjadi keseimbangan dan efisiensi industri, khususnya agar tarif telepon pelanggan ke operator lain jadi lebih murah.

Menkominfo Rudiantara (Foto: Hendra/Selular.ID)Menurut menteri yang akrab dipanggil Chief RA, sesuai dengan ketentuan, biaya interkoneksi setiap dua tahun direview, dan sudah dua kali hanya single digit turunnya. Ia memastikan bahwa penurunannya kali ini harus signifikan, sesuai dengan kondisi industri saat ini.

Pandangan Chief memang ada benarnya. Melongok ke belakang, hitung ulang biaya interkoneksi yang fenomenal adalah pada 2009 dimana terjadi penurunan sekitar 20%-40% ke tarif ritel. Sementara  untuk hitung ulang pada 2011 tidak  memberikan dampak signifikan ke  tarif ritel  karena hanya terjadi penurunan sekitar 6%.

“Membuat industri ini menjadi lebih efisien menjadi salah satu agenda bersama. Kita harus mendorong network sharing, mencoret biaya yang membuat beban industri seperti interkoneksi, dan segala macam biaya lainnya,” ujarnya saat membuka gelaran ICS 2016 di JCC (2/6).

Sejak awal, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren, dan Tri Hutchinson secara terbuka mendukung revisi tarif interkoneksi. Bos XL Axiata Dian Siswarini malah berharap tarif interkoneksi turun hingga 40%. Dian haqul yakin penurunan tarif interkoneksi yang signifikan bakal berpengaruh terhadap tarif retail yang nantinya dijatuhkan kepada pelanggan.

“Bagusnya turun 40%, biar kita lebih mudah berkreasi saat mengemas dan menawarkan paket bundling kepada pelanggan. Ini karena harga off-net mahal, orang masih koleksi banyak nomor,” katanya.

Jika hampir semua operator mendukung rencana, tidak dengan Telkomsel. Anak perusahaan Telkom ini menilai penurunan tarif interkoneksi sesungguhnya tidak berdampak langsung kepada turunnya tarif ritel.

Ririek Adriansyah, Direktur Utama TelkomselDirektur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah,  menegaskan jika pemerintah ingin menurunkan tarif ritel, maka tidak akan signifikan dengan cara memangkas biaya interkoneksi. Karena sejak 2008, penurunan biaya interkoneksi itu tidak pernah berdampak signifikan kepada penurunan tarif ritel off-net.

“Tarif interkoneksi cuma sebagian kecil (sekitar 15%) dari variable komponen tarif retail secara keseluruhan yang terdiri dari beberapa variable biaya”, ujar Ririek.

Alhasil, rencana pemangkasan tarif interkoneksi sebesar itu, dinilai menafikan komponen perhitungan lain dari tarif ritel dimana selain biaya interkoneksi ada variabel lain yakni service activation fee, marketing fee dan margin keuntungan. Padahal biaya interkoneksi sebenarnya adalah biaya jaringan yang dimiliki operator.

Hal ini sesuai dengan perhitungan biaya interkoneksi selama ini yang menggunakan metode perhitungan Bottom Up Long Run Incremental Cost (BU LRIC) dengan pendekatan Forward Looking.

Jika tarif interkoneksi turun secara drastis, Ririek pantas khawatir. Karena dalam jangka panjang, sebagai operator dominan, Telkomsel akan kesulitan mengembangkan infrastruktur karena biaya di bawah ongkos produksi. Di sisi lain, kondisi ini akan menguntungkan operator penantang yang cenderung melakukan network sharing untuk menjaga margin.

“Jika ini terjadi, pada akhirnya masyarakat yang dirugikan karena kualitas layanan menurun”, ujar Ririek mengingatkan.

Pria asal Yogyakarta ini juga berharap pemerintah dapat melakukan perhitungan interkoneksi secara fair. Contohnya, ada operator A membangun 1.000 BTS yang sudah meng-cover satu wilayah. Namun di tempat yang sama ada operator B yang cuma membangun 1 BTS yang jangkauannya lebih kecil.

“Tetapi ternyata operator tersebut (operator B-red.) meminta tarif interkoneksi yang sama, itu gak fair dong,” ujar Ririek.

Selain tak adil, hal ini dinilai juga bisa menghalangi investor untuk membangun infrastruktur yang lebih luas di Indonesia. “Mending bangun 1 BTS saja dong (tetapi bisa mendapatkan biaya interkoneksi yang sama dengan operator yang membangun 1.000 BTS-red.). Ini kan gak fair,” jelasnya, menganalogikan.

Pendapatan Operator

Di luar polemik tersebut, persoalan interkoneksi sejatinya juga bermuara pada pendapatan masing-masing pendapatan. Sebagai contoh, pada 2014 XL Axiata membukukan pendapatan interkoneksi Rp 3,03 triliun dengan beban interkoneksi Rp 3,7 triliun sehingga defisit Rp 670 miliar, sedangkan PT Telkom mencatat pendapatan interkoneksi Rp 4,8 triliun dengan beban Rp 4,9 triliun, sehingga defisit Rp 100 miliar.

XL_Erafone1Sebaliknya, sebagai operator dominan dengan pangsa pasar di atas 25%, Telkomsel memperoleh keuntungan dari tarif interkoneksi yang berlaku saat ini. Pada 2014, Telkomsel mencatat pendapatan interkoneksi naik 9,7% menjadi Rp 4,78 triliun. Namun beban interkoneksinya turun 0,9% menjadi Rp 3,2 triliun. AlhasilTelkomsel mencatat pendapatan Rp 1,6 triliun dari interkoneksi.

Namun sesungguhnya tak ada yang salah jika Telkomsel memperoleh pendapatan interkoneksi  sebesar itu. Pasalnya, Telkomsel diuntungkan dengan jumlah pelanggan yang mencapai 125 juta dan giatnya operator ini membangun BTS yang jumlahnya saat ini mencapai 116 ribu dan telah menjangkau 95% wilayah Indonesia. Seperti diketahui, semakin besar trafik interkoneksi ke operator lain, maka pendapatan operator asal semakin besar dibanding pendapatan operator lain yang menjadi tujuan.

Meski demikian tak semua BTS yang didirikan bersifat komersial. Apalagi untuk BTS-BTS yang dibangun di perbatasan dan remote-remote area. Selisih pendapatan inilah yang salah satunya digunakan Telkomsel untuk mendanai pembangunan dan pengoperasian BTS-BTS dengan katagori ‘dhuafa’ tersebut.

Tingginya Tarif  Off-Net

Di sisi lain, jika mau dikaji lebih dalam, persoalan interkoneksi juga tak bisa berdiri sendiri. Pasalnya, otak-atik tarif interkoneksi tak akan berdampak signifikan jika tarif off-net tak disentuh oleh pemerintah. Saat ini komponen tarif ritel layanan antar operator (off-net) pelanggan mencapai Rp 1.800 per menit. Jika dikurangi dengan tarif interkoneksi Rp 450 per menit, maka pendapatan telepon lintas operator (off-net) operator adalah Rp 1.350 menit.  Bandingkan dengan tarif on-net yang rata-rata di bawah Rp 300 per menit.

Bisa dibilang, selisih biaya interkoneksi ini yang menjadi pendapatan bagi operator baik itu on-net atau off-net. Selisih pendapatan sebesar itu yang menjadi modal bagi operator untuk menawarkan tarif yang lebih terjangkau untuk layanan on-net. Namun di sisi lain, menerapkan tarif yang terbilang mahal untuk off-net. Tak heran jika  trafik percakapan suara saat ini masih didominasi oleh panggilan on-net sebesar 96% berbanding off-net yang hanya 4%.

Tentu saja perbedaan tarif ritel on net dan off net yang mencapai lebih dari 10 kali lipat itu, dirasakan tidak wajar. Hal itu jelas  menunjukkan bahwa  industri telekomunikasi terdapat entry barrier yang tinggi. Para operator sepertinya tak ingin pelanggan mereka melakukan panggilan off net jika tidak terpaksa.

Dalam hal ini, pemerintah sebenarnya dapat memutuskan untuk  pembatasan tarif ritel batas atas untuk layanan off-net sehingga pelanggan dapat memperoleh dampak langsung atas kegiatan penyempurnaan regulasi tarif dan interkoneksi.

Di sisi lain, pemerintah  juga harus mendorong operator untuk terus memperluas jangkauan layanan. Sesuai dengan ketentuan modern lisencing yang menjadi dasar beroperasinya operator telekomunikasi di Indonesia.  Rudiantara dalam satu kesempatan bahkan bakal bertindak tegas kepada operator yang tidak menjaga komitmen modern lisencing.

“Saya sekarang akan memberi peringatan kepada operator yang tidak membangun sesuai dengan modern licensing, selama ini terjadi pembiaran,” tegas Rudiantara di sela HUT ke-22 Mastel (2/12/2015).

Menteri mengungkapkan, pihaknya selalu mendorong terjadinya konsolidasi antar operator untuk mewujudkan industri yang efisien. Namun di sisi lain, komitmen modern licensing juga tak bisa dipandang sebelah mata.

Modern licensing merupakan ketentuan yang harus diikuti oleh seluruh operator yang memperoleh izin lisensi penyelenggaraan layanan seluler yang pada periode tertentu diwajibkan menggelar infrastruktur jaringan, termasuk menggelar layanan komersial, serta membayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi bagi operator.

Modern licensing yang diberikan kepada suatu operator harus diiringi dengan komitmen pembangunan jaringan secara tertulis yang wajib dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan, maka operator tersebut terancam terkena sanksi denda sampai pencabutan lisensi.  Komitmen pembangunan tersebut berupa jangkauan kota (coverage), penetrasi populasi, atau kapasitas sambungan yang akan terpasang yang mengikat.

Selain itu, modern licensing merupakan kebijakan yang dikeluarkan regulator bagi penyelenggaraan telekomunikasi dengan tujuan mendorong tersebarnya pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi ke seluruh wilayah di Tanah Air.

Jadi jelas keterkaitan modern lisencing dengan persoalan interkoneksi yang kini mengemuka. Semakin operator membangun jaringan hingga ke pelosok, maka biaya pembangunan operator akan menjadi semakin tinggi dan pelanggan akan semakin jarang ditemui. Hal ini mau tak mau meningkatkan tarif interkoneksi karena secara  keseluruhan harga pokok produksi operator akan naik.

Sebaliknya, tarif Interkoneksi antar operator bisa memiliki tren turun apabila cakupan jaringan masing masing operator sudah setara atau sebanding dan sudah tidak ada pembangunan site site baru di Indonesia. Dengan kata lain, jaringan seluruh operator sudah merata, sehingga yang dilakukan seluruh operator hanya menambah kapasitas saja, tidak menambah site BTS. Sebagai informasi , jumlah site BTS untuk menutup seluruh wilayah populasi Indonesia adalah sekitar 150 -200 ribu.

Dengan mengacu kepada modern lisencing yang merupakan aturan diatasnya, maka pemerintah tidak bisa serta merta menurunkan biaya interkoneksi karena hal itu merupakan biaya produksi operator.  Memberlakukan biaya produksi hasil perhitungan masing-masing operator sebagai biaya interkoneksi adalah kebijakan tepat.

Di sisi lain, pemerintah dapat mendorong operator menurunkan tarif off-net karena saat ini margin operator dari trafik off-net sudah mencapai lebih dari 500%. Turunnya tarif off-net dengan sendiri dapat mendorong percakapan pelanggan lintas operator, karena masyarakat menilai menelpon antar operator sama murahnya dengan menelpon pelanggan pada operator yang sama.