Jakarta, Selular.ID – Perseteruan Indosat Ooredoo Vs Telkomsel yang berawal dari promo tarif Rp 1 kini sudah melebar ke ranah KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Berdasarkan aduan yang sudah dilayangkan oleh Indosat Ooredo, Lembaga anti monopoli itu sudah memanggil kedua operator pada Jumat (24/6).
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan pihaknya memanggil Telkomsel untuk meminta klarifikasi dugaan operator itu melakukan tindakan monopoli. Ia berujar, Telkomsel menguasai 80 persen pasar di luar Pulau Jawa. “Dalam hal ini, Telkomsel diduga memborong SIM card milik Indosat,” ucapnya.
Sementara itu, pemanggilan Indosat berkaitan dengan penetapan harga telepon Rp 1 per detik yang mengarah pada predatory pricing atau merusak harga. “Kami akan mengklarifikasi, apakah tarif tersebut wajar,” tuturnya. Meski kedua belah pihak membantah terlibat dalam perseteruan, pemeriksaan lanjutan oleh KPPU akan dilakukan usai lebaran nanti.
Menanggapi konflik yang terjadi diantara kedua operator selular itu, anggota DPR Komisi 1 Budi Youyastri, mengatakan bahwa domain DPR berbeda dengan KPPU. Pihaknya mempersilahkan KPPU untuk menyelidiki lebih lanjut tudingan bahwa Telkomsel telah melakukan praktek monopoli sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Namun demikian, menurut Budi, kehadiran Telkomsel di berbagai pelosok di Indonesia terjadi karena konsistensinya dalam membangun jaringan sejak awal perusahaan ini didirikan. Sehingga monopoli yang terjadi bersifat natural, karena operator lain yang tidak mengimbangi Telkomsel sejak awal.
“Ini adalah kesalahan operator pesaing yang tidak mengimbangi Telkomsel sejak awal. Faktanya, Indosat dan XL Axiata justru terlihat tidak serius dalam memperluas coverage. Tercermin dari jumlah BTS yang kalah jauh dengan Telkomsel. Padahal tak ada perbedaan lisensi yang diberikan kepada ketiganya”, ujar Budi.
Untuk itu, imbuh Budi, ketimbang mempersoalkan terjadinya praktek monopoli oleh Telkomsel di luar Jawa, Indosat Ooredoo disarankan untuk mengembalikan frekwensi kepada pemerintah jika memang tidak mampu membangun jaringan sesuai dengan komitmen yang telah disepakati.
“Frekwensi adalah asset terbatas, sehingga harus benar-benar dikelola sebaik mungkin oleh negara agar pemanfaatannya dapat maksimal. Ke depan, hanya operator yang punya komitmen membangun jaringan ke seluruh Indonesa yang berhak untuk memperoleh penambahan frekwensi”, tegas Budi.