Penjualan kartu perdana berpotensi membuat retailer susah karena modal berpotensi macet. Distribusi sell-out mencoba mendekonstruki pendekatan tersebut.
Bagi operator, retailer adalah ujung tombak penting. Di tangan mereka produk kartu perdana –maupun pulsa- dipertaruhkan. Bila retailer merasa happy dalam berbisnis, jelas operator pun akan menangguk keuntungan, setidaknya akuisisi pelanggan baru akan terjadi.
Masalahnya, pola distribusi yang dianut oleh operator masih mengadopsi FMCG (fast moving consumer good). Pola ini menempatkan retailer berada di sisi siklus paling akhir. Mereka yang notabene menjadi ujung tombak akhirnya di tengah kompetisi antar operator yang ketat menjadi pihak yang menanggung distorsi harga dengan menjual rugi kartu perdana, maupun modal macet gara-gara kartu tidak segera terjual. Pola distribusi sell-in seperti ini hanya memungkinkan insentif diberikan saat ada pembelian dari konsumen dan komisi diberikan setelah ada catatan manual penjualan. “Sistem itu menempatkan retailer pada kondisi sulit. Padahal mereka ujung tombak pemasaran kami,” kata Hermansyah Haryono, Head of Trade Marketing Tri .
Untuk mengatasi itu, tambah Iman –sapaan akrab Hermansyah-, pihaknya melakukan terobosan dengan membuat sistem sell-out dengan membalik proses. Ketika konsumen membeli dan mengaktifkan kartu perdana, secara otomatis retailer akan mendapat bonus dengan catatan yang terkomputerisasi real-time. “Sistem ini memungkinkkan insentif dibayarkan langsung, transparan, dan modal pedagang tidak banyak yang macet,” kata Iman. Sebagai bagian dari langkah besar Tri selama dua tahun ‘berpuasa’ dari publikasi media, sistem distribusi baru ini diyakini menjadi terobosan baru. “Kami melakukan pembenahan besar-besaran. Hasil salah satunya adalah Angie,” kata Manjot Mann, Presiden Direktur Tri. Angie (singkatan dari NG atau next generation) adalah sistem distribusi sell-out yang dibuat untuk memikat para retailer. “750 ribu retailer di Indonesia yang menggantungkan hidup pada bisnis kartu perdana dan pulsa, tentu solusi ini bisa menjadi alternatif menarik,” ujar Imam.
Di dalam sistem Angie ini terdapat skema KPK (Kartu Perdana Kosong). Bila sebelumnya retailer harus stok kartu perdana dari promosi jenis tertentu, retailer cukup punya satu jenis kartu KPK yang berisi nomor dan bisa didapatkan tanpa biaya. Ini membuat retailer tak perlu khawatir menumpuk stok kartu perdana karena barang tersebut tak kadaluarsa. Angie memungkinkan KPK bisa diaktifkan menjadi kartu apa saja seusai yang diinginkan pelanggan –termasuk mengikuti program yang sedang dijalani operator-. Aktivasinya tinggal dilakukan lewat SMS atau SIM Toolkit milik retailer. Selain itu, aktivasi juga bisa dilakukan lewat aplikasi berbasis Android bernama Rita (Retailer Application) termasuk bagi konsumen yang ingin mendaftarkan nomor kartu prabayar mereka. Selain Rita, juga ada 3Sakti yang berfungsi sebagai ‘bank pulsa’ yang dimiliki retailer. Selain bisa digunakan untuk mengisi pulsa –termasuk untuk operator lain-, mereka akan mendapatkan insentif langsung ke dalam 3Sakti ketika ada aktivasi nomor perdana Tri. Uniknya lagi, untuk memantau keaktifan jaringan distribusi, Tri membangun GIS (Geographic Information System) yang berisi informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan distribusi.
“Angie ini sudah berjalan setahun dan kami pikir menguntungkan semua pihak termasuk distributor maupun retailer,” kata Iman. Yang jelas, terobosan model Tri ini termasuk ‘mengerti’ keadaan yang terjadi di lapangan yang serba rumit. Akankah model ini akan lantas menjadi trigger dalam distribusi kartu perdana atau pulsa untuk operator di Tanah Air. Kita lihat saja. (Lukman Aribowo)