Jakarta, Selular.ID – Sempat menyandang predikat sebagai produsen komputer medioker, dalam satu dekade terakhir, Apple menjelma menjadi pemain kunci dalam industri komputasi global, terutama di pasar tablet dan smartphone. Namun menghadapi persaingan yang semakin ketat terutama dengan Samsung dan vendor-vendor China telah membuat kinerja Apple belakangan semakin kedodoran.
Tengok saja pencapaian Apple sepanjang 2016. Perusahaan yang didirikan oleh Steve Jobs itu melaporkan penurunan penjualan tahunan yang pertama sejak 2001, tahun ketika perusahaan teknologi tersebut meluncurkan iPod dan memulai pembuatan serangkaian produk yang mengguncang pasar.
Pada tahun fiskal 2016 yang berakhir 30 September, penjualan Apple turun menjadi US$ 216 miliar, dari rekor penjualan US$ 234 miliar pada 2015.
Penurunan itu terutama disebabkan oleh anjloknya permintaan terhadap iPhone, yang masih menjadi tulang punggung pendapatan Apple. Tercatat, pada kuartal terakhir, Apple hanya mampu menjual 45.5 juta unit iPhone, turun dari 48 juta unit di kuartal yang sama tahun lalu.
Para analis menduga pasar global smartphone sudah jenuh dan para konsumen menunggu lebih lama untuk mengganti telepon seluler mereka. Selain itu, model terakhir iPhone sangat mirip (dead ringer) dibandingkan dua model sebelumnya, sehingga tidak terlalu menggugah hasrat pengguna untuk melakukan upgrade.
Penjualan Apple di Tiongkok, yang semula sangat menjanjikan untuk meningkatkan pertumbuhan, justru anjlok 30% karena perusahaan menghadapi kompetisi sengit dari merk-merek lokal yang semakin digandrungi seperti Oppo, Vivo, Xiaomi dan Huawei.
Sebelumnya tak sedikit pengamat berasumsi bahwa Apple akan memperoleh wind fall terkait persoalan yang mendera seteru abadinya, Samsung. Memang saat Samsung sedang dirundung masalah, Apple sempat mengambil momentum. Vendor berlogo apel tergigit ini bergegas meluncurkan jagoan terbarunya, iPhone 7 dan 7 Plus.
Dan benar saja, ketika saham Samsung sedang jatuh, sebaliknya saham Apple malah naik 2,2 % (ke posisi US$ 105,44 atau Rp 1,4 juta per lembar) tak lama setelah peluncuran iPhone 7 dan iPhone 7 Plus.
Katy Huberty, analis di Morgan Stanley, yakin bahwa penjualan iPhone ke depan akan terbantu oleh masalah baterai terbakar di Samsung Galaxy Note 7 yang memicu penarikan besar-besaran.
Sayangnya, optimisme yang dilontarkan Katy bisa dibilang prematur. Pasalnya, mengutip data IDC ternyata tragedi Galaxy Note 7 tidak mengjungkalkan Samsung dari tahtanya, sebagai penguasa pasar smartphone dunia.
Menurut Melissa Chau, Direktur Riset Associate IDC untuk perangkat mobile, dominasi pasar Samsung pada kuartal ketiga tidak begitu terpengaruh dengan penghentian dan penarikan Galaxy Note 7. Namun Melissa tak memungkiri, untuk jangka panjang bisa saja kegagalan Galaxy Note 7, berpengaruh pada posisi vendor asal negeri ginseng itu.
“Sejauh ini dalam jangka pendek, tragedi Note 7 belum bisa mengoyahkan posisi Samsung, namun dalam jangka panjang tentunya akan memberikan dampak pada Samsung,” ujar Melissa.
Senada dengan IDC, hasil survei yang dilakukan Strategy Analytics tetap menempatkan Samsung sebagai vendor terpopuler sepanjang kuartal ketiga 2016.
Berdasarkan laporan kedua lembaga survei tersebut, Samsung masih berada di urutan puncak dengan 20 persen pangsa pasar. Sementara posisi kedua ditempati oleh Apple dengan pangsa pasar 12 persen. Posisi ketiga hingga lima ditempati oleh Huawei, Oppo, dan Vivo.
Merangseknya vendor-vendor China ke deretan elit memang semakin kentara dalam tahun-tahun terakhir. Dua mantra utama, yakni harga lebih terjangkau namun spesifikasi tinggi, membuat konsumen semakin terbius. Alhasil tak hanya pasar lokal yang mereka kuasai, namun juga manca negara.
Tengok saja pencapaian Huawei yang terbilang fenomenal. Vendor berlogo bunga mekar itu, sukses mengapalkan 100 juta smartphone ke seluruh dunia sepanjang 2015. Keberhasilan Huawei tak lepas dari giatnya vendor yang berbasis di Shenzen itu, merilis perangkat baru hampir setiap bulan. Mereka berhasil mengisi produk di setiap titik harga, mulai dari low-end, mid-range, hingga level premium.
Di Indonesia sendiri, Huawei terbilang konsisten menjajakan banyak varian seperti Huawei G8, Mate S, W1 Watch, Enjoy 6, Honor 5A, Y5 II, Y3 II, dan lainnya. Line up luas dan kualitas produk yang mumpuni, mereka barengi dengan pembangunan service center yang menjangkau banyak kota-kota besar di Indonesia. Dengan strategi pemasaran yang terbilang ekspansif, Huawei berambisi bisa menggaet market share sedikitnya 10% pada 2017.
Konsistensi itu menunjukkan, Huawei menjadi salah satu dari beberapa vendor Cina yang mampu membangun eksistensi kuat di sejumlah pasar internasional di Asia dan Eropa. Jadi, tidak mengejutkan jika Huawei berhasil mengapalkan jumlah smartphone selangit.
Satu hal lain yang perlu dicatat adalah, banyak model ponsel yang diperkenalkan untuk mengisi segmen mid to high end, seperti Huawei P8 dan P9 (Kirin 935), Mate S (935) dan Huawei Mate 8 (Kirin 950), berjalan menggunakan chipset yang diproduksi sendiri, yaitu Kirin. Hal ini menunjukkan, kemampuan riset dan pengembangan Huawei tak kalah dengan produk pesaing, seperti Snapdragon besutan Qualcomm atau Helio milik Mediatek.
Sudah Diduga
Kembali ke performa Apple yang kini tak menggembirakan. Sejatinya, anjloknya kinerja Apple sepanjang Sembilan bulan pertama 2016, bukan hal yang mengejutkan. Pasalnya, tren penurunan sudah terlihat saat kuartal pertama 2016, saat penjualan iPhone yang menjadi ujung tombak, merosot hingga 16 persen.
Pada periode itu, Apple hanya berhasil menjual sebanyak 51,19 juta unit iPhone dari berbagai model. Padahal, pada periode yang sama 2015, penjualan iPhone mencapai 61,17 juta unit.
Alhasil, Apple hanya mengantungi profit 10,52 miliar dollar AS atau setara Rp 138,4 triliun. Berbanding terbalik dengan keuntungan yang mencapai 13,57 miliar dollar AS atau sekitar Rp 178,5 triliun di periode sebelumnya.
Parahnya, persentase yang terpapar bahkan melebihi prediksi penurunan dari beberapa firma analis pada akhir 2015 lalu. Kala itu, para analis memproyeksikan penjualan iPhone hanya akan menurun sebanyak 6 persen.
Menghadapi tren penurunan, tentu saja Apple harus beralibi. CEO Apple Tim Cook beranggapan bahwa hal ini tak lepas dari dampak penguatan dollar. Harga produk Apple melambung tinggi di pasaran global, membuat permintaan pasar menjadi melemah. Alhasil, setelah delapan tahun melalang buana (iPhone pertama dirilis 2007) dengan pertumbuhan penjualan yang memuaskan, iPhone toh menemui titik jatuh.
“Ini adalah rintangan yang sulit, tapi tak akan mengubah apa pun di masa mendatang. Masa depan sangat bersinar,” kata Tim Cook.
Cook mengaku pengguna iPhone tak lagi gencar memperbarui ponselnya ke seri terbaru. Namun, ia mengklaim masih banyak pengguna yang beralih dari Android ke iPhone. Pengganti Steve Jobs itu bilang jumlah pengguna Android yang beralih ke iPhone mencapai angka terbanyak dalam enam bulan terakhir sejak Oktober 2015. Tentu Cook berhak mengklaim. Sayangnya, klaim itu tak dibarengi dengan beberan data yang memperkuat asumsinya.
Terlepas bahwa hal itu alibi atau bukan, yang pasti Cook memang harus mengklarikasi berbagai isu agar Apple tak terus menerus terpapar sentimen negatif yang tak hanya berdampak pada konsumen, namun bisa berujung pada ketidakpercayaan investor.
Cook memang harus bergerak cepat karena pasca anjloknya kinerja Apple, investor mulai bersikap hati-hati terhadap saham yang mereka miliki. Langkah drastic bahkan sudah diambil oleh miliarder terkenal, Carl Icahn yang memutuskan melepas seluruh saham yang dia miliki di Apple. Ia mengkhawatirkan penjualan iPhone yang belakangan merosot makin terancam dengan situasi yang kurang menguntungkan di China.
Icahn sudah sekitar tiga tahun ini menjadi investor Apple dengan kepemilikan 45,8 juta saham. Namun kini ia memutuskan melepas seluruhnya dengan nilai dikabarkan sekitar 1,37 miliar poundsterling.
“Kami tidak lagi memiliki posisi di Apple. CEO Tim Cook sudah melakukan pekerjaan bagus. Aku menghubunginya dan dia sedikit minta maaf. Namun aku mengatakan Apple itu perusahaan hebat,” tutur Icahn.
Icahn mencemaskan situasi di China akan berpengaruh besar pada harga saham Apple. Memang pemerintah setempat sering melakukan kebijakan yang tak menguntungkan bagi perusahaan mancanegara.
“Anda mungkin agak cemas dengan sikap China itu. Pemerintah China bisa membuat Apple sangat sulit untuk menjual di sana,” jelasnya.
Terus Menurun
Jika melihat tren penurunan penjualan, apakah ini berarti Apple tengah menuju ke titik nadir, seperti halnya vendor yang dulu pernah berjaya, Nokia atau Blackberry? Jika melihat posisi sebagai produsen ponsel terbesar kedua di dunia, tentu saja asumsi ini masih prematur.
Meski demikian, para investor tak bisa mengesampingkan penilaian berbagai lembaga riset terhadap performa Apple. Apalagi berbagai laporan yang dilansir oleh berbagai lembaga riset terkemuka, menunjukkan saat ini Apple tengah mengalami masa-masa yang sangat sulit.
Tengok saja riset GfK yang menyimpulkan bahwa perangkat baru Apple, yakni iPhone 7 dan iPhone 7 Plus, peluncurannya tidak seperti sebelumnya. Lembaga riset asal Jerman itu, mengatakan bahwa penjualan dari dua perangkat baru Apple ini lebih rendah 205% jika di hitung secara YoY.
Laporan mengejutkan dari GfK tentang Apple ini bukanlah yang pertama kalinya. Tahun lalu, lembaga ini juga mengatakan bahwa apa yang dikatakan CEO Apple, Tim Cook untuk pemasaran iPhone 6s dan iPhone 6s Plus tidak sesuai dengan kenyataannya di pasar, yang ternyata lebih lemah.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Digitimes juga membuat nilai saham Apple menurun. Berita yang dimuat di laman Digitimes (3/9), menyebutkan adanya penurunan berturut-turut sebesar 20% pada pemesanan chip di kuartal pertama untuk iPhone 7 dan iPhone 7 Plus. Prediksi tersebut dibuat dengan membandingkan para penyedia chip.
Apple dikabarkan meminta pada penyedia chip untuk menjaga stok untuk 50 juta unit iPhone pada kuartal ketiga, kemudian menurun menjadi 45 juta chip pada kuartal keempat. Memasuki tahun 2017, jumlah tersebut akan diturunkan lagi menjadi 35 hingga 37 juta unit iPhone saja. Untuk sepanjang tahun 2016, Apple dikabarkan mendorong para penyedia barang agar bisa menyediakan komponen untuk sekitar 100 juta unit iPhone 7 dan iPhone 7 Plus.
Sentimen negatif terhadap performa Apple, tak pelak mulai berimbas pada harga saham Apple. Beberapa hari, sebelum pemberitaan yang dimuat oleh Digitimes, saham Apple ditutup menurun sampai 1,7%, senilai $112.71 perlembarnya.
Diolok-olok Motorola
Tentu saja tren penurunan penjualan Apple, laksana durian runtuh bagi para pesaing. Mereka segera memanfaatkan untuk memperkuat brand image. Salah satunya adalah Motorola. Pasaca diakusisi oleh Lenovo, brand legendaris itu mulai agresif merilis berbagai iklan baru. Menariknya, salah satu iklan terbaru yang ditampilkan Motorola, seakan menabuh genderang persaingan terhadap Apple.
Dalam iklan berdurasi kurang lebih 1 menit yang diunggah di laman YouTube resmi Motorola tersebut, terlihat jelas pihak Moto menyindir Apple. Digambarkan, sejak 2007 tidak ada inovasi baru yang dihadirkan, pabrikan yang berbasis di Cuppertino, California, AS.
Sebagai gambaran, iklan tersebut dimulai dengan sebuah adegan yang menyerupai ketika almarhum Steve Jobs meluncurkan iPhone pertama pada tahun 2007, yang disebut mengubah peta persaingan smartphone.
Namun setelah itu, tak ada lagi inovasi yang cukup besar dalam perkembangan smartphone, seperti kamera menjadi sedikit lebih bagus, port audio 3,5 mm yang dihilangkan, dan menjadikan rose gold sebagai salah satu opsi warna.
Sejurus kemudian, dalam iklan tersebut Motorola pun mengajak orang-orang untuk berhenti menerima sesuatu yang sama dan berpindah ke sesuatu yang baru. Yang dimaksud oleh Motorola adalah Moto Mods, yang memungkinkan penggunanya untuk memasang bermacam aksesori pada bagian belakang Moto Z.
Aksesori tersebut antara lain adalah JBL Sound Boost, Insta Share Projector dan kamera Hasselblad True Zoom, yang semuanya bisa dipasang dengan mudah menggunakan magnet yang ada di belakang bodi ponsel.
Iklan itu ditutup dengan pertanyaan, “Apakah Moto sudah merilis smartphone yang paling pintar?” yang kemudian diakhiri dengan suara ringtone smartphone khas Motorola.