Jumat, 19 September 2025
Selular.ID -

Chief AI Officer di Indonesia: ROI 10% Lebih Tinggi, Tapi Masih 17%

BACA JUGA

Selular.id – Sebuah studi global terbaru dari IBM Institute for Business Value (IBV) mengungkap bahwa wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia, berada di garis depan dalam tren penunjukan Chief AI Officer (CAIO).

Meski demikian, hanya 17% organisasi di Indonesia yang telah memiliki CAIO, jauh di bawah rata-rata Asia Pasifik sebesar 27% dan global 26%.

Padahal, keberadaan CAIO terbukti meningkatkan return on investment (ROI) hingga 10% pada inisiatif AI, bahkan bisa mencapai 36% lebih tinggi jika menerapkan model operasi terpusat atau hub-and-spoke.

Juvanus Tjandra, Managing Partner IBM Consulting Indonesia, menekankan pentingnya peran CAIO dalam membantu perusahaan fokus pada pengembalian investasi teknologi AI.

“Dengan semakin banyak perusahaan Indonesia mempertimbangkan manfaat Kecerdasan Buatan, CAIO dapat membantu menggerakkan perusahaan menuju hasil yang terukur dan dapat diskalakan,” ujarnya.

Menurutnya, CAIO tidak hanya mendorong penghematan biaya, tetapi juga mengidentifikasi area peningkatan keterampilan karyawan untuk pertumbuhan lebih lanjut.

Meski tingkat adopsi CAIO di Indonesia masih rendah, dukungan dari jajaran eksekutif terbilang kuat.

Sebanyak 83% CAIO di Indonesia melaporkan mendapat dukungan memadai dari CEO, sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata global sebesar 80%.

Dukungan dari jajaran C-suite lainnya juga mencapai 83%, mengungguli angka global sebesar 79%. Hal ini menunjukkan komitmen kepemimpinan dalam mendorong transformasi AI, meski implementasinya masih banyak berada di tahap awal.

Paradoks Pengukuran: Maju Tanpa Data Sempurna

CAIO di Indonesia menunjukkan sikap pragmatis dalam menghadapi tantangan pengukuran dampak AI. Sebanyak 89% CAIO Indonesia mengakui bahwa organisasi mereka berisiko tertinggal tanpa pengukuran yang memadai, angka yang jauh lebih tinggi dibanding rata-rata global (72%) dan Asia Pasifik (74%).

Namun, 72% di antaranya tetap memulai proyek AI meski hasilnya belum dapat diukur sepenuhnya, menunjukkan keberanian mengambil langkah strategis di tengah ketidakpastian.

Pendekatan ini sejalan dengan tren global di mana perusahaan-perusahaan teknologi besar juga terus berinovasi menghadirkan fitur AI canggih, seperti yang dilakukan Honor dengan seri Magic8 yang dijadwalkan rilis akhir tahun ini. Honor Magic8 Series disebut-sebut akan menghadirkan fitur AI unggulan yang dapat mendefinisikan kembali pengalaman pengguna.

Mandat Luas dan Fokus Implementasi

CAIO di Indonesia mengambil tanggung jawab yang mencakup baik strategi maupun eksekusi. Sebanyak 54% menempatkan strategi AI organisasi sebagai prioritas utama, hampir sejajar dengan rata-rata global.

Namun, hanya 29% yang fokus pada pembuatan use case bisnis untuk AI, jauh di bawah angka global sebesar 45%. Sebaliknya, CAIO Indonesia lebih memprioritaskan pengarahan implementasi AI (50%) dan pengembangan strategi change management untuk adopsi AI (39%).

Latar Belakang Teknis yang Kuat

CAIO di Indonesia datang dengan keahlian teknis yang spesifik. Sebanyak 72% memiliki latar belakang di bidang data, sejalan dengan rata-rata global 73%. Namun, hanya 61% yang berfokus pada inovasi, lebih rendah dibanding angka global 73%.

Sebanyak 56% berasal dari peran teknologi, sementara secara global lebih banyak CAIO yang berasal dari latar belakang strategi bisnis (57%).

Komposisi latar belakang ini mencerminkan kebutuhan akan pemimpin yang memahami aspek teknis AI, sekaligus mampu mengarahkannya untuk mencapai tujuan bisnis.

Tren penunjukan eksekutif dengan latar belakang spesifik juga terlihat di perusahaan lain, seperti Citi yang menunjuk Sujanto Su sebagai Chief Financial Officer untuk Indonesia, menunjukkan pentingnya kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan transformasi digital.

Kesenjangan Adopsi: Masih di Tahap Pilot

Meski mendapat dukungan investasi dari eksekutif, organisasi di Indonesia masih berada di tahap awal penerapan AI. Sebanyak 67% organisasi di Indonesia masih berada pada tahap pilot dengan penerapan terbatas, lebih tinggi dibanding rata-rata global (60%) dan Asia Pasifik (64%).

Hanya 18% CAIO di Indonesia yang merasa implementasi AI sangat sulit, lebih rendah dibanding angka global (30%) dan Asia Pasifik (33%).

Tantangan implementasi AI ini tidak hanya dialami oleh perusahaan di Indonesia. Isu seputar AI dan dampaknya terhadap bisnis terus menjadi perbincangan, termasuk gugatan PMC terhadap Google mengenai fitur AI Overviews yang disebut menurunkan traffic media. Di sisi lain, perusahaan seperti Cloudera justru memperkuat jajaran kepemimpinannya dengan menunjuk Chief Product Officer baru untuk mengakselerasi inovasi produk.

Ke depan, adopsi AI di Indonesia diprediksi akan terus meningkat seiring dengan kesadaran akan manfaat strategisnya. Perusahaan yang berhasil menerapkan AI dengan baik tidak hanya akan meraih efisiensi operasional, tetapi juga membuka peluang pertumbuhan baru. Seperti yang ditunjukkan oleh inisiatif sustainability yang didukung teknologi, AI memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan positif di berbagai sektor.

Dengan dukungan kepemimpinan yang kuat dan pendekatan yang pragmatis, CAIO di Indonesia memiliki peluang untuk membawa transformasi digital yang lebih mendalam. Kunci keberhasilannya terletak pada kemampuan mengombinasikan keahlian teknis dengan pemahaman bisnis, serta keberanian mengambil langkah strategis meski di tengah ketidakpastian pengukuran.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU

Intel yang Terpaksa Terus Pangkas Biaya