Jumat, 19 Desember 2025
Selular.ID -

Registrasi SIM Card Biometrik 2026, Pakar Soroti Risiko dan Tantangan Sosial

BACA JUGA

Selular.id – Kebijakan registrasi kartu SIM dengan biometrik pengenalan wajah yang akan diterapkan penuh mulai 1 Juli 2026 mendapat sorotan tajam dari pakar.

Alamsyah Saragih, pakar keterbukaan informasi publik dan pelindungan data pribadi, mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi sejumlah hambatan dan risiko serius sebelum kebijakan ini dijalankan, terutama terkait kerentanan kelompok tertentu dan keamanan data biometrik yang bersifat permanen.

Dalam acara talkshow bertajuk “Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di Jakarta, Rabu (17/12/2025), Alamsyah menyampaikan bahwa biometrik memiliki risiko yang jauh lebih besar dibandingkan kata sandi biasa.

“Biometrik bukanlah kata sandi yang bisa diganti apabila terjadi kebocoran data. Jika data biometrik bocor, risikonya bersifat seumur hidup,” tegasnya.

Mantan Komisioner Ombudsman RI periode 2016–2021 itu menguraikan setidaknya ada tiga risiko utama yang harus diperhatikan, bukan hanya pelanggaran privasi, tetapi juga eksklusi sosial dan mission creep (pergeseran tujuan).

Kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, pekerja informal, serta masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil berpotensi besar mengalami kesulitan dalam mengakses sistem biometrik.

Keterbatasan infrastruktur dan literasi digital di sejumlah daerah juga menjadi tantangan tersendiri yang belum terjawab.

Alamsyah memberikan contoh potensi persoalan dalam kondisi darurat.

“Kalau ini tidak dimitigasi, ini akan jadi sumber keributan. Tidak kebayang misalnya ada bencana, handphone hilang, lalu orang harus pakai face recognition, tapi sistemnya belum jalan,” ujarnya.

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa kesiapan akses teknologi biometrik di Indonesia dinilai belum merata.

Mitigasi dan Jaminan Hukum yang Diperlukan

Untuk menghindari berbagai risiko tersebut, Alamsyah menyarankan pemerintah melakukan simulasi kebijakan dengan berbagai skenario kasus sebelum implementasi penuh dilakukan.

Simulasi ini dianggap penting untuk mengidentifikasi potensi masalah dan menyiapkan solusi yang adil bagi seluruh masyarakat.

Selain itu, ia menekankan pentingnya pembatasan tujuan penggunaan data biometrik secara tegas.

Menurutnya, tanpa pembatasan yang ketat, data biometrik yang awalnya digunakan untuk verifikasi kepemilikan SIM berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti perpajakan, intelijen, dan profiling.

“Kalau tidak ada pembatasan, niscaya bisa digunakan untuk yang lain. Mau tidak mau pemerintah harus membatasi dengan sangat ketat dan membangunnya bersama pihak-pihak lain,” ujarnya.

Poin ini menjadi krusial mengingat wacana registrasi SIM dengan otentikasi biometrik sebenarnya telah mengemuka sejak beberapa tahun lalu, namun aspek perlindungan data dan pembatasan penggunaannya masih perlu diperjelas.

Alamsyah juga menilai jaminan hukum atas opsi non-biometrik sangat penting.

Opsi ini diperlukan untuk memastikan keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu atau tidak memungkinkan menggunakan sistem biometrik, seperti lansia dan penyandang disabilitas.

Ia merinci beberapa langkah mitigasi yang perlu diprioritaskan sebelum kebijakan dijalankan, antara lain: dasar hukum khusus dan pembatasan tujuan penggunaan biometrik, pemisahan database biometrik dan data komunikasi, penerapan enkripsi serta prinsip irreversibility (tidak dapat dibalik), penguatan hak subjek data, penyediaan opsi non-biometrik dan kebijakan inklusif, pengawasan independen, sanksi tegas, audit berkala, serta larangan penggunaan biometrik untuk surveillance massal (pengawasan massal).

“Perilaku surveillance massal ini paling banyak dilakukan oleh aparat. Be careful kalau untuk tujuan itu. Kalau mau dilakukan, harus ada aturan yang jelas, sementara aturan untuk surveillance massal itu belum ada,” tegas Alamsyah.

Lubang Regulasi yang Masih Terbuka

Lebih lanjut, Alamsyah menguraikan sejumlah poin regulasi yang dinilai belum siap menyambut implementasi registrasi SIM card biometrik.

Pertama, belum adanya pasal eksplisit yang membatasi penggunaan biometrik SIM card hanya untuk registrasi SIM, sehingga membuka risiko function creep ke ranah lain.

Kedua, belum terdapat larangan tegas terkait integrasi database biometrik dengan data komunikasi.

Ketiga, opsi non-biometrik belum dijamin secara eksplisit dalam regulasi yang ada.

Keempat, meski hak warga sudah diatur dalam Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), mekanisme implementasinya dinilai masih lemah dan penegakannya belum teruji.

Terakhir, pengawasan independen masih menjadi persoalan. Otoritas pelindungan data pribadi saat ini masih berada di bawah eksekutif dan belum setara dengan Data Protection Authority (DPA) di Eropa yang bersifat independen.

Kebijakan registrasi wajib biometrik ini sendiri diambil pemerintah sebagai respons atas kondisi keamanan digital Indonesia yang dinilai memprihatinkan.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kerugian akibat kejahatan digital atau digital scam telah mencapai Rp8,7 triliun, dengan 399.780 konsumen tercatat melaporkan kasus penipuan digital.

Upaya pengetatan registrasi ini juga telah mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Dirjen Dukcapil Kemendagri yang menyatakan kesiapan mendukung integrasi data kependudukan.

Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, sebelumnya telah menegaskan bahwa sistem biometrik akan ditetapkan mulai 1 Juli 2026 dan wajib digunakan untuk seluruh pendaftaran kartu SIM baru.

Namun, jalan menuju implementasi yang mulus masih dipenuhi pekerjaan rumah yang tidak ringan.

Tantangan teknis, kesiapan infrastruktur di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), dan yang paling penting adalah membangun kerangka hukum serta pengawasan yang kuat untuk melindungi data biometrik warga, menjadi tugas berat yang harus diselesaikan dalam waktu kurang dari setahun.

Peringatan dari pakar seperti Alamsyah Saragih ini menjadi pengingat bahwa di balik tujuan mulia mengurangi kejahatan digital, pemerintah harus berjalan hati-hati.

Kebijakan yang inklusif, dilindungi oleh regulasi yang kuat, dan dikawal oleh lembaga pengawas yang independen, akan menentukan apakah registrasi SIM card biometrik nantinya menjadi solusi atau justru menimbulkan masalah sosial dan keamanan data baru bagi masyarakat Indonesia.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU