Rabu, 3 Desember 2025
Selular.ID -

Pengamat: Harga Terjangkau Kunci Gairahkan Industri di Lelang 2,6 GHz

BACA JUGA

[adrotate banner="10"]

Selular.id – Pengamat telekomunikasi menilai peluang lelang frekuensi 2,6 GHz untuk menghidupkan kembali industri telekomunikasi sangat bergantung pada harga yang ditetapkan pemerintah.

Mereka menekankan, penetapan biaya hak penggunaan (BHP) yang terjangkau akan menjadi kunci agar operator bersemangat mengikuti lelang dan mempercepat adopsi 5G di Indonesia.

Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, menyatakan bahwa beban biaya regulasi (regulatory cost) yang harus ditanggung operator saat ini sudah sangat tinggi, mencapai 12% dari pendapatan.

Kondisi ini membuat industri berharap harga lelang untuk spektrum 5G, termasuk di pita 2,6 GHz, bisa lebih terjangkau.

“Tapi memang ini juga harus jadi pertimbangan,” kata Heru, Selasa (2/12/2025).

[adrotate banner="10"]

Heru menjelaskan, lanskap bisnis telekomunikasi telah berubah drastis.

Industri tidak lagi seramai satu atau dua dekade lalu, dan nilai sebuah blok frekuensi pun jauh berbeda.

Perubahan ini mendorong sejumlah perusahaan melakukan merger dan konsolidasi untuk bertahan.

Tantangan lain datang dari mengalirnya porsi pendapatan yang signifikan ke penyedia layanan over-the-top (OTT), yang dianggap tidak membangun jaringan fisik namun menikmati hasilnya.

“Operator masih harus membangun jaringan, tetapi ‘kue’-nya diambil oleh OTT yang justru tidak membangun jaringan,” ujarnya.

Heru berharap pemerintah, termasuk Menteri Keuangan yang baru, dapat melihat ketimpangan ini dan berani bertindak, termasuk dengan mempertimbangkan skema pembayaran tambahan dari OTT.

Dia menegaskan, harga frekuensi yang masuk akal sangat penting agar industri bisa bergerak.

Dengan demikian, operator dapat fokus pada percepatan adopsi 5G dan peningkatan layanan kepada masyarakat.

“Kalau kita tetap konservatif misalnya menetapkan biaya frekuensi yang tinggi tentu dampak bagi operatornya juga sangat berat, mungkin mereka tidak akan mengambil frekuensi yang ditawarkan oleh pemerintah,” tegas Heru.

Jika operator tidak ikut lelang, pemerintah justru kehilangan potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang besar.

Pandangan senada disampaikan pengamat telekomunikasi Kamilov Sagala.

Dia menilai lelang frekuensi 2,6 GHz bisa menjadi momentum penting dan seperti “darah baru” bagi industri, khususnya bagi anggota Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Kapasitas baru dari frekuensi ini diharapkan dapat kembali meningkatkan semangat operator, terlebih di tengah adopsi 5G yang masih terbatas.

Kamilov menekankan, beban BHP frekuensi selama ini cukup tinggi sehingga kompetisi menjadi berat, apalagi operator harus membangun ekosistem 5G dari awal.

Karena itu, dia meminta pemerintah menghitung ulang harga lelang agar sesuai dengan kemampuan industri.

“Pas di sini artinya para pelaku industri itu tidak bisa atau tidak berat lah menjalankan usaha bisnisnya untuk bisa frekuensi di 2,6 ini jadi optimal,” katanya.

Dia mengingatkan bahwa kebijakan lelang seharusnya tidak semata-mata bertujuan menambah PNBP.

“Saya pikir harusnya pemerintah memberikan ruang bagi industri agar mereka darahnya hidup lagi, darahnya mengalir lagi,” ujar Kamilov.

Menurutnya, keberlanjutan industri pada akhirnya akan berkontribusi pada pendapatan negara di masa depan.

Risiko turunnya minat peserta lelang sangat mungkin terjadi jika harga tidak tepat, yang berujung pada implementasi yang berat meski ada yang terpaksa ikut.

Dari sisi akademisi, Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Joseph Matheus Edward, menilai harga lelang perlu dirancang dengan skema yang mendorong percepatan pembangunan jaringan 5G.

“Untuk harga lelang, untuk percepatan 5G. Diberi insentif diawal pembangunan dan meningkat setelah penyebaran banyak. Yang hasilnya PNBP sama,” sarannya.

Skema semacam ini dianggap dapat meringankan beban operator di fase investasi awal.

Desakan untuk harga lelang yang terjangkau juga secara resmi disampaikan oleh Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Asosiasi yang mewakili para operator seluler ini mendukung pembukaan lelang pita 2,6 GHz, tetapi berharap harga tidak terlalu tinggi.

Seperti dilaporkan sebelumnya, Direktur Eksekutif ATSI Marwan O. Baasir menekankan bahwa harga yang affordable akan mempercepat implementasi 5G dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat berupa kecepatan internet yang lebih baik.

Marwan juga mengonfirmasi tingginya beban regulatory cost yang berkisar 12,4% hingga hampir 13% dari pendapatan kotor operator.

“Nah kalau itu diberi insentif, harga rata-rata di lelang yang sekarang bisa turun,” ujarnya.

Pernyataan ATSI ini sejalan dengan respons salah satu operator besar, Telkomsel, yang menyambut rencana lelang dengan harapan dapat mendorong ekosistem digital.

Lelang frekuensi 2,6 GHz sendiri telah lama dinantikan sebagai langkah penting untuk mendorong kecepatan 5G di Indonesia.

Pita frekuensi ini termasuk dalam kategori “pita tengah” yang menawarkan keseimbangan antara cakupan dan kapasitas, sehingga ideal untuk penggelaran 5G secara masif.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah memastikan lelang akan dibuka tahun ini, setelah merampungkan lelang frekuensi 1,4 GHz.

Proses uji publik untuk pita 2,6 GHz telah dilakukan sejak Mei 2025, sementara penyusunan perangkat regulasinya masih berlangsung.

Dorongan untuk segera melelang spektrum ini juga datang dari pelaku industri perangkat.

Bos Ericsson untuk Indonesia sebelumnya telah mendesak percepatan lelang untuk memacu perkembangan 5G.

Pentingnya ketersediaan spektrum, baik di pita 2,6 GHz maupun 700 MHz, bagi masa depan jaringan telekomunikasi nasional juga telah pernah diulas secara mendalam.

Di balik harapan tersebut, tantangan nyata menghadang. Kamilov Sagala mengingatkan bahwa tantangan industri telekomunikasi saat ini bukan hanya bersaing antar sesama operator, tetapi juga memastikan pembangunan ekosistem 5G yang berkelanjutan.

Mulai dari ketersediaan perangkat yang terjangkau, aplikasi yang memanfaatkan jaringan generasi kelima, hingga model bisnis yang viable.

Dalam konteks ini, peran regulator untuk menciptakan iklim yang sehat dan memberi ruang bagi operator untuk kembali bersemangat dinilai krusial.

Heru Sutadi menambahkan, adopsi 5G yang cepat tidak hanya bermanfaat bagi operator dan konsumen, tetapi juga akan merangsang kreativitas masyarakat dalam memanfaatkan layanan digital dan menggerakkan industri perangkat yang berkewajiban memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“Kalau tidak ya kita akan tertinggal kalau misalnya 5G tidak kemudian diadopsi secara cepat di Indonesia,” pungkasnya.

Dengan proses lelang yang dipastikan berjalan tahun ini, mata industri telekomunikasi tertuju pada keputusan pemerintah mengenai struktur harga.

Hasilnya akan menentukan apakah frekuensi 2,6 GHz benar-benar menjadi suntikan darah baru yang dinanti, atau justru menjadi beban tambahan di tengah lanskap bisnis yang telah berubah.

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU