Selular.id – Perusahaan yang siap memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) menunjukkan keunggulan kompetitif signifikan dalam lanskap bisnis modern. Berdasarkan Cisco AI Readiness Index 2025, perusahaan “Pacesetters” tercatat tiga kali lebih mungkin mengubah proyek percontohan AI menjadi implementasi produksi nyata dan 20% lebih mungkin melaporkan nilai terukur dari penerapan AI.
Laporan tahunan ketiga dari Cisco ini mengidentifikasi kelompok kecil namun konsisten yang disebut Pacesetters, mencakup sekitar 23% perusahaan yang disurvei di Indonesia dan 13% di tingkat global selama tiga tahun terakhir. Studi global ini melibatkan lebih dari 8.000 pemimpin AI dari 30 negara dan 26 industri, menandai pertama kalinya kelompok ini diidentifikasi secara sistematis.
“Cisco AI Readiness Index tahun ini menjelaskan satu hal: kesiapan membawa ke pencapaian nilai,” kata Sheldon Chen, Country Leader Interim Cisco Indonesia. “Secara menyeluruh, kami melihat bahwa perusahaan-perusahaan yang siap memanfaatkan AI, yaitu para Pacesetters di dalam riset kami, telah membuktikan hal ini. Mereka tiga kali lebih mungkin untuk membawa uji coba AI ke tahap produksi/implementasi penuh, dan 20% lebih mungkin untuk mendapatkan nilai yang terukur.”
Profil Pacesetter: Kesiapan sebagai Keunggulan Kompetitif
Riset Cisco memaparkan pola konsisten di antara para pemimpin yang mencapai hasil nyata dari implementasi AI. Perusahaan dalam kategori Pacesetters menjadikan AI sebagai bagian integral dari bisnis, bukan sekadar proyek sampingan. Hampir semua Pacesetters global (99%) sudah memiliki peta jalan AI yang jelas, dibandingkan dengan 78% di Indonesia secara keseluruhan.
Anggaran menjadi penentu utama kesuksesan, dengan 79% Pacesetters global menjadikan AI sebagai prioritas investasi teratas, sementara di Indonesia hanya 37% perusahaan yang melakukan hal sama. Perbedaan ini mencerminkan kesenjangan kesiapan yang perlu segera diatasi oleh pelaku bisnis di tanah air, terutama mengingat prediksi sebelumnya dari Alibaba tentang adopsi teknologi AI di Indonesia.
Infrastruktur menjadi pilar penting lainnya. Para Pacesetters membangun sistem yang siap untuk berkembang di era AI yang terus-menerus aktif. Sebanyak 71% Pacesetters global menyatakan jaringan mereka sepenuhnya fleksibel dan bisa segera ditingkatkan untuk proyek AI apa pun, sementara di Indonesia hanya 27% yang memiliki kemampuan serupa.
Baca Juga:
Dari Uji Coba ke Produksi: Transformasi Nyata
Kemampuan membawa uji coba AI ke tahap produksi menjadi pembeda utama Pacesetters. Di tingkat global, 62% memiliki proses inovasi yang matang dan bisa diulangi untuk menghasilkan dan meningkatkan kasus penggunaan AI, sementara di Indonesia hanya 19% yang mencapai tingkat kematangan ini. Tiga perempat Pacesetters global (77%) sudah merampungkan kasus penggunaan AI mereka, dibandingkan dengan 26% di Indonesia.
Pengukuran hasil menjadi kunci kesuksesan. Sebanyak 95% Pacesetters global melacak dampak dari investasi AI mereka, dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Keyakinan terhadap manfaat AI juga lebih tinggi, dengan 71% yakin jenis penggunaan AI mereka akan menghasilkan aliran pendapatan baru, dibandingkan dengan rata-rata 57% di Indonesia.
Aspek keamanan menjadi pertimbangan strategis bagi Pacesetters. Sebanyak 87% sangat menyadari adanya ancaman spesifik AI, dan 62% sudah mengintegrasikan AI ke dalam sistem keamanan dan identitas mereka. Pendekatan proaktif terhadap keamanan ini sejalan dengan tren global yang mendorong investasi besar dalam perlindungan sistem, seperti yang terlihat dari kebijakan bug bounty Apple yang mencapai Rp33 miliar.

AI Agentic: Ambisi Mendahului Kesiapan
Laporan Cisco mengungkap ambisi besar perusahaan Indonesia dalam mengadopsi agen AI. Sebanyak 97% organisasi di Indonesia berencana menerapkan agen AI, dan hampir 45% mengharapkan agen tersebut akan bekerja berdampingan dengan karyawan dalam tahun depan. Namun, ambisi ini belum diimbangi dengan kesiapan infrastruktur yang memadai.
Mayoritas perusahaan Indonesia masih memiliki fondasi yang lemah, dengan sistem yang nyaris tidak mampu menangani AI reaktif berbasis tugas, apalagi sistem AI yang berpikir, bertindak secara otonom, dan belajar terus-menerus. Sebanyak 29% responden mengakui jaringan mereka tidak bisa ditingkatkan untuk mengatasi kompleksitas atau volume data, dan hanya 27% yang menyebutkan jaringan mereka fleksibel atau bisa beradaptasi.
Kondisi ini mengingatkan pada tantangan yang dihadapi berbagai sektor di Indonesia, termasuk perusahaan kurir yang tertinggal dalam adopsi AI. Namun, berbeda dengan perusahaan game besar seperti Bandai Namco yang cepat mengadopsi teknologi baru, adopsi AI di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala infrastruktural.
AI Infrastructure Debt: Hambatan Tersembunyi
Laporan Cisco memperkenalkan konsep baru bernama AI Infrastructure Debt, yang menggambarkan akumulasi tersembunyi berupa kompromi, penundaan upgrade, dan arsitektur yang tidak didanai cukup, yang mengikis nilai AI seiring waktu. Beberapa tanda peringatan dini sudah terlihat di Indonesia.
Sebanyak 49% perusahaan memperkirakan beban kerja akan meningkat lebih dari 30% dalam tiga tahun kedepan, 70% mengalami kesulitan memusatkan data, hanya 47% yang memiliki kapasitas GPU memadai, dan hanya 37% dapat mendeteksi atau mencegah ancaman spesifik AI. Kondisi ini mencerminkan kesenjangan antara ambisi penerapan AI dan tingkat kesiapan operasional perusahaan.
Meskipun para Pacesetters tidak sepenuhnya kebal terhadap tantangan AI Infrastructure Debt, visi jangka panjang, tata kelola yang kuat, serta disiplin dalam berinvestasi menempatkan mereka pada posisi lebih baik untuk mencegah masalah kecil berkembang menjadi risiko yang lebih besar dan mahal. Pendekatan ini mirip dengan yang diterapkan Telkom dalam sistem TELIS 2.0 untuk tata kelola legal yang mengintegrasikan AI secara strategis.
Ketika sistem agentik dan AI otonom mendorong berbagai organisasi menuju era permintaan komputasi yang konstan, laporan Cisco membuktikan bahwa nilai mengikuti kesiapan. Organisasi yang paling siap memanfaatkan AI tidak hanya menikmati keunggulan kompetitif saat ini, tetapi juga menetapkan standar untuk diikuti oleh organisasi lain dalam lanskap digital yang terus berevolusi.