Selular.id – Sebanyak 84% organisasi di kawasan Asia Pasifik kini telah mengadopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam strategi keamanan siber mereka.
Lonjakan adopsi ini mengubah lanskap pertahanan digital dari model reaktif menjadi prediktif, memperkuat kemampuan deteksi, respons, hingga rekrutmen tenaga ahli.
Temuan ini terungkap dalam survei IDC 2025 yang ditugaskan oleh Fortinet, melibatkan 550 pemimpin TI dan keamanan dari 11 negara termasuk Indonesia.
Simon Piff, Research Vice-President IDC Asia-Pacific, menyatakan bahwa temuan ini mencerminkan peningkatan kematangan keamanan siber di kawasan.
“Organisasi tidak lagi bereksperimen dengan AI, melainkan menanamkannya ke dalam deteksi ancaman, respons insiden, dan desain tim. Ini menandai era baru operasi keamanan yang lebih cerdas, cepat, dan adaptif,” ujarnya.
Perubahan fundamental ini menuntut paralel dalam strategi dan keahlian keamanan siber. AI kini berperan ganda dalam ekosistem keamanan siber.
Di satu sisi, teknologi ini memberdayakan tim defensif dengan otomatisasi deteksi, percepatan respons, dan peningkatan skala intelijen ancaman.
Di sisi lain, penyerang juga memanfaatkan kemampuan serupa untuk meluncurkan serangan yang lebih senyap, cepat, dan adaptif.
Survei mengungkap hampir dua pertiga (61%) organisasi di Asia Pasifik mengalami serangan siber berbasis AI dalam setahun terakhir, dengan 64% melaporkan volume ancaman meningkat dua kali lipat.
Transformasi dari Deteksi ke Respons Cerdas
Adopsi AI telah bergerak dari fase pilot menuju implementasi produksi yang lebih matang. Lima kasus penggunaan utama yang kini mendominasi meliputi respons otomatis, pemodelan ancaman prediktif, respons insiden berbasis AI, intelijen ancaman, dan analitik perilaku.
Pergeseran ini menunjukkan bahwa deteksi ancaman telah menjadi standar, sementara kemampuan prediksi dan orkestrasi menjadi target berikutnya.
Generative AI (GenAI) mulai diadopsi untuk tugas-tugas ringan seperti menjalankan playbook, memperbarui aturan dan kebijakan, mendeteksi social engineering, menulis aturan deteksi, dan menjalankan investigasi terbimbing.
Namun, kepercayaan terhadap tindakan otonom masih terbatas. Penggunaan seperti auto-remediation dan guided remediation belum banyak diterapkan, menandakan adopsi masih dalam fase “co-pilot” dimana manusia tetap memegang kendali utama.
Baca Juga:
Evolusi Struktur Tim Keamanan Siber
Pergeseran menuju keamanan siber berbasis AI mengubah cara organisasi membentuk tim mereka. Lima peran keamanan siber yang paling banyak dicari di Asia Pasifik kini meliputi security data scientist, analis intelijen ancaman, insinyur keamanan AI, peneliti keamanan AI, dan ahli respons insiden khusus AI.
Perubahan ini mencerminkan tren yang lebih luas dimana tenaga kerja berkembang pesat untuk mengimbangi laju adopsi teknologi.
Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia, menekankan bahwa CISO di Asia Pasifik kini memasuki fase perencanaan keamanan siber yang lebih maju.
“AI tidak hanya memperkuat pertahanan, tetapi juga memengaruhi cara organisasi membentuk tim, mengalokasikan anggaran, dan memprioritaskan ancaman,” jelasnya.
Fortinet membantu pelanggan menghadapi perubahan ini dengan menanamkan AI di seluruh platform, memungkinkan deteksi lebih cepat dan respons lebih cerdas.
Meski demikian, tantangan sumber daya manusia masih menghantui. Rata-rata hanya 6% dari total tenaga kerja perusahaan yang dialokasikan untuk TI internal, dan hanya 13% di antaranya khusus menangani keamanan siber.
Kurang dari satu dari enam organisasi memiliki CISO khusus, dan hanya 6% memiliki tim khusus operasi keamanan dan threat hunting. Kondisi ini memperparah tekanan yang dihadapi tim keamanan yang sudah kewalahan dengan melonjaknya ancaman dan kompleksitas alat.
Seperti yang diungkapkan dalam analisis keamanan perangkat mobile, evolusi ancaman siber terus menuntut pendekatan yang lebih proaktif. Teknologi seperti fitur blokir DM otomatis di Instagram menunjukkan bagaimana platform digital mulai mengintegrasikan AI untuk perlindungan pengguna.
Strategi Investasi dan Konsolidasi
Anggaran keamanan siber terus meningkat, dengan hampir 80% organisasi melaporkan kenaikan, meski umumnya kurang dari 5%. Kenaikan terbatas ini menunjukkan bahwa organisasi berhati-hati dalam memprioritaskan pengeluaran di tengah biaya operasional dan keahlian yang terus membesar.
Lima bidang investasi teratas untuk 12-18 bulan ke depan meliputi keamanan identitas, keamanan jaringan, SASE/Zero Trust, ketahanan siber, serta perlindungan aplikasi cloud-native.
Perubahan strategi investasi ini menandai pergeseran dari pengeluaran berfokus infrastruktur ke prioritas yang lebih terarah dan berpusat pada risiko. Tren serupa terlihat dalam kolaborasi AirNav Indonesia dengan Alibaba Cloud yang mengadopsi teknologi cloud untuk transformasi navigasi penerbangan.
Konsolidasi vendor menjadi strategi inti bagi banyak organisasi. Sebanyak 97% responden sudah menggabungkan keamanan dan jaringan atau sedang mengevaluasi cara melakukannya.
Konsolidasi kini tidak lagi dipandang sebagai sekadar efisiensi biaya, melainkan kebutuhan strategis. Sebanyak 79% responden aktif mempertimbangkan konsolidasi vendor dengan alasan percepatan dukungan, penghematan biaya, integrasi yang lebih baik, dan perbaikan postur keamanan.
Survei IDC ini dilakukan antara Februari hingga April 2025 di 11 pasar Asia Pasifik termasuk Australia, India, Indonesia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Vietnam, Hong Kong, dan Selandia Baru.
Sebanyak 88% responden berasal dari organisasi dengan lebih dari 250 karyawan dan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan keamanan siber.
Temuan ini memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana kawasan Asia Pasifik bersiap menghadapi era baru keamanan siber yang didorong oleh kecerdasan buatan.



