Selular.id – Pengisian cepat (fast charging) pada perangkat Android saat ini masih belum memiliki definisi yang seragam.
Akibatnya, pengguna seringkali bingung apakah ponsel mereka benar-benar terisi dengan optimal atau tidak.
Berbagai merek menggunakan istilah berbeda untuk menggambarkan kecepatan pengisian, mulai dari “Fast Charging” hingga “Super Fast Charging 2.0,” tanpa standar yang jelas.
Robert Triggs dari Android Authority mengungkapkan bahwa masalah ini muncul karena variasi protokol pengisian cepat yang digunakan oleh produsen ponsel.
Ada USB Power Delivery (PD), USB PD PPS, serta teknologi proprietary seperti SuperVOOC dari OnePlus dan HyperCharge dari Xiaomi.
Belum lagi perbedaan kabel USB-C yang mendukung arus 3A, 5A, atau 6A, yang semakin mempersulit pengguna untuk memahami apakah mereka mendapatkan kecepatan pengisian maksimal.
Android sendiri mencoba memberikan informasi melalui notifikasi di layar kunci, seperti “Charging rapidly” atau perkiraan waktu pengisian penuh.
Namun, istilah ini tidak konsisten antar-merek. Misalnya, Xiaomi 15 Ultra menyebut pengisian 18W sebagai “Quick Charge,” sementara OnePlus 13 menganggap 9,7W masih dalam kategori “Charging” biasa.
Padahal, perbedaan kecepatan ini bisa memengaruhi waktu pengisian hingga lebih dari satu jam.
Ketidakjelasan Label Pengisian Cepat
Dalam pengujian yang dilakukan Triggs, ditemukan bahwa Samsung Galaxy S25 Ultra memberikan indikasi paling jelas dengan membagi kategori pengisian menjadi “Fast Charging,” “Super Fast Charging,” dan “Super Fast Charging 2.0.”
Namun, bagi pengguna awam, perbedaan antara versi 1.0 dan 2.0 mungkin masih membingungkan.
Di sisi lain, Google Pixel 9 Pro XL hanya menampilkan “Fast Charging” meski daya yang masuk bisa bervariasi antara 25W hingga 37W.
Sementara itu, Xiaomi 15 Ultra bahkan menyamaratakan pengisian 25W dan 95W dengan label yang sama, meskipun perbedaan kecepatannya sangat signifikan.
Baca Juga:
Solusi yang Bisa Diterapkan
Triggs menyarankan agar Android menggunakan pendekatan berbasis waktu, bukan sekadar label daya.
Misalnya, pengisian yang membutuhkan waktu kurang dari 45 menit dari kosong bisa disebut “ultra-cepat,” sementara yang lebih dari 1,5 jam termasuk kategori lambat.
Dengan demikian, pengguna bisa lebih mudah memahami performa pengisian tanpa harus paham soal watt atau ampere.
Selain itu, Android juga bisa menambahkan informasi tambahan seperti suhu baterai, protokol yang digunakan, dan rekomendasi pengisian untuk menjaga kesehatan baterai jangka panjang.
Fitur seperti ini sudah mulai diadopsi oleh beberapa merek, tetapi belum menjadi standar industri.
Untuk saat ini, pengguna disarankan menggunakan charger asli atau yang kompatibel dengan protokol pengisian cepat ponsel mereka.
Seperti yang dijelaskan dalam artikel rekomendasi nano charger 45W, pemilihan charger yang tepat sangat memengaruhi kecepatan pengisian.
Dengan semakin banyaknya ponsel Android yang mendukung pengisian cepat di atas 100W, seperti beberapa model flagship, standarisasi istilah dan notifikasi pengisian menjadi semakin penting.
Jika Google bisa memimpin inisiatif ini, pengguna akan lebih mudah memahami performa pengisian perangkat mereka tanpa kebingungan.