Selular.ID – Kementerian Sains dan Teknologi (MST) Vietnam mengumumkan keputusannya untuk kembali menggelar lelang dua blok spektrum utama di pita 700MHz yang dialokasikan untuk komunikasi selular, 4G dan 5G.
MST merilis rencana lelang baru untuk pita frekuensi di rentang: 703-713MHz dan 758-768MHz (blok B1-B1′), serta 723-733MHz dan 778-788MHz (blok B3-B3′).
Rencana lelang ini merupakan upaya kedua untuk menjual kedua blok spektrum “pita berlian” ini, setelah lelang sebelumnya gagal karena kurangnya peserta.
Tawaran awal ditetapkan sebesar 1,955 triliun dong Vietnam (US$76,8 juta). Lelang akan dilaksanakan melalui pemungutan suara langsung, dengan kenaikan tawaran minimum sebesar VND20 miliar ($764.838).
Penawar yang berminat harus menyerahkan dokumen kelayakan mereka dalam waktu 30 hari dan menyetor uang muka sebesar VND100 miliar ($3,93 juta).
Viettel, operator telekomunikasi terbesar di Vietnam yang memenangkan blok B2-B2′ (713-723MHz dan 768-778MHz) dalam lelang spektrum pada Mei lalu, dilarang berpartisipasi dalam putaran kedua lelang.
MST menyebutkan bahwa lisensi spektrum bagi operator pemenang, akan berlaku selama 15 tahun ke depan.
Kementerian itu juga menambahkan kewajiban bagi pemenang lelang dua pita berlian itu. Terutama terkait pembangunan jaringan.
Salah satunya, keharusan bagi operator meluncurkan layanan selular menggunakan blok B1-B1′ dan B3-B3′ dalam waktu satu tahun setelah menerima lisensi.
Mereka yang berhasil membeli spektrum ini juga diharapkan mengoperasikan 30% dari stasiun pangkalan tersebut dalam waktu 12 bulan setelah menerima lisensi.
Kemudian, pada tahun kedua pasca komersialisasi, operator harus membangun setidaknya 2.000 BTS baru.
Lebih lanjut, operator harus memastikan setidaknya 650 stasiun pangkalan melayani wilayah maritim dan kepulauan Vietnam. Cakupan penuh semua jalan raya nasional yang dibangun sebelum 2030 juga diwajibkan.
Untuk diketahui, pita 700MHz sebelumnya dialokasikan untuk siaran televisi analog. Namun melalui program ASO (Analog Switch Off), pita tersebut dialihkan untuk mendukung komunikasi selular 4G dan 5G karena memberikan cakupan yang lebih unggul dibandingkan pita frekuensi yang lebih tinggi.
Salah satunya, blok B1-B1′ dan B3-B3′ menawarkan radius cakupan yang 1,8 kali lebih besar daripada pita 1800MHz. Hal ini memungkinkan operator untuk mengurangi biaya infrastruktur dan meningkatkan kinerja jaringan.
Baca Juga:Alasan Menkomdigi Dahulukan Lelang Spektrum 2,6 dan 3,5 GHz
Tiga Kali Ganti Menteri Lelang 700 Mhz Masih Sebatas Wacana
Gerak cepat otoritas Vietnam untuk melelang pita frekwensi 700 Mhz yang merupakan spektrum emas – karena ekosistemnya yang terbilang sudah matang untuk layanan 5G – terbilang kontras dengan Indonesia.
Hingga tiga kali ganti menteri, dari Johnny G. Plate, Budi Arie, hingga Meutya Hafid, rencana Kementerian Digital dan Informasi (Kemenkomdigi) melelang spektrum 700 Mhz untuk mendorong penetrasi 5G, hingga kini masih sebatas “Omon-Omon”.
Padahal, sejak tuntasnya program ASO sekitar dua tahun lalu di Indonesia, bersama dengan spektrum 26 Ghz, pemerintah telah berkomitmen untuk segera melelang frekwensi 700 Mhz.
Sayangnya, hingga kini frekwensi 700 Mhz yang sudah menganggur sejak Oktober 2023, tidak kunjung dilelang oleh negara.
Alih-alih melelang frekwensi tersebut, Komdigi malah berencana melelang terlebih dahulu pita 1,4 Ghz. Melalui spektrum tersebut, Komdigi akan mengalokasikannya untuk keperluan Broadband Wireless Access (BWA).
Komdigi beralasan, keputusan untuk melelang spektrum pita frekuensi 1,4 GHz lebih dahulu dibandingkan pita frekuensi lainnya, termasuk 700 Mhz, karena dinilai berguna untuk mempercepat penyediaan internet murah.
Namun dengan tidak adanya tambahan spektrum baru, layanan 5G yang sudah diperkenalkan di Indonesia sejak Mei 2021 terasa kurang gaungnya.
Selain mahalnya investasi dan ekosistem yang belum terbentuk, keterbatasan frekwensi juga menjadi akar masalah mengapa 5G di Indonesia terkesan jalan di tempat.
Saat ini untuk mengoperasikan layanan 5G, ketiga operator menggunakan spektrum eksisting, yaitu pada pita 1.800 MHz, 2.100M Hz, dan 2.300 MHz.
Ironisnya, meski mendorong operator terus memperluas cakupan 5G demi mendorong kecepatan internet dan mendukung digitalisasi ke seluruh pelosok wilayah Indonesia, namun hingga saat ini pemerintah malah belum merilis satu pun frekwensi yang dikhususkan untuk layanan 5G.
Dampak dari keterbatasan frekwensi membuat jumlah BTS 5G yang dibangun operator selular terbilang minim. Tengok saja langkah Indosat yang terlihat ogah-ogahan membangun jaringan 5G. Tercermin yang hanya memiliki 107 BTS 5G pada kuartal pertama 2025.
XL Axiata (kini menjadi XL Smart), meski menyandang status sebagai operator 5G, hingga kini malah tidak pernah mempublikasikan berapa jumlah BTS 5G yang dimililikinya.
Pencapaian lebih baik dicatat oleh Telkomsel. Hingga Juli 2025, operator selular terbesar di Indonesia itu telah mengoperasikan sekitar 2.800 BTS 5G.
Dengan jumlah BTS sebanyak itu, Telkomsel mengklaim telah menjaring 17 juta pelanggan 5G.
Direktur Network Telkomsel, Indra Mardiatna, menyebutkan bahwa jumlah pelanggan sebanyak itu menunjukkan adopsi teknologi generasi kelima meningkat pesat seiring dengan perluasan cakupan dan kesadaran konsumen.
“Awal tahun lalu masih sekitar 10 jutaan. Sekarang sudah 17 juta. Pelanggan makin pintar, kalau beli ponsel baru ya pasti langsung cari yang sudah 5G,” kata Indra dalam sesi tanya jawab peluncuran Hyper 5G Telkomsel di Bandung, Senin (21/7/2025).
Dengan animo yang cukup baik, meski harus mengelola jaringan secara efisien karena belum adanya tambahan spektrum, Telkomsel menargetkan jumlah BTS 5G tumbuh hampir dua kali lipat menjadi 5.000 BTS.
Coverage atau cakupan layanan 5G Telkomsel juga terus menyambung dari bandara hingga kota-kota satelit di Jabodetabek, termasuk Bandung.
Baca Juga: Indonesia Siap untuk Peningkatan Pesat 5G dengan Merilis Spektrum
Pertumbuhan Jaringan 5G di Vietnam
Ketersediaan spektrum untuk mendorong penetrasi 5G merupakan keharusan agar teknologi tersebut dapat berdampak nyata.
Sesuai kajian GSMA, setiap operator membutuhkan setidaknya 100 MHz spektrum, terutama pada pita tengah yang berdekatan.
Dengan spektrum yang memadai, kecepatan yang dihasilkan dapat maksimal, mencapai 10 Gbps (gigabit per detik). Ini berarti 5G bisa 10 kali lebih cepat dibandingkan 4G, atau bahkan hingga 100 kali lebih cepat dalam beberapa kasus.
Itu sebabnya sejak awal, Vietnam telah merilis spektrum 2.600 Mhz untuk menggelar 5G, demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi digital.
Untuk diketahui, jaringan 5G resmi diluncurkan di negara itu pada Oktober 2023, hanya enam bulan setelah Viettel menerima lisensi frekuensi 2.600 MHz. Jaringan 5G ini diterapkan pada arsitektur non-standalone (NSA) dan standalone (SA).
Saat peluncurannya, jaringan 5G Viettel memiliki lebih dari 6.500 stasiun transmisi, yang mencakup 100% ibu kota dari 63 provinsi dan kota, serta kawasan industri, kawasan wisata, pelabuhan laut, bandara, rumah sakit, dan universitas.
Pasca Viettel, Kementerian Sains dan Teknologi (MST) Vietnam juga memberikan lisensi yang sama kepada dua operator lainnya, yaitu VNPT, dan MobiFone.
Hingga awal Juli 2025, menurut laporan terbaru dari Otoritas Pengelolaan Frekuensi Radio, lembaga di bawah MST, ketiga operator telah membangun sekitar 11.000 stasiun pangkalan di seluruh negeri.
Kantor Berita Vietnam (VNA) yang didukung pemerintah mengutip laporan tersebut, menyatakan bahwa stasiun pangkalan 5G kini menjangkau sekitar 26% populasi, setara dengan sekitar 7,7% dari stasiun 4G yang ada.
Menurut VNA, ketiga operator telekomunikasi tersebut telah meningkatkan upaya mereka untuk membangun infrastruktur dan mendapatkan lebih banyak pelanggan. Mereka juga berupaya untuk menawarkan layanan 5G dalam skala besar di seluruh negeri.
VNA melaporkan bahwa Viettel, kini memiliki enam juta pelanggan 5G dan telah menetapkan target untuk meningkatkan jumlah ini menjadi 10 juta pada akhir tahun ini.
Sebagai operator 5G pertama di Vietnam, Viettel berencana membangun 20.000 BTS 5G tahun ini. Langkah itu diharapkan dapat meningkatkan kecepatan transmisi data saat ini lebih dari 2,5 kali lipat.
Lebih lanjut, Viettel saat ini sedang mengembangkan ekosistem aplikasi berbasis 5G yang lebih luas, terutama di segmen bisnis-ke-bisnis (B2B).
Saingannya, VNPT, saat ini memiliki lebih dari tiga juta pelanggan 5G aktif melalui anak perusahaan layanan selulernya, VinaPhone.
Operator ini telah bermitra dengan beberapa perusahaan internasional, termasuk Nokia, Ericsson, dan M1, untuk mengeksplorasi peluang baru dalam transmisi data, platform AI, API jaringan, dan integrasi layanan vertikal.
Tak ingin kalah dengan Viettel dan VinaPhone, MobiFone dilaporkan telah mendapatkan lebih dari 2,5 juta pengguna aktif dan berencana menambah 10.000 stasiun pangkalan lagi.
Agar bisa bersaing, Mobifone memfokuskan ekspansi 5G di kota-kota besar dan pusat-pusat provinsi dan bertujuan untuk menyediakan cakupan 5G di seluruh negeri.
Baca Juga: Komdigi Janji Lelang Tiga Spektrum Frekuensi Tahun Ini