Kamis, 31 Juli 2025
Selular.ID -

Beda Nasib Pat Gelsinger dan Jensen Huang

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Selular.ID – Hari-hari belakangan ini terbilang tidak menyenangkan bagi CEO Intel Pat Gelsinger. Bagaimana tidak, perusahaan yang dipimpinnya kini tengah mengalami masa-masa sulit.

Berdasarkan laporan hasil keuangan untuk Q2-2024, raksasa chip yang berbasis di Santa Clara, California itu, harus menelan pil pahit.

Perusahaan teknologi yang didirikan pada 18 Juli 1968 itu, menelan kerugian yang tidak sedikit, mencapai $1,6 miliar.

Sepanjang Q2-2024, pendapatan Intel secara umum stagnan dari tahun ke tahun di angka $12,8 miliar. Rugi bersih yang diderita sebesar $1,6 miliar terasa ironis, karena dibandingkan dengan period yang sama tahun lalu, Intel masih mengantongi laba sebesar $1,5 miliar.

Persaingan dengan raksasa teknologi lainnya, seperti Nvidia dan AMD, membuat Intel seperti “pemain sore”, terutama di bisnis chips untuk kecerdasan buatan (AI) yang kini tengah happening.

Lihat Juga:

Demi mengembalikan kinerja perusahaan, Pat Gelsinger berencana melakukan pemangkasan biaya besar-besaran yang melibatkan pengurangan belanja operasional dan modal.

Ia juga bermaksud untuk menangguhkan dividen kepada para pemegang saham mulai Q4-2024.

Gelsinger mengatakan tujuan dari kebijakan drastis itu, adalah untuk “meningkatkan profitabilitas dan efisiensi modal lebih dari $10 miliar pada 2025”.

Membahas “pengurangan yang berarti dalam pengeluaran dan jumlah karyawan kami”, ia menjelaskan bahwa pemangkasan 15.000 tenaga kerja diharapkan akan selesai pada akhir 2025.

“Kami tidak melakukan ini dengan mudah, dan kami telah mempertimbangkan dengan saksama dampaknya terhadap keluarga Intel. Ini adalah keputusan yang sulit tetapi perlu,” pungkasnya.

Intel memperkirakan jumlah staf yang lebih rendah dan langkah-langkah lain akan mengurangi biaya operasional menjadi $20 miliar untuk 2024, dengan perkiraan akan turun menjadi $17,5 miliar pada 2025 dan berkurang lagi pada 2026.

Angka baru untuk 2025, imbuh Gelsinger, akan mencapai lebih dari 20% di bawah perkiraan sebelumnya.

Pada 2023 biaya operasional adalah $21,6 miliar. Demi menekan biaya, Intel juga berencana untuk memangkas belanja modal sekitar 20% tahun ini dari perkiraan awalnya, yang mencerminkan “permintaan semester kedua yang lebih lemah”.

Langkah-langkah tersebut dirancang untuk “mencapai garis pandang yang jelas menuju model bisnis yang berkelanjutan dengan sumber daya keuangan dan likuiditas yang berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mendukung strategi jangka panjang perusahaan”.

Panen Raya Nvidia Namun Berpotensi Bubble

Berbeda dengan Intel yang boncos membuat Pat Gelsinger harus mengatur ulang strategi, Nvidia yang merupakan pesaing terdekat kini tengah menikmati masa-masa kejayaannya. Hal itu berimbas pada kocek sang CEO Nvidia Jensen Huang yang semakin bertambah tebal.

Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Nvidia (26/6/2024), para pemegang saham dengan suara bulat menyetujui semua proposal yang tercantum dalam agenda.

Keputusan ini mencakup paket kompensasi untuk Jensen Huang dan eksekutif lainnya, serta pemilihan ulang 12 dewan direksi yang akan dilangsungkan secepatnya.

Tak tanggung-tanggung, Jensen Huang dilaporkan menerima kompensasi sebesar $34 juta untuk tahun fiskal 2024.

Dalam RUPS tersebut, Jensen Huang menyatakan bahwa gelombang berikutnya dari kecerdasan buatan (AI) akan mengotomatisasi industri-industri berat (heavy industry) senilai $50 triliun.

Huang menekankan pentingnya peran NVIDIA dalam memimpin revolusi AI ini, yang diprediksi akan membawa perubahan besar dalam berbagai sektor industri.

Berkat booming AI, kinerja Nvidia terus terkerek naik. Saham perusahaan telah menguat lebih dari 160% tahun ini, didorong oleh kinerja keuangan yang kuat dan pemecahan saham 10-untuk-1 yang mulai berlaku pada 10 Juni silam.

Pada akhir Juni lalu, Nvidia sempat menjadi perusahaan paling berharga di dunia melewati valuasi $3.3 triliun, melampaui nilai pasar raksasa teknologi Microsoft.

Perusahaan yang didirikan pada April 1993 itu, telah menjadi penyedia dominan chip untuk mendukung aplikasi AI, menjadikannya simbol dari lonjakan saham teknologi di AS sepanjang tahun ini.

Kinerja Nvidia yang mentereng tercermin dari laporan Q2-2014. Perusahaan berhasil membukukan pendapatan sebesar US$ 26 miliar (+262% YoY) mengalahkan ekspektasi analis di $24,7 miliar.

Apabila ditinjau dari sisi bottom line, perusahaan berhasil mencetak laba bersih sebesar US$ 15,24 miliar atau dengan marjin laba bersih sebesar 58%. Nvidia juga memiliki EPS sebesar US$ 6,12 berada di atas ekspektasi analis di $5,65.

Menurut Huang, chip AI yang diproduksi NVIDIA menyediakan “biaya total kepemilikan terendah,” mengisyaratkan bahwa meskipun chip lain mungkin lebih murah, chip Nvidia lebih ekonomis mengingat kinerja dan biaya operasional.

Dengan kinerja yang terus meningkat, Huang menegaskan bahwa Nvidia kini telah mencapai “lingkaran kebajikan”.

Hal itu adalah istilah dalam industri teknologi yang merujuk pada platform dengan pengguna terbanyak, memungkinkan peningkatan yang menarik lebih banyak pengguna lagi.

Meski saham-saham perusahaan teknologi seperti Nvidia dan AMD kini tengah menjadi magnet bagi para investor, namun sejumlah pihak tetap skeptis dengan masa depan AI. Salah satunya disuarakan oleh Elliot Management.

Grup investor terkemuka itu menilai, kecerdasan buatan (AI/Artificial Intelligence) terlalu dibesar-besarkan dan banyak aplikasi yang disebut-sebut belum siap untuk penggunaan komersial.

Menurut penilaian Elliot Management, harga saham Nvidia yang terbang tinggi berada dalam “bubble land” alias gelembung, karena menimbulkan keraguan atas potensi teknologi saat ini dan masa depan.

Baca Juga: Harga Saham Melambung Tinggi, Investor Peringatkan Potensi Bubble Pada Nvidia

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU