Senin, 11 Agustus 2025

Capai Rp 44.000, ARPU XL Axiata Sudah Pepet Telkomsel

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Selular.ID –  Sebagai entitas bisnis banyak faktor yang menentukan kinerja operator selular. Seperti total revenue, laba, EBITDA, banyaknya jumlah pelanggan, total BTS, frekwensi yang dikuasai, hingga ARPU (Average Revenue Per User) atau Pendapatan Rata-Rata Per Pengguna.

Pada dua dekade lalu, industri strategis ini pernah terjebak pada praktek perang tarif. Jumlah pemain yang berlebih, mencapai 12 operator,  membuat persaingan memperebutkan pelanggan menjadi sangat ketat.

Persaingan super ketat itu, membuat hampir semua operator tak punya pilihan selain menggunakan tarif sebagai senjata untuk meraih pelanggan.

Imbasnya, hanya dalam tempo singkat, ARPU operator selular terjun bebas. Tengok saja, dari rata-rata Rp 350.000 – Rp 500.000 pada 2005, menjadi hanya Rp 150.000 – Rp 250.000 pada 2008.

Lihat Juga: 

Sayangnya, tren tersebut semakin menukik seiring dengan massifnya beragam layanan OTT milik asing, terutama platform serupa operator seperti WhatsApp, yang menggerus layanan dasar (SMS, voice, dan video).

Situasi bertambah runyam karena tingginya churn rate, mencapai 26%. Angka itu, lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara ASEAN yang hanya sebesar 15%.

Baca Juga: Bakal Merger dengan Smartfren, Simak Kinerja XL Axiata Selama Lima Tahun Terakhir

Padahal churn rate adalah indikator tingkat kemapanan operator. Semakin rendah tingkat churn rate, semakin bagus kinerja operator tersebut.

Perilaku butterfly costumer yang senang berpindah operator karena mengejar tarif murah, membuat ARPU terjun dratis.

Sejak 2014 seiring dengan berkembangnya layanan mobile broadband, operator hanya bisa mengandalkan  pendapatan dari data atau aplikasi. Imbasnya, saat ini rata-rata ARPU operator sudah di bawah Rp 50.000.

ARPU yang rendah, membuat konsumen happy, karena terjangkaunya tarif. Orang bisa mengakses internet di mana saja dengan harga yang terjangkau.

Sayangnya, buat industri menjadi tantangan yang tak ringan. Karena menukiknya ARPU, pada akhirnya akan berkontribusi pada pencapaian laba yang juga kurang optimal atau bahkan mencatat kerugian.

Tengok saja, imbas perang tarif, membuat sejumlah operator tumbang, seperti Esia (Bakrie Telecom), Bolt! (Lippo Group), HiNet (Berca), dan Ceria (Sampoerna).

Mereka menyusul Fren (Mobile8/MNC Group) dan Axis (Saudi Telecom), yang terpaksa diakuisisi oleh operator lain, karena tidak mampu bersaing.

Sadar bahwa perang tarif bisa membuat industri tidak sustain, membuat operator lebih berhati-hati dalam menerapkan tarif.

Alhasil, demi meraih pelanggan berkualitas dan juga profitabilitas yang menjadi penanda kesehatan industri, operator secara bertahap menaikan tarif.

Imbasnya, sepanjang tiga tahun terakhir, rata-rata ARPU operator mulai mencatatkan pertumbuhan, meski terbilang tipis. Kecuali Smartfren yang malah turun setiap tahun.

Tercatat ARPU masing-masing operator hingga kuartal pertama 2024 adalah: Telkomsel (Rp 45.300), Indosat Ooreodoo Hutchison (Rp 37.500), XL Axiata (Rp 44.000), dan Smarfren (Rp 25.000).

Tercatat, Indosat mengalami lonjakan ARPU sebesar 13,9% YoY untuk pelanggan selular, hingga mencapai Rp 37.500.

Namun demikian, pencapaian ARPU yang diraih Indosat belum mampu menyaingi XL Axiata. Pasalnya, ARPU XL Axiata pada kuartal pertama 2024 sudah menyentuh Rp 44.000. Jumlah itu semakin dekat dengan Telkomsel yang masih menjadi jawara.

Meski mengalami peningkatan, operator masih memilki ruang untuk menaikan tarif sehingga dapat mendorong peningkatan ARPU.

Berdasarkan riset Bahana Sekuritas yang diterbitkan pada 2018, idealnya ARPU operator selular memang harus di atas Rp 40 ribu.

Dengan ARPU sebesar itu, operator memiliki kemampuan untuk menggembangkan layanan, mempertahankan kualitas jaringan, sekaligus melakukan penggembangan teknologi.

Baca Juga: XL Axiata Raih ARPU Tertinggi Sepanjang Masa, Pendapatan Naik 12%

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU