JAKARTA, SELULAR.ID – Pengamat Telekomunikasi, Kamilov Sagala mengatakan OTT menumpang layanan operator telekomunikasi bahkan bisa mengabaikan kedaulatan negara.
Hal tersebut, Kamilov sampaikan saat diskusi di acara Selular Business Forum atau SBF 2023 di Jakarta, Rabu (27/12/2023).
“Bahkan Presiden keluar negari untuk bertemu bos OTT, kalau di operator telekomunikasi cuma sekelas Menteri yang datang,” kata Kamilov.
Tentu pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT karena penting supaya OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO), lalu turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), turut membantu masyarakat yang dimarginalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerjasama dengan operator.
“Bayangkan saja jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) maka masyarakat di sana juga bisa mengakses OTT dan pendapatannya juga semakin meningkat,” tandasnya.
TONTON JUGA:
Sementara itu, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan pendapatan operator telekomunikasi berbanding terbalik dari over the top alias OTT saat ini.
Sigit menyebut untuk menyehatkan industri seluler memang perlu ada regulasi untuk mengatur OTT.
Dia menjelaskan jika saat ini terjadi ketimpangan pendapatan antara perusahaan operator telekomunikasi dengan Perusahaan OTT secara global.
“Dari data SNS Insider, OTT secara global mampu meraup 295,24 miliar USD pada tahun 2021 dan kemungkinan akan tumbuh hingga 1,951 triliun USD pada tahun 2030,” ujar Sigit. Selain itu, Sigit juga menjabarkan perbandingan pendapatan telekomunikasi dengan OTT.
“Pendapatan operator telekomunikasi pada tahun 2010 memang bisa mencapai 458 miliar USD dari SMS dan voice, sedangkan OTT dulu hanya 41 miliar USD. Tetapi, kini pada tahun 2021 terbalik, perusahaan telekomunikasi hanya mendapat 702 miliar USD sedangkan OTT 753 miliar USD. Prediksinya pendapatan OTT akan terus naik ke depannya,” sambung Sigit.
Baca juga: ATSI Ingin Pemerintah Juga Tarik PNBP dari OTT
Seperti kita ketahui, pendapatan Telkom yang merupakan perusahaan operator telekomunikasi terbesar di Indonesia pada tahun 2022 lalu sebesar Rp147,31 triliun dengan laba bersih 25,86 triliun.
Hal tersebut jauh jika dibandingkan dengan OTT asing seperti Google, 283 miliar USD atau sekitar Rp4.289 triliun yang sangat jauh di atas operator telekomunikasi Indonesia.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan saat ini perkembangan bisnis telekomunikasi terdestrupsi oleh perusahaan OTT yang membuat trafik voice dan SMS menurun. “Perusahaan telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan capex dan apex yang besar. Sementara OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun perusahaan telekomunikasi,” kata Heru.
Hal tersebut yang membuat Heru berpendapat bahwa harus ada sumbangsih OTT untuk turut membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital. Caranya bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.
Dia menambahkan Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax. “Indonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan digital services tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda,” sambung Heru.
Urgensi Regulasi OTT
Baca Juga: Guru Jadi Profesi yang Paling Banyak Gunakan Pinjol