Selular.ID – Belakangan ini isu merger antara XL Axiata dan Smartfren kembali berhembus kencang. Pencetusnya adalah Menkominfo Budi Arie Setiadi.
Ketua Umum Projo itu, secara tegas mendorong konsolidasi di industri telekomunikasi terus berlanjut. Targetnya hanya ada tiga operator seluler yang beroperasi di Indonesia.
Paca merger terakhir pada awal 2021 yang menghasilkan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), saat ini tersisa empat operator selular yang beroperasi.
Keempatnya adalah Telkomsel (anak perusahaan PT Telkom), IOH (anak perusahaan Qatar Telecom dan Hutchison Hong Kong) sebagai perusahaan hasil merger Indosat dan Tri Indonesia, XL Axiata (anak perusahaan Axiata Malaysia), serta Smartfren Telecom (anak perusahaan Sinar Mas Group).
Menkominfo beralasan, menciutnya jumlah operator selular dapat mendorong industri telekomunikasi yang lebih efisien dan sehat. Dia beralasan banyak negara saat ini hanya dilayani oleh tiga operator saja.
“Konsolidasi harus tercipta untuk menjadi tiga operator sehingga terjadi peningkatan kualitas pelanggan, jaringan yang lebih kuat serta efisiensi biaya,” kata Budi Arie, Kamis (28/9/2023).
Baca Juga: Smartfren Buka-bukaan Soal Merger Dengan XL Axiata
Budi pun secara terbuka mendorong agar operator lain seperti Smartfren melakukan merger dengan operator lainnya.
“Selain opsi merger dengan XL, bisa juga Smartfren merger dengan operator lainnya baik Indosat maupun Telkomsel. Yang terpenting konsolidasi menjadi tiga operator bisa terwujud,” jelas Budi Arie.
Untuk mendorong terjadinya konsolidasi, Menkominfo berjanji pemerintah akan memfasilitasi proses merger Smartfren agar tercipta industri telco yang lebih baik dan sehat.
Budi Arie haqul yakin lewat konsolidasi, industri telco dapat mendongkrak kualitas layanan internet di Indonesia.
Saat ini, menurutnya, kecepatan internet Indonesia nomor 9 dari 10 negara Asean dan nomor 121 dari 182 negara di dunia.
“Ini sangat memprihatinkan. Padahal kita berjuang untuk menjadi negara maju,” pungkas Budi Arie.
Menanggapi dorongan konsolidasi tersebut, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys pun angkat bicara. Menurut pria yang akrab dipanggil pak kumis itu, pihaknya juga menanti kabar tersebut, dan terbuka untuk melakukan merger.
Tujuannya untuk efisiensi operasional. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, dari 5G menjadi 6G pastinya akan membutuhkan sumber daya yang lebih besar. Sehingga, konsolidasi dibutuhkan demi pengembangkan teknologi tersebut.
“Pemerintah sebagai pengelola spektrum ini mengalami suatu kendala kalau harus membagi spektrum yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan ke depan. Oleh sebab itu, pemerintah mendorong industri ini konsolidasi,” kata Merza, kepada Selular.
Lebih lanjut Merza menjelaskan, apabila merger terjadi maka tidak hanya sumber finansial saja yang mampu mengakselerasi kinerja perusahaan.
“Oleh sebab itu pemerintah sangat mendorong konsolidasi terjadi. Memang kemarin Indosat-Tri berhasil merger, sehingga kami yang tersisa ini didorong untuk konsolidasi,” ujarnya.
Namun, memang Merza tidak dapat memastikan jika upaya korporasi ini akan terjadi. Menurutnya, jika memang kedua manajemen berjodoh, hal ini akan terjadi. Akan tetapi sebaliknya, jika tidak menemukan titik temunya, merger akan sulit terjadi.
“Informasinya, kami dari manajemen belum mendapatkan informasinya,” ujar Merza.
Seperti halnya Merza, CEO XL Axiata Siswarini juga menanggapi rumor merger kedua operator. Di sela-sela acara Syukuran Anniversary XL Axiata 27th, Dian mengatakan merger merupakan kewenangan Axiata Group Bhd selaku induk usaha. Sampai saat ini sebagai manajemen, dikatakan Dian sebetulnya tidak banyak terlibat.
“Pasalnya yang banyak terlibat adalah stakeholder. Namun dari XL, kami mendukung untuk terjadi konsolidasi,” ujar Dian di Jakarta (09/10/12).
Menurut Dian, pihaknya tidak alergi terhadap merger. Hal itu dibuktikan saat XL mengakuisisi Axis yang rampung pada 2013. Dian menyebutkan bahwa konsolidasi sebenarnya baik buat industri.
“Konsolidasi baik buat industri agar menjadi lebih sehat karena mungkin memang empat terlalu banyak,” tandas Dian.
Baca Juga: XL Axiata Dukung Opsi Merger
Isu Merger Smartfren dan XL Axiata Telah Berhembus Sejak Lama
Sejatinya, kabar merger antara XL Axiata dan Smartfren bukan barang baru. Di jaman Kementerian Kominfo masih dipimpin oleh Rudiantara, merger antar operator menjadi agenda yang kerap diusung oleh pemerintah.
Opsi merger menjadi keharusan karena landscape industri sudah tidak ideal. Seperti diketahui, sejak 2012, industri telekomunikasi di Indonesia telah memasuki masa jenuh dengan tingkat persaingan tinggi.
Alhasil, keuangan operator pun berdarah-darah karena tidak bisa mendapatkan margin keuntungan ideal dari spektrum frekuensi yang hanya sedikit tersedia.
Pelanggan pun ikut dirugikan karena kualitas layanan yang diterima semakin menurun — meski di sisi lain, kompetisi dari banyaknya jumlah operator juga membuat tarif terus dipaksa turun ke level margin terendah.
Menurut Rudiantara, jumlah operator telekomunikasi di Indonesia dinilai sudah terlampau banyak. Akibatnya, tak semua operator mendapatkan jatah frekuensi yang ideal. Imbasnya, masyarakat pengguna pun tak terlayani dengan baik.
Itu sebabnya, Rudiantara bertekad mendorong konsolidasi melalui aksi korporasi merger akuisisi agar jumlah operator di Indonesia yang tadinya mencapai sembilan, bisa diminalisir dengan tersisa hanya tiga atau empat operator saja.
“Setiap tahun industri telekomunikasi menyumbang defisit ke transaksi perdagangan sekitar USD5-6 miliar. Dengan jumlah operator telekomunikasi sekarang ini, bagaimana kita meningkatkan infrastruktur sharing. Kalau perlu merger, kami fasilitasi. Mereka cenderung membangun infrastuktur sendiri-sendiri dengan membeli alat ke luar negeri,” kata Rudiantara, dalam satu kesempatan.
Setelah cukup lama menginisiasi opsi merger, aksi korporasi itu akhirnya benar-benar terjadi. Namun, realisasi merger bukan melibatkan Smartfren dengan XL Axiata. Melainkan Indosat Ooredoo dan Three Huthcison Indonesia.
Merger antara kedua operator itu rampung pada awal 2021, dua tahun setelah Rudiantara lengser dari jabatan Menkominfo, digantikan oleh Johnny G. Plate.
Sementara rencana merger Smartfren dengan XL Axiata, meski telah didorong sejak lama, sejauh ini masih sebatas wacana, tanpa ada kejelasan hingga kini.
Memang aksi merger tidak semudah dibayangkan. Pasalnya, ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan untuk merger. Di antaranya adalah nilai saham, teknologi, pasar modal, global investor, spektrum, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, Kominfo juga mengakui bahwa proses merger murni urusan bisnis. Menkominfo Budi Arie menegaskan bahwa pihaknya tidak memaksa realisasi merger ini melainkan hanya mengimbau.
Persoalan merger ini diserahkan sepenuhnya kepada kedua perusahaan sebagai suatu proses bisnis. Kominfo sendiri telah menjalin komunikasi dengan kedua belah pihak.
“Kita sudah berkomunikasi dengan mereka. Silahkan selesaikan. Kita kan (Kominfo) cuma, kita nggak mengawinkan paksa, memang jaman siti nurbaya sama datuk maringgih? Kita cuma mengimbau, prosesnya kan B2B,” kata Budi Arie.
“Mereka sedang bernegosiasi. Pokoknya merger XL atau siapapun, ini bukan kawin paksa, yang penting kita imbau ekosistem telekomunikasi industri kita bisa kembali sehat,” pungkasnya.
Akankah Smartfren benar-benar berjodoh dengan XL Axiata? Atau lagi-lagi itu cuma rumor belaka? Waktu yang kelak membuktikan.
Baca Juga: Smartfren Gelar Pelatihan Pengembangan Literasi Masyarakat di 3 Kota