Jakarta, Selular.ID – Dipenuhi negara-negara berkembang, populasi yang terus bertambah, dan pertumbuhan kelas menengah, Asia Tenggara menghadirkan banyak peluang bagi industri Fintech yang kini tengah berkembang pesat.
Tercatat investasi Fintech di ASEAN mencapai US$4,3 miliar pada sembilan bulan pertama 2022, lebih tinggi dibandingkan jumlah gabungan pada 2018 hingga 2020.
Dengan tingginya potensi pertumbuhan diprediksi, Asia Tenggara akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat pada tahun 2030, setelah Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Tiongkok.
Selain kondisi yang relatif stabil, kawasan ini dipenuhi dengan demografi muda dan dinamis yang mudah menerima teknologi.
Pesatnya urbanisasi di wilayah pedesaan, adopsi teknologi selular, dan meningkatnya pertumbuhan pendapatan rumah tangga mendorong perilaku konsumsi.
Selain itu, usaha kecil dan menengah (UKM), yang merupakan landasan bagi negara-negara berkembang, masih kurang terlayani oleh keuangan tradisional, sehingga menyisakan kesenjangan yang harus diisi oleh inovasi Fintech.
Secara kolektif, faktor-faktor ini menjadikan wilayah Asia Tenggara ini sebagai lahan subur bagi perusahaan Fintech untuk menguji dan mengembangkan produk mereka.
Baca Juga: Hingga Agustus 2023, Total Standing Pinjaman Fintech P2P Lending Tembus 12,46%
Salah satu contoh dimana fintech dapat membantu mendorong inklusi keuangan adalah pembayaran digital. Platform pembayaran saat ini menarik lebih dari US$1 miliar pendanaan modal ventura (VC) di seluruh Asia Tenggara.
Misalnya saja Xendit yang berbasis di Indonesia, merupakan layanan pembayaran untuk UKM dan start-up e-commerce hingga perusahaan besar.
Xendit mengubah cara penyampaian layanan keuangan dan pembayaran digital di Asia Tenggara. Perusahaan mencapai status unicorn dalam putaran terakhir pendanaan modal ventura tahun lalu. Saat ini terdapat 35 unicorn di ASEAN, 25 di antaranya baru muncul dalam setahun terakhir.
Bagi populasi underbanked atau unbanked (orang-orang yang tidak memiliki akses memadai terhadap layanan dan produk keuangan arus utama) di negara-negara berkembang di Asia Tenggara, solusi keuangan terdesentralisasi juga memberikan peluang untuk menghindari hambatan yang ditimbulkan oleh lembaga keuangan tradisional dengan menggunakan teknologi digital baru seperti mata uang kripto.
“Menurut Bain & Co, lebih dari 70 persen populasi di Asia Tenggara tidak memiliki rekening bank atau tidak memiliki rekening bank”, ujar pendiri HomeCrowd Dave Chew, seperti dilansir dari laman TechNode Global.
Selama bertahun-tahun, meskipun telah terjadi perkembangan dan adopsi besar-besaran di bidang pembayaran yang juga dipercepat oleh pandemi Covid-19, masih banyak hal yang belum dapat dilakukan. Banyak potensi dalam bidang investasi, pinjaman, tabungan, dan keuangan terdesentralisasi (DeFi) saat ini, imbuh Dave Chew.
Baca Juga: Singapura Kukuhkan Diri Sebagai Raja Fintech Asia Tenggara