Selular.ID – iPhone 15 digadang-gadang akan melenggang ke pasar pada pertengahan bulan ini. Seperti varian-varian sebelumnya, Apple diprediksi akan menangguk keuntungan besar dari iPhone 15.
Menurut kajian lembaga riset Counterpoint, Apple memiliki peluang besar dalam penjualan global untuk pertama kalinya di tahun ini.
Direktur Riset Counterpoint Jeff Fieldhack, mengatakan bahwa pada kuartal keempat 2023, Apple akan mendapati banyak peminat seiring peluncuran iPhone 15 yang disambut antusiasme tinggi.
Banyaknya konsumen yang masih menggunakan iPhone lama, seperti iPhone 12, merupakan alasan terkait prediksi bahwa iPhone 15 akan diminati banyak pengguna.
“Dengan basis pemilik iPhone 12 yang besar saat ini, promosi iPhone 15 akan menjadi agresif dan menempatkan Apple di posisi yang baik,” jelasnya.
Sayangnya prediksi tinggal prediksi. Jelang peluncuran iPhone generasi terbaru itu, Apple justru kini tengah kalang kabut.
Pasalnya, tak disangka-sangka, China mengambil kebijakan drastis. China memperluas larangan penggunaan iPhone kepada pegawai pemerintah daerah dan perusahaan milik negara, sehari setelah diketahui bahwa pegawai pemerintah pusat dilarang membawa perangkat tersebut ke tempat kerja.
Baca Juga: Perang dengan AS, China Gelontorkan Investasi Chip Hingga $40 Miliar
Beberapa lembaga telah mulai menginstruksikan karyawannya untuk tidak membawa iPhone ke tempat kerja dan larangan tersebut diperkirakan akan diperpanjang lebih lanjut, Bloomberg melaporkan.
Dengan keluarnya kebijakan tersebut, perusahaan milik negara telah memberi tahu karyawannya bahwa siapa pun yang bekerja dengan rahasia dagang tidak boleh membawa iPhone, Apple Watch, atau AirPods mereka ke kantor mulai bulan depan.
The Guardian melaporkan bahwa, larangan penggunaan produk Apple diyakini sebagai tanda bahwa Beijing semakin menjauh dari teknologi AS.
Tiongkok memiliki lebih dari 150.000 perusahaan milik negara, menurut media pemerintah, yang mempekerjakan lebih dari 56 juta orang pada 2021.
Sebelumnya, pemerintah pusat telah memberlakukan beberapa pembatasan terhadap penggunaan teknologi buatan luar negeri di tempat kerja yang terkait dengan pemerintah setidaknya sejak 2018.
Namun minggu ini dilaporkan bahwa aturan tersebut diperluas ke ponsel pintar. Banyak karyawan Tiongkok di organisasi yang terkena dampak memiliki telepon terpisah untuk bekerja.
Pada Kamis (7/9), Wall Street Journal dan Reuters melaporkan bahwa China telah memperluas pembatasan penggunaan iPhone oleh pegawai negeri, dan meminta staf di beberapa lembaga pemerintah pusat untuk berhenti menggunakan ponsel Apple mereka di tempat kerja.
Pejabat di instansi pemerintah pusat diberikan instruksi oleh atasannya dalam grup obrolan atau pertemuan di tempat kerja.
Menanggapi berita tersebut, saham Apple turun lebih dari 6% pada Rabu dan Kamis, meskipun naik 1% pada pembukaan perdagangan hari Jumat (8/9).
Penurunan saham telah membuat Apple rugi gila-gilaan. Tercatat harga saham Apple pada Index Dow Jones Industrial Average turun 2,9%. Ini membuat perusahaan rugi US$ 200 miliar atau setara dengan Rp 3.060 triliun (asumsi kurs Rp 15.300) dalam kurun waktu dua hari. Sahamnya juga masuk dalam kategori kinerja terburuk.
Memang, larangan ini belum diumumkan secara langsung oleh pemerintah China. Sehingga menyebabkan adanya berbagai spekulasi jika produk-produk Apple ini terjebak dalam konflik China dan Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Strategi Baru China di Perang Chip, Bisa Buat AS Ketar-Ketir
Masa Depan Apple di China
Meski dihadapkan pada persoalan geopolitik yang kerap berubah-ubah, namun China tetap merupakan pasar strategis bagi Apple.
Malahan seiring melonjaknya daya beli masyarakat China, negara tersebut telah menjelma menjadi pasar utama bagi penjualan iPhone dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagian besar perusahaan analis mencatat bahwa vendor tersebut mendapatkan keuntungan dari permintaan model-model kelas premium di China pada saat model-model tersebut melawan penurunan pengiriman global yang lebih luas.
Laporan Morgan Stanley menyebutkan, pasar China menghasilkan hampir seperlima dari total pendapatan Apple.
China Raya – termasuk Tiongkok, Hong Kong, dan Taiwan – adalah pasar terbesar ketiga Apple dan menyumbang 19% dari penjualan Apple senilai $394 miliar (£316 miliar) tahun lalu.
Analis Morgan Stanley Erik Woodring mengatakan kerugian saham Apple “berlebihan” karena dia tidak yakin pembatasan tersebut akan mengarah pada sesuatu yang lebih luas. Woodring memperkirakan skenario terburuknya adalah hilangnya pendapatan sebesar 4% bagi perusahaan.
“China sangat penting bagi kesuksesan Apple, namun Apple juga penting bagi perekonomian Tiongkok,” katanya.
“Meskipun potensi perpecahan yang luas antara Apple dan Tiongkok di dunia multipolar ini jelas ada, kami tidak percaya berita utama baru-baru ini menggambarkan skenario ‘kasus terburuk’ ini.”
Baca Juga: Dominasi AS dan Barat Dalam Teknologi Chip Bakal Dipatahkan China
Produksi Apple sejauh ini tetap berpusat di Tiongkok, dengan sekitar 90% produknya dibuat di negara tersebut. Salah satu contohnya adalah pemasok Apple yang didirikan di Taiwan, Foxconn, yang memiliki pabrik besar di Tiongkok dan mempekerjakan lebih dari 1,2 juta orang.
Namun setelah ketidakstabilan politik dan gangguan akibat pandemi, Apple mempercepat rencana untuk memindahkan beberapa produksi ke negara lain, termasuk Vietnam dan India. Sebagian oroduksi iPhone 14 diketahui telah dipindahkan ke India.
Relokasi ini merupakan kali pertama Apple merakit model iPhone di luar Tiongkok pada tahun peluncurannya. Kebijakan tersebut secara luas juga dipandang sebagai langkah besar dalam memindahkan operasi manufaktur dari negara Tiongkok.
Di sisi lain, India adalah pasar ponsel pintar terbesar kedua di dunia. Masyarakat India juga semakin keranjingan smartphone premium, seiring dengan meningkatnya daya beli, seperti dilaporkan Business Insider.
Didorong oleh manufaktur dalam negeri, iPhone Apple diperkirakan akan meraih 7% pangsa pasar ponsel cerdas yang didominasi Android di India pada akhir 2023, ketika raksasa teknologi tersebut bersiap untuk meluncurkan perangkat andalannya secara global pada pertengahan bulan ini.
Larangan AS Terhadap Huawei Berimbas Pada Apple
Tak dapat dipungkiri, Apple kini menjadi industri teknologi terbaru yang menjadi korban ketegangan geopolitik antara AS dan Tiongkok.
Raksasa asal Cupertino, California itu, semakin terjebak dalam pusaran konflik yang telah berlangsung sejak Presiden AS Donald Trump, berkuasa di gedung putih pada 2017 – 2020.
Beberapa analis berpendapat bahwa larangan Beijing terhadap Apple adalah bagian dari tindakan balasan, setelah larangan Huawei oleh AS dan negara lain – termasuk Kosta Rika minggu lalu – terhadap jaringan 5G nasional.
AS terus membatasi akses Tiongkok terhadap peralatan penting yang diperlukan untuk menjaga industri chip mereka tetap kompetitif.
Pemerintah AS telah melarang persetujuan peralatan telekomunikasi baru dari perusahaan telekomunikasi Tiongkok Huawei dan ZTE karena peralatan tersebut menimbulkan “risiko yang tidak dapat diterima” terhadap keamanan nasional AS.
Gedung Putih juga juga telah melarang aplikasi video milik Tiongkok, TikTok, dari ponsel yang dikeluarkan pemerintah dan memberlakukan pembatasan ekspor beberapa chip komputer canggih ke Tiongkok.
Di sisi lain, Beijing merespon dengan menegaskan kepada operator infrastruktur penting di Tiongkok untuk berhenti membeli produk dari pembuat chip AS, Micron Technology, sambil meningkatkan upaya untuk lebih mandiri dalam membuat semikonduktor – yang dikenal sebagai “otak perangkat elektronik”.
Sejalan dengan upaya melawan hegemoni AS, China pada awal pekan lalu, dilaporkan akan meluncurkan dana sebesar $40 miliar untuk meningkatkan upaya yang ada guna mendorong semakin berkembangnya industri chip lokal.
Baca Juga: Bagaimana Kemitraan Apple dan Foxconn Mengubah Wajah Teknologi Dunia?