Selular.ID – Digitalisasi yang tengah berkembang pesat saat ini, tak lepas dari peran operator telekomunikasi yang terus membangun jaringan broadband, baik fixed maupun mobile, hingga ke seluruh pelosok Nusantara.
Namun di tengah posisinya yang semakin strategis, terutama sebagai enabler bagi industri lainnya, kita justru menyaksikan industri telekomunikasi saat ini tidak sedang baik-baik saja.
Sejak memasuki masa kejenuhan (saturated) pada 2013, pertumbuhan industri telekomunikasi khususnya selular, kini tak lagi mewah. Jika sebelumnya double digit, sekarang sudah single digit.
Sepanjang 2022, pertumbuhan operator bervariasi. Indosat Ooredoo Hutchison membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar 9,9%. Ini adalah angka tertinggi. Disusul XL Axiata dengan pertumbuhan pendapatan 9%.
Berbeda dengan IOH dan XL, Telkomsel yang merupakan market leader di industri ini, pertumbuhannya hanya mencapai 1,85% pada 2022.
Secara umum, berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (5/5/2023), industri telekomunikasi tumbuh melambat ke level 7,19 persen secara tahunan. Fakta ini menjadi alarm bagi ekosistem industri teknologi digital yang mampu tumbuh tinggi saat pandemi Covid-19.
Tanda-tanda menurunnya pertumbuhan industri selular, sejatinya sudah tercermin sejak beberapa tahun sebelumnya.
Baca Juga: Operator Menjerit Karena BHP, Kominfo: Tunggu Revisi PP Nomor 80
Pada 2018, akibat perang tarif data yang memuncak, industri yang kini menjadi pilar ekonomi digital ini akhirnya terjungkal. Tumbuh negatif, minus 6,4%.
Ini adalah kali pertama industri selular mengalami negative growth sejak teknologi AMPS (Advanced Mobile Phone System) dan GSM (Global System for Mobile), yang merupakan nenek moyang teknologi selular, pertama kali masuk ke Indonesia pada 1991 dan 1993.
Pertumbuhan yang terus melambat merupakan imbas dari persaingan ketat dalam memperebutkan pelanggan. Membuat perang tarif tak terhindarkan.
Pada satu masa, operator bahkan pernah berlomba-lomba menawarkan harga serendah mungkin. Mulai dari Rp 1,- hingga Rp 0,001 yang sungguh tidak masuk akal.
Tentu saja, penetapan tarif yang teramat rendah, seperti bunuh diri. Dalam jangka pendek, jumlah pelanggan melonjak. Namun pada gilirannya, menekan pendapatan rata-rata per pelanggan (ARPU).
ARPU merupakan salah satu indikator kesehatan industri telekomunikasi. ARPU yang rendah pada akhirnya tentu akan berkontribusi pada pencapaian laba yang juga kurang optimal.
Meski demikian dalam tiga tahun terakhir ARPU dari operator selular mulai mencatatkan pertumbuhan, meski terbilang tipis. Kecuali Smartfren yang malah turun setiap tahun.
Hingga akhir 2020, tidak ada satu pun operator selular yang ARPU gabungannya (prabayar dan pasca bayar) menyentuh angka Rp 50.000.
ARPU gabungan tertinggi dicatatkan oleh Telkomsel yang tumbuh dari Rp 41.000 di 2018 menjadi Rp 44.000 pada 2020, diikuti XL Axiata yang ARPU-nya juga meningkat menjadi Rp 36.000.
Selanjutnya ada Indosat yang ARPU meningkat lebih dari 70% dari tahun 2018 menjadi Rp 31.900 pada 2020. Terendah adalah Smartfren, dengan ARPU sebesar Rp 26.000.
Pencapaian ARPU yang diraih operator selular saat ini, terbilang kontras saat industri telekomunikasi masih diwarnai basic service (SMS dan voice).
Dua dekade lalu, sebelum maraknya layanan data dan sosial media, rata-rata ARPU operator bisa bertengger pada Rp 75.000 – Rp 100.000.
Namun perang tarif yang mulai melanda pada 2007, disusul kebijakan penurunan tarif interkoneksi oleh pemerintah pada 2008, membuat operator harus berjibaku. Pasalnya, kompetisi yang ketat membuat revenue anjlok tajam. Rata-rata hanya tumbuh dibawah 10%.
Riset Deutsche Bank menunjukkan hanya dalam kurun empat tahun (2005 – 2008), perbedaan tarif menjadi sangat timpang. Pada 2005, tarif selular di Indonesia masih yang tertinggi di Asia, yakni US$ 0,15 atau Rp 1.350 per menit.
Namun pada 2008, tarif anjlok ke titik terendah, yakni US$ 0,015 atau hanya Rp 135 per menit. Alhasil, ARPU rata-rata operator pun amblas, terutama pada basic service yang kini hanya berkisar Rp 10 ribu – 20 ribu saja.
Meski ARPU kini tak sebaik di era basic service, namun pengguna ponsel terus membengkak. Pergeseran dari feature phone ke smartphone akibat penetrasi jaringan 4G, membuat pengguna terus melonjak.
Per Juni 2023, jumlah pengguna layanan selular telah mencapai 346 juta. Jumlah itu jauh melebihi total populasi penduduk sebesar 227,8 juta jiwa.
Sejatinya, dari sisi demand, industri selular memiliki potensi untuk terus berkembang, khususnya layanan data yang kini semakin happening.
Namun, seringkali kebijakan pemerintah juga tidak mendorong industri ini agar tumbuh lebih efisien. Salah satunya adalah tetap besarnya regulatory charge yang dibebankan pemerintah kepada industri. Angkanya mencapai 20% – 25% dari opex (operational expenditure) operator selular.
Jumlah itu melebihi tren global yang kini rata-rata hanya sebesar 10%. Salah satu komponen regulatory charge yang wajib dibayarkan operator kepada pemerintah adalah BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekwensi radio.
Baca Juga: Kominfo Mengakui Beban BHP Frekuensi Terlalu Berat Bagi Operator Seluler
Kominfo Cetak Rekor PNBP Saat Operator Merana
Ironisnya di tengah melambatnya pertumbuhan industri telekomunikasi yang memaksa operator untuk bekerja ekstra keras, Kominfo yang merupakan kementerian teknis, justru ‘pesta pora’. Hal itu tercermin dari terus melambungnya nilai PNBP.
Besarnya pencapaian PNBP yang disetorkan Kominfo ke kas negara, terungkap dalam dalam Rapat Kerja Menkominfo bersama Komisi I DPR RI, pada Rabu (07/09/2022).
Menurut Menkominfo Johnny G. Plate (saat itu), sejak 2018 hingga 2021, tren realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor komunikasi dan informatika terus mengalami peningkatan.
Johnny menyebutkan, lelang dan BHP spektrum frekuensi radio menjadi salah satu sumber utama kenaikan PNBP dari tahun ke tahun.
“Dari tahun ke tahun realisasi PNBP Kementerian Kominfo terus meningkat, hal ini disebabkan dengan adanya atau hasil dari ekstensifikasi berupa pelelangan spektrum frekuensi dan intensifikasi PNBP,” jelas Plate yang kini jadi pesakitan gegara kasus korupsi BTS 4G merugikan negara triliunan rupiah.
Pada 2018, realisasi PNBP Kominfo sebesar Rp21,3 triliun. Jumlahnya terus meningkat hingga Rp25,4 triliun pada 2021.
“Dibandingkan dengan 2021, target PNBP 2022 akan mengalami kenaikan, ditargetkan PNBP Kominfo mencapai Rp24,7 triliun,” ujarnya.
Johnny menyatakan target tersebut masih berpotensi mengalami kenaikan, karena adanya kemungkinan lelang spektrum frekuensi baru yang akan berlangsung pada 2022.
“Di tahun 2023, Kominfo menargetkan PNBP sebesar Rp25,07 triliun, ini setelah mengalami beberapa peningkatan baik melalui rencana ekstensifikasi maupun intensifikasi PNBP,” jelasnya.
Seperti disampaikan oleh Plate, lelang spektrum dan BHP yang dibayarkan oleh operator selular memang menjadi sumber utama pencapaian PNBP Kominfo selama ini. Tengok saja dalam lelang terakhir yang dihelat pada November 2022.
Telkomsel resmi jadi pemenang seleksi pengguna pita frekuensi 2,1 Ghz mengalahkan XL Axiata. Telkomsel berhak atas pita frekuensi tersebut karena menawar harga tertinggi, sebesar Rp 605 miliar. Mengungguli XL Axiata yang ‘hanya’ mengajukan penawaran senilai Rp 540 miliar.
Sebelumnya dalam lelang frekwensi 2,3 Ghz, pada Mei 2021 Kominfo memutuskan dua pemenang masing-masing Telkomsel dan Smarfren.
Diketahui, Smartfren mengajukan penawaran senilai Rp176,5 miliar untuk 1 blok, sedangkan Telkomsel mengajukan penawaran senilai Rp176,9 miliar per blok. Telkomsel mengantongi 2 blok sehingga total nilai tawar yang mereka ajukan sekitar Rp353,8 miliar.
Berkat tingginya nilai PNBP itu, wajar jika Kominfo menjadi salah satu kementerian yang sangat “disayang” oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan mengatakan terdapat enam Kementerian dan Lembaga (K/L) yang menjadi penyumbang setoran pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor layanan terbesar di Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan 6 K/L tersebut di antaranya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perhubungan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian Pendidikan dan Kepolisian RI.
“Dari beberapa tahun terakhir dan berdasarkan postur Perpres 54 Tahun 2020, 6 kementerian dan lembaga ini memberikan kontribusi PNBP terbesar,” jelas Febrio di ruang rapat Banggar, Kamis (25/6/2020).
Baca Juga: ATSI Sebut Beban BHP Frekuensi 14 Persen Beratkan Operator