Kamis, 31 Juli 2025
Selular.ID -

Empat Kontroversi TikTok: Dari Konten Negatif, Pelanggaran Privasi, Hingga Tudingan Merugikan UMKM

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Jakarta, Selular.ID – TikTok kini menyandang predikat sebagai aplikasi paling popular sejagat. Menurut riset Apptopia, aplikasi besutan ByteDance (China) itu telah diunduh sebanyak 672 juta kali.

Jumlah tersebut mengantarkan aplikasi video singkat itu sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh di seluruh dunia sepanjang 2022.

Berturut-turut setelah TikTok adalah Instagram dengan total unduhan 548 juta, WhatsApp (424 juta), CapCut (357 juta), dan SnapChat (330 juta).

Imbas jumlah unduhan yang terus menanjak, total pengguna TikTok juga semakin membesar. Laporan We Are Social menunjukkan, pengguna TikTok di dunia diperkirakan mencapai 1,09 miliar per April 2023.

Mayoritas pengguna adalah Gen-Z. Jumlahnya mencapai 38,5% di rentang usia 18 hingga 24 tahun. Ini adalah pasar yang sangat potensial untuk digarap, baik iklan maupun social commerce.

Meski demikian, tidak hanya generasi Z seperti yang diasumsikan banyak orang — TikTok juga juga disukai orang-orang dari segala usia.

Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan pengguna TikTok terbesar kedua di dunia pada April 2023. Setidaknya ada 113 juta pengguna media sosial tersebut di dalam negeri.

Jumlah pengguna TikTok Indonesia hanya kalah dari Amerika Serikat yang mencatat 116,5 juta pengguna aktif. Berturut-turut setelah Indonesia adalah Brasil (84,1 juta), Meksiko (62,4 juta), Rusia (51,2 juta), Vietnam (50,6 juta), dan Filipina (41,4 juta).

Baca Juga: ‘Dosa’ Besar TikTok di Indonesia, Berbisnis Tanpa Payung Hukum

Berkat popularitas yang tinggi, TikTok pun leluasa mengembangkan fitur-fitur baru, termasuk social commerce yang kini semakin happening.

Berdasarkan survey Populix 2022, TikTok Shop merupakan social commerce nomor satu di Indonesia dengan jumlah pengguna mencapai 45% dari total seluruh pengguna.

Potensi social commerce memang tidak main-main. diperkirakan nilai transaksi dari sosial dagang ini mencapai sekitar USD2,9 triliun pada 2026.

Di Indonesia sendiri, dalam lima tahun ke depan model sosial dagang ini akan menghasilkan transaksi dengan nilai kotor penjualan sekitar USD22 miliar pada 2028.

Meski telah berkembang menjadi social commerce, TikTok tak bisa lepas dari kontroversi yang menyertai aplikasi video pendek itu selama ini. Berikut adalah lima kontroversi TikTok yang mengguncang sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Tersandung Konten Negatif

Pada 4 Juli 2018, Kominfo terpaksa memblokir layanan TikTok. Pertimbangannya, banyak pengguna Tik Tok yang telah menggunakan aplikasi ini di luar batas.

Tik Tok selama ini memang menyediakan fitur yang bisa menambah kreativitas penggunanya. Nyatanya, aplikasi ini malah sering digunakan untuk menyebarluaskan konten-konten negatif, seperti pornografi.

Oleh karena itu, Kominfo memutuskan menghentikan layanan Tik Tok untuk sementara waktu. Sehari pasca Tik Tok diblokir di Indonesia, CEO Tik Tok, Kelly Zhang dan timnya langsung terbang ke Indonesia dan menyambangi kantor Kementerian Kominfo di Jakarta.

Tujuannya-pun jelas untuk berunding dan mencari jalan tengah atas keberlangsungan aplikasi Tik Tok di tanah air. Dalam pertemuan itu, Kelly Zhang berjanji merekrut 200 orang sebagai moderator konten di Indonesia. Tugas mereka adalah mengawal konten dan memastikan tak ada konten negatif nongol di aplikasi mereka.

Pasca pertemuan dengan Menkominfo Rudiantara (saat itu), Kelly Zhang bisa bernafas lega. Akses terhadap TikTok dibuka kembali.

Namun ada sejumlah persyaratan Kominfo yang wajib dipenuhi TikTok. Diantaranya, TikTok perlu menyaring konten-konten negatif, wajib menerapkan standar komunitas baru khusus untuk Indonesia. Nantinya, standar baru itu akan menggunakan bahasa Indonesia.

Aturan lain, terdapat batas usia minimal 13 tahun, dari rencana sebelumnya 16 tahun. Usia itu dipilih menyesuaikan dengan aplikasi lain, seperti Facebook, yang menerapkan batasan umur.

Untuk mendukung hal tersebut, TikTok berjanji akan menerapkan sistem keamanan dan kecerdasan buatan, sehingga bisa membantu menyaring konten-konten negatif yang ada di platform Tik Tok.

Baca Juga: DPR Segera Panggil TikTok Terkait Project S yang Ancam UMKM

Melanggar Privasi dan Keamanan Berujung Denda Besar

Persoalan geopolitik kini semakin mendera TikTok. Pada Selasa (4/4/2023), Australia resmi mengikuti Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada yang melarang pejabat pemerintahannya menggunakan TikTok.

Larangan tersebut menggarisbawahi kekhawatiran yang berkembang, bahwa China dapat memanfaatkan data pengguna TikTok dari perusahaan induk yang berbasis di Beijing, ByteDance.

Kini seiring dengan aksi pelarangan, penguasa video media sosial itu juga mulai merasakan sanksi lain, yaitu denda cukup besar.

Teranyar sanksi tersebut dijatuhkan oleh Inggris. Pada Rabu (5/4/2023), Kantor Komisi Informasi Inggris (ICO) mendenda pemilik TikTok sebesar £12,7 juta (sekitar $16 juta) karena melanggar undang-undang perlindungan data terkait privasi anak-anak.

Ini adalah denda pertama yang dijatuhkan otoritas Inggris terhadap TikTok. Meski denda yang dijatuhkan ICO, kurang dari setengah dari pungutan yang awalnya diancam oleh otoritas.

IOC mengungkapkan, pelanggaran yang dilakukan TikTok sejak Mei 2018 hingga Juli 2020 mencakup sejumlah pelanggaran terhadap UU Peraturan Perlindungan Data Umum atau GDPR (General Data Protection Regulation).

Untuk diketahui, GDPR adalah UU privasi dan keamanan terberat di dunia. Meskipun dirancang dan disahkan oleh Uni Eropa (UE), beleid ini membebankan kewajiban kepada organisasi di mana pun, selama mereka menargetkan atau mengumpulkan data yang terkait dengan orang-orang di UE.

Inggris menjadi negara kedua yang menjatuhkan denda besar kepada TikTok. Diketahui, otoritas Perlindungan Data Prancis (CNIL) juga menjatuhkan sanksi kepada perusahaan teknologi China, TikTok pada Kamis (12/1/2023).

TikTok dinilai tidak mematuhi kebijakan privasi yang berlaku di Perancis.  Akibatnya, CNIL menghukum aplikasi yang didirikan oleh Zhang Yiming itu, dengan denda sebesar 5 juta euro (Rp82,3 miliar).

Menjalankan Bisnis Social Commerce Tanpa Payung Hukum

TikTok sudah meluncurkan fitur belanja online TikTok Shop di Indonesia sejak April 2021. Lewat TikTok Shop, pengguna bisa langsung berbelanja lewat TikTok tanpa harus beralih ke aplikasi lain untuk menyelesaikan transaksi pembelian produk yang diinginkan.

Sejak diluncurkan TikTok Shop langsung menjadi social commerce paling popular di Indonesia. Survei Populix menunjukkan Tiktok Shop telah digunakan oleh 45% masyarakat di Indonesia yang pernah belanja online menggunakan media sosial.

Angka itu lebih tinggi dari platform-platform milik Grup Meta yakni WhatsApp (21%), Facebook Shop (10%) dan Instagram Shop (10%).

Riset yang sama menyatakan 52% masyarakat Indonesia telah mengetahui tren transaksi jual-beli lewat media sosial atau social commerce.

Baca Juga: Perbedaan Antara TikTok Shop dan Project S, Dianggap Momok UMKM Indonesia

Ini jadi opsi baru berbelanja online dan memungkinkan interaksi langsung dengan penjual namun tetap bisa menelusuri media sosial tanpa harus pindah aplikasi.

Tren berbelanja di social commerce, dengan sendirinya menjadi ancaman bagi platform e-commerce yang sebelumnya mendominasi aktifitas belanja online masyarakat sejak sebelum pandemi.

Berkembangnya TikTok Shop tak bisa diremehkan pemain e-commerce lama seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada. Menurut survei dari firma riset Cube Asia, pengeluaran pengguna di TikTok Shop membuat mereka mengurangi pengeluaran di Shopee dan Lazada.

Di Indonesia, Thailand, dan Filipina, pengeluaran pengguna di Shopee turun 51% karena alokasinya pindah ke TikTok Shop. Sementara di Lazada turun 45% dan di gerai offline anjlok 38%.

Namun, GMV Shopee memang masih di atas TikTok Shop. Sepanjang 2022 GMV Shopee di Asia Tenggara mencapai US$ 73,5 miliar. Sementara itu, Lazada meraup GMV US$ 21 miliar.

GMV TikTok tercatat melampaui US$4,4 miliar atau melebihi Rp 68 triliun. Angka itu sudah melampaui Lazada, padahal TikTok baru dua tahun hadir.

Analis Blue Lotus Research Institute Shawn Yang memaparkan laporan terbaru Sea Group yang merupakan induk dari Shopee.

Katanya, pertumbuhan TikTok di Asia Tenggara terus berlangsung positif. Dia memprediksi bahwa pada tahun 2023, GMV TikTok akan mencapai 20 persen dari GMV Shopee. TikTok juga menargetkan GMV sebesar USD 12 miliar pada 2023 di pasar Asia Tenggara.

Ironisnya, di tengah tingginya popularitas TikTok Shop, pola jualan social commerce ala TikTok itu ternyata belum ada payung hukumnya di Indonesia.

Untuk diketahui, transaksi perdagangan online sudah di atur pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).

Namun saat ini aturan tersebut baru mengatur perdagangan di e-commerce, bukan social commerce. Kemenkop dan UKM telah melakukan pembahasan secara intensif dengan Kemendag, termasuk kementerian dan lembaga terkait.

Menteri Kemenkop dan UKM Teten Masduki, mengaku sudah mengirimkan secara resmi draft perubahan revisi Permendag Nomor 50/2020 ini kepada Kemendag.

Revisi terhadap PP tersebut bertujuan memberikan perlindungan kepada konsumen terkait keamanan transaksi dan data, kemudian memberikan perlindungan bagi pelaku usaha dan produsen lokal.

Revisi Permendag Nomor 50/2020 itu juga bakal memberikan persaingan usaha yang sehat antar-pemain perdagangan daring, agar level playing field-nya sama.

TikTok Shop Mengancam Bisnis UMKM di Indonesia

Selain menyoroti ketiadaan payung hukum social commerce, Menkop & UMKM Teten Masduki mengungkapkan kekhawatiran pemerintah Indonesia terkait Project S TikTok Shop yang bisa merugikan UMKM.

Dengan tegas, Teten menilai Project S TikTok Shop ala TikTok bakal mengancam UMKM. Kecurigaan tentang Project S TikTok Shop ini pertama kali mencuat di Inggris.

Inggris mencurigai Project S TikTok Shop ini menjadi cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris-manis di suatu negara

Setelah mengetahui produk yang laris-manis maka melalui Project S TikTok Shop, maka China akan memproduksi barang tersebut.

Teten Masduki menegaskan, untuk mengatasi ancaman ini sudah seharusnya perlu regulasi, salah satunya revisi Permendag Nomor 50/2020.

Apalagi, revisi aturan ini sudah menjadi wacana sejak tahun lalu, namun hingga kini masih belum terbit. Padahal, ada banyak UMKM yang bisnisnya mulai redup lantaran belum muncul juga kebijakan terbaru tentang PPSME.

“Ini sudah sangat urgent. Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisinya. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan,” ujar Teten di Jakarta, Kamis (6/7/2023).

Baca Juga: The Fall & The Rise: TikTok Meraksasa, Vine Tinggal Nama

Dengan revisi ini, industri dalam negeri akan terlindungi, termasuk e-commerce dalam negeri, UMKM, dan juga konsumen.

Pasalnya, dengan revisi ini harga produk impor pastinya tidak akan memukul harga milik UMKM. Permendag 50 ini tentunya sangat perlu sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce.

Nantinya perlu juga aturan lebih detail mengenai pengaturan white labelling sehingga tidak merugikan UMKM di Indonesia.

Kebijakan ini bisa membatasi produk-produk impor masuk ke pasar digital Tanah Air. Terlebih, produk asing yang TikTok Shop dan e-commerce lain jajakan juga sudah banyak oleh industri dalam negeri produksi. Sehingga, Indonesia tak perlu lagi mengimpor produk tersebut.

“Kita bukan ingin menutup pasar Indonesia untuk produk asing,” kata Teten.

“Tapi, kita ingin produk asing atau impor mengikuti aturan main yang sama dengan produk dalam negeri dan UMKM,” pungkasnya.

Tak hanya Teten, Menkominfo Budi Arie Setiadi juga menyebutkan, bahwa polemik yang berkembang saat ini, khususnya aturan menyangkut social commerce, akan dibahas bersama dengan kementerian terkait lainnya, seperti Kementerian Perdagangan.

“Komifo tidak bisa mengambil kebijakan sendiri. Banyak dinamika ini bukan diskusi satu hari. Kita paham ini teknologi baru digitalisasi, tentu banyak masalah nanti kita kaji cepat, kita eksekusi,” ujarnya, saat sesi konferensi pers dengan awak media di kantor Kemenkominfo, Senin (17/7/2023).

Baca Juga: TikTok Bantah Project S Bakal Rilis di Indonesia, Alasannya Belum Jelas

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU