Selular.ID – Lewat payung UU Cipta Kerja No. 11/2020, pemerintah resmi menyutik mati TV analog. Meski kebijakan tersebut sempat ditentang oleh bos MNC Hary Tanusudibyo, pemerintah tak menggubris.
Pasalnya, dari sisi regulasi sudah jelas. Bahkan jauh sebelum pelaksanaan UU Cipta Kerja, kebijakan ASO sudah lebih dulu dikeluarkan oleh pemerintah. Terhitung sudah dua dekade lalu.
Persisnya di era Menkominfo sebelumnya, Tifatul Sembiring (2009 – 2014) dan coba dilanjutkan oleh Rudiantara (2014 – 2019).
Sayangnya, upaya peralihan frekuensi 700 Mhz untuk lebih banyak dimanfaatkan, tidak hanya penyiaran namun juga informasi kebencanaan dan layanan internet tak semudah yang dibayangkan.
Tak heran jika Indonesia sudah sangat terlambat dalam melakukan peralihan TV analog ke digital. Bahkan di lingkup ASEAN, hanya Indonesia dan Timor Leste yang belum melakukan migrasi.
Baca Juga: Tutupnya Net1 Menambah Deretan Tumbangnya Operator di Indonesia
Selama puluhan tahun, spektrum 700 Mhz dikuasai para pengelola stasiun TV analog. Tentu sudah banyak keuntungan yang diraih.
Bahkan sejumlah pemilik TV kini sudah merambah bisnis kemana-mana. Menjadikan mereka bagian dari orang terkaya di Indonesia.
Suka tidak suka, jaringan TV sudah berubah menjadi bagian dari konglomerasi karena pemusatan sumber daya ekonomi dan frekwensi pada segelintir pihak.
Namun, kini teknologi berkembang, terutama teknologi internet pita lebar (broadband), sehingga teknologi penyiaran juga perlu menyesuaikan.
Dengan berkembangnya teknologi digital, TV analog juga sudah ketinggalan zaman. Apalagi dari sisi penguasaan spektrum, analog terbilang boros.
Baca Juga: Pendapatan Data dan Layanan Digital XL Axiata Naik, Begitu Pula Utang Perusahaan
Sekedar diketahui, teknologi penyiaran analog, menghabiskan rentang frekuensi 328 Mhz yang ada di pita 700 Mhz.
Karena menggunakan teknologi jadul, analog dengan penyiarannya menghabiskan seluruh lajur. Berkembangnya teknologi penyiaran berbasis digital, memungkinkan pemanfaatan frekuensi menjadi lebih efisien.
Apalagi sekarang frekuensi tersebut sangat diperlukan untuk layanan pita lebar internet, sesuai dengan perkembangan ekonomi dunia.
Sehingga migrasi ke siaran TV digital pun menjadi salah satu langkah strategis pemerintah melakukan efisiensi frekuensi.
Baca Juga: Kominfo Cabut Izin Net1 Indonesia, Selanjutnya Ini Dia Kewajiban yang Perlu Dipenuhi
Untuk diketahui, spektrum 700 MHz ini memiliki sumber daya pita seluas 328 MHz. Saat siaran TV analog dimatikan dan beralih ke digital, terdapat sisa sumber daya pita (digital dividend) seluas 112 MHz yang bisa dimanfaatkan untuk internet broadband berbasis selular, termasuk 4G LTE dan 5G.
Nah, digital dividend sebesar 112 MHz di frekuensi 700 MHz itulah yang nantinya dapat digunakan untuk aplikasi pendidikan dan kebencanaan, serta jaringan teknologi selular berbasis 4G dan 5G.
Dengan dimulainya program ASO secara bertahap, pemerintah berharap ekonomi berbasis digital akan semakin berkembang.
Baca Juga: Soal Tunggakan BHP, Kominfo Diminta Taat Terhadap Aturan
Menkominfo Johny G. Plate menyatakan migrasi siaran TV analog ke TV digital akan berdampak terhadap peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Dampak ini timbul sebagai rambatan ekonomi hasil efisiensi pasca-refarming digital 112 MHz dalam spektrum frekuensi 700 MHz.
“Menurut Boston Consulting Group, dampak ke PNBP pada kisaran Rp 7 triliun per tahun atau lebih dari 70 triliun, sekitar 77 triliun per 10 tahun masa lisensi,” ujar Johnny dalam tayangan YouTube, Kamis, 3 November 2022.
Persoalan BHP frekwensi memang juga menjadi salah satu faktor mendasar dalam program migrasi TV analog ke digital.
Pasalnya, BHP yang dibayarkan oleh operator selular dengan pengelola jaringan televisi analog bagai bumi dengan langit.
Saat ini BHP frekuensi televisi analog Indonesia paling rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, hanya 0,3 persen, disebabkan penyamaan pengenaan BHP antara lembaga penyiaran swasta (LPS) pendapatan besar dengan LPS pendapatan kecil.
Baca Juga: Pengamat: Peningkatan BHP Frekuensi dapat Kurangi Defisit APBN
Untuk diketahui, BHP frekuensi televisi Analog belum pernah naik lagi sejak 1989, atau 33 tahun lalu. BHP frekuensi yang dibayar para pengelolaTV swasta itu, bertahan di angka Rp 50 juta per stasiun.
Bandingkan dengan operator selular yang membayar BHP frekwensi dengan harga mahal. Tengok saja harga penawaran Telkomsel saat memenangkan satu blok pita frekuensi 2,1 GHz yang ditetapkan oleh Kominfo pekan lalu.
Demi mengalahkan XL Axiata yang menawar 540 miliar, Telkomsel rela merogoh kocek hingga Rp 605 miliar.
Baca Juga: Covid-19 Merebak, BAKTI Tetap Tagih BHP USO ke Operator
Nah, demi kesetaraan antar pelaku usaha, ke depan sudah waktunya pemerintah melakukan penyamaan biaya BHP frekuensi pengelola stasiun TV dengan BHP frekuensi telekomunikasi.