Kini Axiata Investments (Indonesia) Sdn Bhd (AII), anak perusahaan yang secara tidak langsung dimiliki Axiata, dan XL Axiata memegang masing-masing sebesar 46,03% dan 20,00% dari gabungan keseluruhan saham Link Net sebesar 66,03% yang sebelumnya dimiliki oleh Asia Link Dewa (36,99%) dan First Media (29,04%), anak perusahaan Grup Lippo.
Pasca transaksi, utang kotor XL Axiata meningkat 26% YoY menjadi Rp 13,24 triliun, dengan angka gearing ratio net debt to EBITDA (termasuk finance lease) sebesar 2,8x.
Utang bersih meningkat 39% YoY menjadi Rp 11,23 triliun. Ke depan, XL Axiata berfokus untuk melakukan pengurangan hutang.
Sejauh ini XL Axiata tidak memiliki utang berdenominasi USD. Sebesar 86% dari pinjaman yang ada saat ini berbunga mengambang (floating) dan pembayarannya masih dapat dikelola hingga dua tahun ke depan.
Begitu pun dengan indikator lain, yaitu Free Cash Flow (FCF) berada pada tingkat yang sehat, meningkat sebesar 62,8%, ke angka Rp 3,12 triliun.
Kinerja XL Axiata Sepanjang Lima Tahun Terakhir
Kinerja XL Axiata yang terbilang cukup baik, menunjukkan bahwa perusahaan tetap bisa bertumbuh, meski industri selular dihadapkan banyak tantangan.
Seperti kita ketahui, sejak memasuki era internet cepat pada akhir 2014, industri selular kini semakin bergerak pada layanan yang disebut sebagai “beyond telco”.
Seiring dengan pertumbuhan smartphone, layanan dasar atau basic service (voice dan SMS) yang sebelumnya mendominasi, saat ini semakin menurun digantikan layanan data dan digital service.
Perubahan yang massif itu, tentu menjadi peluang bagi operator meraih pendapatan baru. Namun sekaligus memunculkan tantangan yang tak ringan.
Pasalnya, meski konsumsi data semakin melonjak, pada dasarnya operator masih harus mensubsidi pendapatan dari basic service. Sehingga sulit bagi operator mempertahankan profitabilitas.
Baca Juga : XL Axiata Raih 5 Penghargaan di Selular Award 2022, Ini Daftarnya
Persoalan bertambah pelik, akibat ketatnya persaingan antar operator, tarif data di Indonesia terbilang salah satu yang paling murah di dunia.
Berdasarkan laporan cable.co.uk, rata-rata harga paket internet mobile di Indonesia US$ 0,42 per gigabyte (GB) atau sekitar Rp 6.000. Tarif sebesar itu menempatkan Indonesia di urutan ke-12 termurah di dunia.
Di sisi lain, layanan OTT (over the top) terutama milik asing semakin diminati masyarakat. Beberapa OTT, seperti WhatsApp, Line, dan Instagram, bahkan mampu mendisrupsi layanan milik operator yang selama ini menjadi tambang uang, khususnya voice, SMS dan video.
Menurunnya pendapatan dari basic service, membuat operator harus berjibaku memperoleh pendapatan lain, terutama dari konten dan aplikasi. Pasalnya, jika hanya mengandalkan pendapatan dari akses data, operator hanya akan menjadi ‘dump pipe’.
Dengan pertumbuhan yang tak lagi mewah dibandingkan dekade sebelumnya, XL Axiata berusaha mempertahankan posisi sebagai salah satu pilihan utama masyarakat Indonesia.
Faktanya, di tengah ketatnya persaingan antar operator dan OTT yang menggerus revenue dari basic service, kinerja XL Axiata terbilang cukup baik, meski naik turun. Seperti tercermin dalam pencapaian yang diraih perusahaan sepanjang lima tahun terakhir (2017 – 2021).
Pada 2017, XL tercatat memperoleh laba bersih Rp 375 miliar. Angka tersebut turun jika melihat capaian laba bersih pada 2016, yang mencapai Rp 376 miliar.
Meski demikian, XL mengalami peningkatan pendapatan 7% menjadi Rp 22,9 triliun, dibanding tahun sebelumnya, yang mencapai Rp 21,4 triliun.
Pada 2018, XL mencatat pendapatan sebesar Rp 23 triliun atau hanya tumbuh 0,4% dibandingkan 2017 sebesar Rp22,901 triliun.
Di tahun ini, XL Axiata mencatat kerugian sebesar Rp 3,3 triliun. Berbanding terbalik dengan 2017 yang untung Rp 376 miliar. Namun lonjakan kerugian itu lebih karena depresiasi penonaktifan jaringan 2G, terutama berasal dari beban penyusutan dan amortisasi yang mencapai Rp 11,62 triliun.
Di sisi lain, akibat kompetisi yang ketat, operator selular berada dalam tekanan. Akibat perang tarif data internet dan dan revenue dari basic service yang mulai digerus pemain OTT, untuk pertama kali industri strategis ini tumbuh minus sebesar 5% pada 2018.
Berbeda dengan 2018 yang terbilang boncos, pada 2019 XL Axiata mampu membalikkan keadaan. Sepanjang 2019, perusahaan yang berkantor di Jalan Rasuna Said, Jakarta itu, meraih pendapatan terbesar sepanjang sejarah perusahaan, yaitu Rp 25,15 triliun.
Angka ini naik 9% dibandingkan tahun sebelumnya karena didorong peningkatan pendapatan layanan sebesar 15% secara tahunan (yoy).
Dengan revenue yang meningkat, XL Axiata berhasil meraih laba bersih sebesar Rp 713 miliar dibandingkan tahun sebelumnya yang mengalami kerugian sangat besar, Rp 3,3 triliun.
Sayangnya pencapaian yang gemilang di 2019 tak mampu dipertahankan perusahaan pada tahun berikutnya. Seiring dengan merebaknya pandemi covid-19, kinerja XL Axiata juga terpangkas.
Jika pada 2019 XL mampu membukukan pendapatan Rp 25,13 triliun, namun sepanjang 2020 hanya naik tipis sebesar 3,48% menjadi senilai Rp 26,01 triliun.
Alhasil, Nilai laba bersih perusahaan sepanjang 2020 turun signifikan sebesar 47,85% ke Rp 372 miliar. Bandingkan dengan laba bersih di periode yang sama 2019 senilai Rp 713 miliar.
Bagaimana dengan kinerja di 2021? Bukan XL Axiata jika tak mampu melakukan rebound. Di tengah iklim kompetisi yang sangat ketat dan kondisi ekonomi yang masih terdampak pandemi, perusahaan mampu mendulang pendapatan sebesar Rp26,8 triliun dengan laba bersih sebesar Rp1,29 triliun sepanjang 2021.
Pendapatan XL di tahun itu meningkat 2,8% dari Rp26,01 triliun pada 2020. Meski pendapatan naik tipis, laba bersih justru melonjak drastis hingga 246,5% dari Rp372 miliar pada 2020.
Dengan banyaknya pemain, industri selular Indonesia memang sangat kompetitif. Alhasil, tak sedikit operator yang collapse karena kinerja keuangan yang jeblok. Seperti Axis, Esia, Bolt, dan Net1.
Meski tetap survive dan mampu menyodok posisi the big three, kinerja XL Axiata tidak selalu mulus. Sepanjang sejarah berdirinya, XL pernah mengalami kerugian Rp 891 miliar pada 2014 pasca akuisisi terhadap Axis.
Saat itu demi menguasai Axis, XL rela mengeluarkan mahar senilai 865 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,8 triliun. Transaksi itu mengakibatkan peningkatan biaya operasi dan investasi perusahaan sebagai akibat dari beban biaya frekuensi yang harus ditanggung XL, sehingga berujung pada kerugian yang cukup besar.
Sementara dalam lima tahun terakhir XL Axiata juga mencatatkan rugi bersih Rp3,3 triliun pada 2018, imbas depresiasi jaringan 2G.
Meski pertumbuhan tak lagi mewah, namun pendapatan XL Axiata terus meningkat setiap tahunnya. Dari Rp 22,9 triliun pada 2017 menjadi Rp 26,8 triliun pada 2021.
Pencapaian tersebut tentunya merupakan buah dari meningkatnya kualitas jaringan dan layanan yang terus dibangun XL Axiata. Sesuai visi sang CEO Dian Siswarini 3R: Revamp, Rise, Reinvent yang diperkenalkan pertama kali pada April 2015.
Revamp, bertujuan mengubah core bisnis dari volume (price), menjadi value. Sehingga XL tidak hanya bertempur di price, tetapi juga memberikan service kepada pelanggan.
Rise adalah menggunakan strategi dual brand untuk memberikan layanan data kepada konsumen yang dibidik perusahaan. Sedangkan Reinvent bertujuan mencari inovasi bisnis yang berbeda dari yang sebelumnya.
Pada akhirnya, berbekal empat modal utama, yaitu jaringan yang mumpuni, coverage yang meluas, inovasi beragam layanan baru, dan tarif yang kompetitif, semakin membuat nyaman pelanggan saat mengakses berbagai layanan digital telco (dico) yang menjadi tuntutan pelanggan saat ini.
Khususnya layanan data yang kini telah menjadi kebiasaan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Itulah kunci XL Axiata tetap bertahan dan memenangkan persaingan di industri selular nasional.
Selamat ultah XL Axiata ke-26. Semoga semakin berjaya dan dicintai para pelanggannya. Terus menjadi pejuang pemerataan broadband internet di seluruh Indonesia.