Minggu, 3 Agustus 2025
Selular.ID -

Anomali Xiaomi, Bisa Bertahan Berapa Lama?

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Jakarta, Selular.ID – Tak berlebihan jika Xiaomi adalah brand yang fenomenal. Tak pernah beriklan, namun hebatnya bisa mendulang penjualan yang signifikan. Bandingkan dengan langkah pemain lain yang harus mengeluarkan dana promosi gila-gilaan demi merebut secuil pangsa pasar.

Tengok saja upaya Vivo yang rela menggelontorkan dana jumbo untuk kampanye promosi di saluran TV nasional belum lama ini. Hanya untuk mempopulerkan varian terbarunya, V9 dan V9+, Vivo konon harus merogoh kocek hingga puluhan milyar rupiah agar program khusus yang mereka buat selama lebih kurang tiga jam dapat ditayangkan di 12 stasiun TV, termasuk TVRI.

Pendekatan yang dilakukan Vivo itu, tentu bertolak belakang dengan gaya Xiaomi. Alih-alih beriklan di berbagai media atau menggunakan jasa brand ambassador, Xiaomi justru memilih menggunakan metode flash sale di jaringan e-commerce. Dengan memilih e-commerce yang tepat, Xiaomi bisa menjual produknya dengan cepat, mudah, sekaligus murah.

Selain sebagai medium penjualan yang efektif, flash sale ini juga bisa menjadi sarana iklan untuk memperkenalkan produknya. Apalagi, dalam banyak kesempatan, flash sale yang mereka gelar di sejumlah mitra e-commerce seperti Lazada dan Shoppe, konsumen terlihat sangat antusias.

Saking hebohnya, ribuan unit diklaim bisa habis hanya dalam hitungan menit. Hal ini tentu saja membuat publik semakin penasaran. Sehingga dampaknya berujung pada word of mouth yang semakin menguntungkan Xiaomi.

Namun tentu saja program flash sale tidak berarti apa-apa jika Xiaomi tak punya persepsi yang bagus di benak konsumen. Dalam hal ini, Xiaomi telah diuntungkan dengan positioning yang sudah tecipta sangat kuat, yakni smartphone berharga murah namun mengusung spesifikasi mewah

Saat ini smartphone murah di pasaran terbilang cukup banyak. Bahkan harga smartphone lokal bisa jauh lebih murah dari Xiaomi. Namun yang membedakan adalah Xiaomi mengusung berbagai fitur setara smartphone mahal dari vendor lain, namun dengan harga yang bisa setengah di bawahnya.

Kedua strategi di atas dibarengi dengan kekuatan di tingkat grass root. Sejak awal hadir di Indonesia pada 2014, Xiaomi sudah jeli dalam membangun komunitas sebagai senjata untuk bersaing dengan vendor-vendor lainnya.

Berbagai program digelar termasuk kopdar yang rutin digelar. Dalam peluncuran smartphone baru Xiaomi, para MiFans ini pun kerap turut diundang. Uniknya, mereka rela datang bahkan dari tempat yang terbilang jauh, dengan modal duit sendiri.

Untuk menarik lebih banyak MiFans, Xiaomi berusaha memanjakan komunitas penggunanya. Salah satu cara adalah dengan mengizinkan penggunanya nge-root smartphone mereka tanpa harus khawatir garansi hilang.

Tak cuma itu saja, Xiaomi juga rutin memberikan update. Jika ada masalah, semua keluhan penggunanya akan dipantau langsung di forum MIUI yang diawasi langsung oleh pihak Xiaomi. Alhasil, banyak blogger yang dengan suka rela menulis tentang Xiaomi tanpa harus dibayar.

Dengan strategi itu, semakin hari, anggota Mi Fans di Indonesia terus bertambah. Hingga akhir 2017, jumlahnya telah menembus 300 ribu orang.

Pencapaian ini diumumkan akun resmi MiComm Indonesia di aplikasi Mi Community. Jumlah anggota ini bertambah sekitar 30 ribu dalam kurun waktu sepekan setelah Redmi 5A diluncurkan pada 20 Desember 2017.

Saat itu, Head of Xiaomi South Pacific Region and Country Manager Xiaomi Indonesia Steven Shi mengatakan jumlah anggota Mi Community Indonesia mencapai 247 ribu anggota.

“Kini kita punya lebih dari 300.000 teman. Jumlah teman kita bakalan bertambah terus, tiap menit, tiap hari, mulai dari sekarang. Dari lubuk hati yang paling dalam, kami pengen ucapkan makasih banyak,” tulis MiComm Indonesia dalam pengumumannya.

Mirip Blackberry

Keberhasilan yang kini diraih Xiaomi, sesungguhnya juga pernah dialami oleh Blackberry. Smartphone besutan RIM (Research in Motion), Kanada, mulai memikat pengguna di Indonesia sekitar tahun 2006 dan mencapai puncaknya sampai beberapa tahun kemudian. BlackBerry jadi smartphone terpopuler di sini, siapa yang punya merasa bangga.

Di Indonesia, BlackBerry terbilang anomali. Pasalnya, handset ini sebenarnya ditujukan untuk kalangan pebisnis, namun di Indonesia kala itu semua kalangan meminatinya. Dari ibu rumah tangga sampai anak-anak, terutama terpikat dengan layanan BlackBerry Messenger.

Wajar saja, saat itu BBM belum ada saingannya. WhatsApp dan layanan sejenisnya belum begitu dikenal. Faktor itu, selain menenteng BlackBerry terlihat bergengsi, membuat ponsel BlackBerry menjadi dambaan. Artis artis pun banyak menggunakannya.

Tak dapat dipungkiri, meski ketika itu Nokia masih menjadi market leader, namun Blackberry hadir di waktu yang tepat. Di mana segmen penggunan layanan data memang semakin membesar seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi internet berbasis mobile broadband. Apalagi masyarakat Indonesia dari dulu sudah terkenal sebagai early adopter.

Bahkan bagi sebagian kalangan, ponsel bukan lagi sekedar fungsi tapi sudah menjadi fashion statement yang menunjang penampilan sekaligus kelas sosial seseorang.

Tingginya animo membuat pamor Blackberry melesat cepat. Blackberry menikmati betul banjir publisitas dari hasil word of mouth. Sehingga, sejak kehadirannya pada 2006 silam di Indonesia, nyaris RIM tak mengeluarkan dana promosi sepeser pun.

Bahkan di masa jayanya, yakni 2010, market share Blackberry mencapai 43 persen. Pencapaian yang sungguh luar biasa, mengingat RIM pelit berpromosi. Perusahaan juga tidak membangun pabrik di Indonesia, padahal sudah berulang kali didesak pemerintah Indonesia.

Namun, manisnya pasar yang dikuasai Blackberry bisa disebut seumur jagung. Serbuan smartphone berbasis Android pada awal 2010-an, terus menggerogoti pangsa pasar yang sebelumnya dikuasai mereka kuasai.

Harga mahal yang dipatok oleh Blackberry namun minim inovasi, membuat konsumen semakin cerdas dan akhirnya memilih smartphone Android yang dinilai lebih valuable.

Alhasil, selama 2013 lalu, BlackBerry hanya memiliki pangsa pasar sebesar 14 persen saja. Sebaliknya, menurut IDC, pasar smartphone Android justru makin laris manis di Indonesia dan memperoleh pangsa pasar hingga 81 persen.

Untuk menahan kejatuhan itu. RIM sesungguhnya tak tinggal diam. Untuk mempopulerkan varian Blackberry Torch yang diluncurkan pada November 2010, RIM akhirnya memutuskan untuk beriklan di media massa.

Sayangnya, momentum pasar telah bergerak ke Android. Fitur yang lebih canggih, pilihan brand smartphone yang lebih banyak, serta harganya yang lebih terjangkau, membuat pamor Blackberry menguap dengan cepat.

Baca juga: Lagi, Xiaomi Rajai Pasar India

Tentu saja kejatuhan Blackberry menjadi peringatan bagi brand lain, termasuk Xiaomi yang tengah on fire. Popularitas dan penjualan bisa datang dengan cepat jika momentum pasar telah terbentuk. Namun, menjaga kepercayaan dan loyalitas konsumen, jauh lebih penting untuk bisa bertahan di era persaingan yang semakin ketat.

Bagaimana pun, sejauh ini Xiaomi telah membuktikan, mereka bisa eksis dengan strategi yang bikin kompetitor geleng-geleng kepala. Sampai kapan fenonema Xiaomi ini bisa bertahan? Seperti halnya Blackberry, waktu juga yang kelak menjawabnya.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU