Jakarta, Selular.ID – Dengan upaya konsolidasi yang belum menemukan tanda-tanda kepastian, dapat dipastikan bahwa rencana merger dan akusisi operator akan tetap menjadi salah satu isu panas di sepanjang 2018. Publik pun menunggu apakah keberanian XL mengakusisi Axis beberapa tahun lalu, dapat terulang kembali di tahun ini.
Meski belum sepenuhnya terkonfirmasi, penelusuran yang dilakukan Selular dan rumors yang berkembang di Pasar Modal, menyebutkan terdapat potensi terjadinya mega merger dan akuisisi di tahun ini. Tak tanggung-tanggung, aksi korporasi tersebut melibatkan tiga operator sekaligus, yakni antara Indosat Ooredoo, Hutchinson Tri Indonesia dan Smartfren Telecom.
Jika mega merger dapat terlaksana, maka hanya akan ada tiga operator besar di Indonesia. Hal ini sesuai yang diinginkan oleh Menkominfo Rudiantara. Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Rudiantara mengakui, jumlah operator yang terlalu banyak membuat industri selular, seolah tak lagi prospektif.
Menteri yang akrab dipanggil Chief RA itu, menegaskan untuk kembali sehat operator sebaiknya segera mempercepat langkah konsolidasi. Semakin sedikitnya pemain, maka upaya pemulihan akan jauh lebih cepat. Saat ini, terdapat 11 operator selular yang mengantongi izin. Dia berharap, nantinya jumlah operator menyusut drastis.
“Harapan saya ada operator yang mau konsolidasi dan nantinya tersisa tiga atau empat operator selular,” jelas Chief RA , dalam sebuah seminar di Jakarta, (26/7/2017).
Rudiantara juga menyebutkan bahwa penciutan jumlah operator akan membuat alokasi dan penggunaan frekwensi menjadi maksimal. Sehingga diharapkan dapat mendorong tumbuhnya ekonomi broandband ke seluruh pelosok Indonesia. Ia pun tak segan untuk mencabut izin operator apabila tak melakukan konsolidasi.
Bila terwujud, penggabungan ketiga operator tentu menjadi tonggak penting bagi industri selular Indonesia. Pasalnya sejak beberapa tahun terakhir, industri strategis ini tumbuh stagnan sebagai imbas dari perang tarif, yang merebak pada 2007 – 2012.
(Baca juga: Menerka Arah Industri Telko di 2018)
Meski demikian, realisasi merger antar operator tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi melibatkan tiga operator sekaligus dari tiga investor berbeda. Pasalnya, hingga saat ini aturan mengenai merger dan akuisisi belum juga dikeluarkan oleh pemerintah, terutama menyangkut penguasaan frekwensi.
“Langkah konsolidasi operator menjadi 3 atau 4 saja akan menyehatkan industri telko di Indonesia. Tapi sebelum itu perlu adanya aturan mengenai frekuensi,” tegas Dian Siswarini, Dirut XL Axiata dalam satu kesempatan.
Yang dimaksud dengan pengaturan itu, salah satunya adalah apakah frekuensi akan tetap menjadi milik dari operator yang melakukan langkah konsolidasi atau tidak? Pasalnya, frekuensi ini adalah aset yang sangat besar nilainya. Jika ditiadakan, maka hitungan dalam negosiasi juga akan berbeda total.
“Bisa jadi, aturan frekuensi yang belum jelas ini menjadi hambatan bagi para operator untuk melakukan konsolidasi. Ada ketakutan, ketika sudah mengeluarkan uang banyak ternyata frekuensi tidak masuk dalam perjanjian karena harus dikembalikan ke pemerintah,” tambah Dian.
Mengacu pada akuisisi XL terhadap Axis yang rampung pada 2012, XL tak sepenuhnya menikmati frekwensi yang sebelumnya dimiliki Axis.
Operator yang identik dengan warna biru itu harus mengembalikan spektrum selebar 10 MHz di frekuensi 2.100 Mhz. Pasca merger, XL hanya menguasai 22,5 Mhz di rentang spektrum 900 MHz dan 1.800 MHz (2G), serta 15 Mhz di 2.100 MHz (3G).
Pengembalian frekwensi Axis tak lepas dari isu yang berkembang saat itu. Kalangan DPR menilai, akuisisi dan merger di industri adalah hal biasa dan telah diatur dalam UU No 40/2000 tentang Perseroan Terbatas.
Namun menyangkut industri telekomunikasi ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak. Yakni merger hanya untuk asset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
Tidak termasuk spektrum frekuensinya, karena frekuensi bukan merupakan asset perusahaan namun berupa Hak Pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.
Uniknya, dari sisi peraturan yang membawahinya terdapat ambigu. Dalam, PP No. 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri.
Inilah yang menyebabkan Menkominfo (saat itu) Tifatul Sembiring menyetujui langkah akusisi. Meski akhirnya harus berkompromi dengan kalangan yang menentang. Tak ingin polemik terus-terusan berlanjut, Tifatul meminta XL mengembalikan sebagian frekuensi eks Axis.