Sabtu, 2 Agustus 2025
Selular.ID -

Catatan Akhir 2017: Asus, The Last Man Standing

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Asus Zenfone 4 max pro 3Jakarta, Selular.ID – Tak berlebihan jika 2017 adalah tahunnya smartphone China. Berkat agresifitas sejumlah pemain utama, seperti Oppo, Lenovo dan Vivo, lembaga riset terkemuka IDC mencatat, pangsa pasar smartphone asal China terus melonjak siginifikan.

Pada 2015 angkanya baru sebesar 12 persen, namun meningkat menjadi 23% sepanjang 2016, dan menjadi 31% di Q1- 2017. Bukan tak mungkin, pada tahun-tahun mendatang, market share smartphone China menembus 50%.

IDC mengungkapkan kunci sukses vendor asal China adalah marketing campaign yang massif. Rata-rata vendor asal di China ini melakukan banyak aktivitas marketing guna mendukung penjualan smartphone. Mereka menggunakan billboards, flyer, TV, bahkan menyewa brand ambassador. Dengan semua channel pemasaran, entah sudah berapa dana yang mereka gelontorkan dalam tiga tahun terakhir.

Strategi marketing tersebut, sejalan dengan langkah membangun jaringan retail yang menjangkau pasar di seluruh Indonesia. Lengkap dengan pemanfaatan ribuan promoter, yang membuat pesaing mau tak mau harus membangun standar yang sama, seperti yang dibangun Oppo.

Oppo dan Vivo memang menjadi brand yang patut diperhatikan dengan langkah jor-joran marketing, hingga layanan purna jual yang sukses membalik stigma negatif terhadap ponsel China selama ini.

Sebagai upaya mengubah stereotip, vendor China berani memposisikan produk di segmen menengah, dengan kisaran harga US$ 200 hingga US$ 400. Alhasil, pricing strategy ini mendorong permintaan pasar untuk kelas menengah meningkat drastis.

Dengan agresifitas itu, IDC menyebut bahwa Top 5 merk smartphone di kuartal kedua 2017 adalah : Samsung (32%), Oppo (24%), Advan (9%), Asus (7%), dan Xiaomi (3%). Pada kuartal sebelumnya (Q1-2017), Top 5 merk ponsel di Indonesia adalah Samsung, Oppo, Asus, Advan, dan Lenovo.

Layaknya zero sum game, keberhasilan vendor China melipat gandakan market share, membuat penguasaan pasar pemain lain menjadi tergerus. Tengok saja vendor lokal yang terus anjlok, dari 20% menjadi 17% di Q3-2017. Padahal tiga tahun lalu, dua pemain lokal, Andromax dan Evercoss, masih berada di posisi 2 dan 3.

Seperti halnya vendor lokal yang keteteran menghadapi serbuan smartphone China, vendor asal Taiwan juga menghadapi persoalan yang tak kalah pelik. Di sini Asus seolah-olah bertarung sendirian. Dua lainnya, HTC dan Acer, boleh dibilang telah hilang gaungnya dilibas pesaing.

Asus terbilang cukup popular di Indonesia. Lewat seri ZenFone 2 yang laris manis, vendor ini dengan cepat merangsek ke deretan elit vendor smartphone Tanah Air. Keberhasilan menjual lima juta unit smartphone pada 2015, bahkan mengantarkan Asus ke posisi puncak. Dengan pangsa pasar 21,9% di Q4-2015, Asus sukses mengungguli Samsung di tempat kedua (19,7%).

Tentu saja, ini adalah prestasi yang terbilang mengejutkan. Bahkan petinggi Asus pun terkaget-kaget dengan pencapaian tersebut, mengingat mereka bukan brand global yang tak seekspansif pemain lain, seperti Samsung, Apple dan vendor-vendor China.

Sayangnya, di tahun selanjutnya Asus kehilangan market share yang cukup besar. Catatan IDC, posisi Asus mulai anjlok pada kuartal ketiga 2016. Samsung kembali ke puncak (32,2%), disusul Oppo (16,7%), Asus (8,2%), Advan (6%), Andromax Smartfren dan Lenovo (5,7%), serta merek lainnya.

Keterlambatan Asus memenuhi aturan TKDN, dan penggunaan proses Atom milik Intel yang dituding cepat panas, menjadi penyebab utama penurunan itu.

Momentum Asus yang tak berlanjut tentu saja mengecewakan. Padahal perusahaan sebelumnya telah bertekad untuk mempertahankan posisi sebagai vendor smartphone nomor dua di Indonesia. Alih-alih mengejar Samsung dan Oppo, performa Asus malah semakin menurun. Puncaknya, pada kuartal ketiga 2017, Asus harus rela keluar dari posisi lima besar.

Kegagalan Asus mempertahankan posisi dalam dua tahun terakhir, tak pelak menjadi tantangan bagi brand yang juga produsen desktop dan notebook terkemuka ini.

Sesuai Prediksi

Anjloknya polularitas vendor asal Taiwan sebenarnya sudah diprediksi banyak kalangan. Menjelang akhir 2016, media ICT terkemuka, DigitTimes menurunkan laporan tentang performa trio vendor smartphone asal Taiwan. Asus, HTC dan Acer. Media tersebut memprediksi kinerja ketiga bakal “melempem”, karena tak bisa memenuhi target pengapalan produk sepanjang tahun tersebut.

DigitTimes memprediksi bahwa pengapalan smartphone Asus akan meleset dari target 25 juta unit menjadi hanya 20 juta unit saja. Penyebabnya disinyalir adalah penundaan pengiriman produk-produk seri ZenFone 3 yang baru, juga angka penjualan di wilayah China, Amerika Serikat, dan Eropa yang lebih rendah dari ekspektasi.

Asus diprediksi bakal makin sulit bersaing dengan brand lokal di China yang merupakan pasar terbesar mereka. Sementara persaingan harga di pasar besar lainnya, yakni India akan makin sengit pada 2017.

HTC, yang mengapalkan 18 juta smartphone pada 2015 lalu, diprediksi hanya mencatat pengapalan 10-12 juta unit pada 2016. Posisi HTC sendiri pada dilengserkan oleh Asus sebagai pabrikan smartphone terbesar di Taiwan.
Penurunan pangsa pasar HTC di China disinyalir akan mempersulit pabrikan itu dalam upaya melakukan “comeback” ke pasaran smartphone.

Nasib lebih buruk menimpa Acer. Vendor yang menjadi besar karena bisnis PC dan notebook ini, diestimasi hanya memenuhi setengah dari target pengapalan smartphone 2016, yakni sebanyak lima juta unit saja.

Di luar Asus, HTC dan Acer, sesungguhnya masih terdapat satu brand smartphone asal Taiwan, yakni Sharp. Seperti diketahui, pada pertengahan 2016, merek elektronik legendaris asal Jepang itu telah diakuisisi oleh Foxconn.

Ditangan pabrikan yang terkenal sebagai OEM iPhone itu, Sharp sudah mencoba peruntungan dengan memperkenalkan sejumlah varian smartphone pada 2017 di Indonesia. Namun tentu saja, kiprah Sharp hingga kini masih disebut sebagai anak bawang.

Ubah Orientasi Pasar

Dengan hanya Asus yang masih bertaji memperebutkan pasar smartphone, tak berlebihan jika vendor dengan tagline “In Search of Excellence” itu, menjadi yang tersisa.

Layaknya lakon dalam film “The Last Man Standing” yang dibintangi oleh Bruce Willis pada 2016, Asus menjadi pemain terakhir karena dua koleganya (kecuali Sharp), HTC dan Acer, terlihat hidup segan mati tak mau.

Dengan kompetisi yang semakin keras, mampukah Asus mempertahankan performa pada 2018? Apa strategi yang diusung Asus untuk bersaing dengan vendor-vendor lain, terutama China yang semakin agresif?

Untuk mencari jawabnya, saya menemui langsung Muhammad Firman, Head of Public Relation Asus Indonesia. Menurut pria ramah ini, Asus saat ini tengah menyusun ulang seluruh program komunikasi pemasaran.

Evaluasi menyeluruh dilakukan karena pasar dan peta persaingan juga sudah berubah cukup drastis dalam dua tahun terakhir. Terutama karena kebijakan TKDN hingga 30% yang wajib dilakukan oleh setiap vendor yang berbisnis di Indonesia. Selain juga perubahan selera pasar.

Firman mengakui, pencapaian Asus saat ini memang tidak semoncer tahun-tahun sebelumnya. Namun hal itu tak terlepas dari strategi perusahaan. Pada awal memasuki Indonesia empat tahun lalu, Asus memang fokus pada produk entry level.

“Dengan harga terjangkau namun mengusung spesifikasi kelas menengah, produk-produk Asus dengan cepat diterima pasar”, ujarnya.

Persepsi yang bagus sebagai produsen notebook dan desktop terkemuka, membuat Asus tak kesulitan menancapkan brand smartphone dengan kualitas terbaik di benak konsumen Indonesia, tambah Firman.

Namun sukses di pasar entry level tak membuat Asus berpuas diri. Pada 2016, Asus mulai menawarkan smartphone kelas menengah (mid end). Selain tak ingin terjebak sebagai produsen kelas low end, persoalan margin juga menjadi concern perusahaan.

“Dengan kata lain, Asus tak lagi melulu menempatkan volume sebagai prioritas utama, namun juga revenue untuk menopang keberlanjutan usaha”, kata Firman.

Keputusan Asus untuk menggarap pasar mid end juga sejalan dengan riset IDC. Lembaga riset terkemuka itu menyebutkan bahwa pasar smartphone kelas menengah di Indonesia juga terus meningkat. Dari 13% tahun lalu, porsi smartphone di kategori menengah kini berlipat ganda menjadi 28% dari total penjualan di Q2-2017.

Smartphone kategori menengah yang dimaksud IDC adalah perangkat dengan rentang harga antara USD200-USD400 atau kisaran Rp2,7 juta sampai Rp5,4 juta.

Firman menyebutkan, Asus bukan tipikal brand yang hit and run. Rekam jejak yang panjang sebagai produsen komputer, menunjukkan komitmen Asus untuk berbisnis di Indonesia. Begitu pun saat Asus terjun ke bisnis smartphone.

“Indonesia adalah pasar yang penting bagi Asus. Karenanya kami berkomitmen untuk terus melayani konsumen dengan produk-produk berkualitas. Hal itu ditunjang oleh jaringan penjualan yang luas dan layanan prima di seluruh Indonesia”, pungkas Firman.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU