Jakarta, Selular.ID – Ada yang berbeda dari laporan yang diungkapkan oleh IDC (International Data Corporation). Menurut lembaga riset yang berbasis di California itu, produsen ponsel nasional Advan, sukses menyodok ke posisi tiga, sebagai merk smartphone terbesar di Indonesia pada kuartal kedua 2017. Itu artinya, Advan berhasil menyodok satu peringkat dari nomor empat pada kuartal sebelumnya.
IDC menyebut bahwa Top 5 merk smartphone di kuartal kedua 2017 di Tanah Air adalah : Samsung (32%), Oppo (24%), Advan (9%), Asus (7%), dan Xiaomi (3%). Pada kuartal sebelumnya (Q1-2017), Top 5 merk ponsel di Indonesia adalah Samsung, Oppo, Asus, Advan, dan Lenovo.
Sukses Advan menggusur Asus dari posisi ketiga cukup di luar dugaan, mengingat keras persaingan antar vendor smartphone. Seperti diketahui, dengan permintaan 10 juta unit smartphone per tahun, membuat merek-merek baru bermunculan. Terutama vendor asal China yang semakin menancapkan hegemoninya di pasar Indonesia.
Berkat agresfitas sejumlah pemain utama, seperti Oppo, Lenovo dan Vivo, IDC mencatat, pangsa pasar smartphone asal China terus melonjak siginifikan. Pada 2015 angkanya baru sebesar 12 persen, namun meningkat menjadi 23% di tahun 2016, dan kini menjadi 31 persen di kuartal pertama 2017.
Di sisi lain, penguasaan market share brand lokal terus menunjukkan penurunan. Pertengahan Juli 2017, IDC melaporkan bahwa ponsel merk dalam negeri hanya menguasai 17 persen pada kuartal 1 2017. Angka itu turun dari 20 persen di kuartal sama 2016, dan dari 34 persen pada 2015.
Meski terus melorot, brand lokal tak surut bertarung di tengah gempuran vendor global. Saat ini Advan boleh dibilang menjadi raja ponsel lokal. Brand yang memiliki pabrik di Semarang ini, mampu meningkatkan penjualan, ditengah menurunnya permintaan terhadap merek ponsel merk lokal lainnya.
Data IDC pada Q2-2017 menyebutkan, di antara vendor lokal sendiri, Advan meninggalkan jauh rivalnya dengan perolehan market share 49 persen. Empat brand lainnya yang boleh dibilang masih bertaji adalah Evercoss, Andromax (Smartfren), Polytron, dan Mito. Beberapa brand lain timbul tenggelam, seperti Axioo, Asiafone, HiCore, SPC Mobile dan HiMax. Lainnya benar-benar tak lagi nongol alias khatam.
Padahal di era 2,5G alias periode 2007 – 2011, brand ponsel lokal sempat merajai pasar Indonesia. Siapa tak kenal Nexian yang disebut-sebut sebagai ponsel sejuta umat asli Indonesia. Popularitas Nexian bahkan mampu menyaingi Blackberry yang saat itu menjadi primadona. Sayangnya di era smartphone, kiprah Nexian harus terhenti.
Anti Klimaks TKDN
Keberhasilan Advan menyodok ke posisi tiga bisa dibilang mengejutkan. Itu menunjukkan vendor lokal mampu bertahan di tengah posisi yang semakin sulit. Apalagi sejauh ini tak ada sepotong pun kebijakan dari pemerintah yang benar-benar membela keberadaan vendor lokal.
Pemerintah memang telah menerapkan kebijakan TKDN. Lewat aturan ini, setiap vendor yang beroperasi di Indonesia wajib menerapkan kandungan lokal hingga 30% di awal 2017. Kelak kebijakan TKDN diharapkan dapat membuat Indonesia menjadi basis manufaktur perangkat komonukasi global, seperti ponsel dan tablet.
Selain target menjadi basis manufaktur ponsel di kawasan regional, melalui aturan TKDN, pemerintah ingin menggairahkan industri dalam negeri.
Itu sebabnya, diawal kemunculannya, vendor-vendor lokal menyambut baik munculnya kebijakan TKDN, karena vendor global tak lagi leluasa seperti sebelumnya. Aturan TKDN ini pun diharapkan dapat menjadi momentum bagi vendor lokal untuk bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Namun, lewat kekuatan financial yang sangat besar, aturan bermitra dengan EMS untuk menyediakan plant produksi atau memilih skema investasi, bukan perkara sulit para vendor global. Terutama vendor-vendor Tiongkok yang sangat bernafsu menjadi penguasa baru di Indonesia.
Pada akhirnya, hanya dalam tempo tiga tahun (2014 – 2017) vendor asal Tiongkok mampu memenuhi persyaratan yang diminta oleh pemeritah untuk menyediakan plan produksi maupun melalui skema investasi.
Berbeda dengan vendor lokal yang dengan keterbatasan finansialnya aturan ini seolah menjadi “kuburan” karena harus mengalokasikan budget mereka yang terbatas untuk pengadaan plant produksi atau membangun pusat R&D. Sedangkan di sisi lain mereka juga harus melakukan aktivitas marketing yang cukup gencar demi membangun ekuitas merek.
Mereka harus berjuang melawan aktivitas marketing sangat masif yang dilakukan oleh vendor asal Tiongkok. Dengan kekuatan finansialnya vendor asal negeri tirai bambu itu hadir di semua channel promosi yang ada. Ribuan promoter mereka siapkan di setiap gerai agar konsumen mau mencoba dan ujungnya beralih.
Sejatinya aturan TKDN sudah menuai hasilnya. Kementerian Perindustrian mencatat, industri telekomunikasi dan informatika (telematika) dalam negeri mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hingga tahun 2016, terdapat 23 electronics manufacturing service (EMS), 42 merek dan 37 pemilik merek baik global maupun nasional, dengan total nilai investasi sebesar Rp7 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 13 ribu orang.
Namun, pemerintah sepertinya lupa menyiapkan aturan tambahan untuk memberikan “proteksi” kepada vendor lokal untuk tetap bisa bertahan di tengah gempuran vendor asing. Sebagai contoh, hingga kini tak pernah kita dengar pemerintah mendorong terbentuknya hilirisasi industri komponen yang sangat penting dalam memasok kebutuhan perangkat smartphone. Begitupun dengan insentif fiskal yang terbilang minim.
Hal yang sangat berbeda dengan pemerintah China. Seperti diketahui, bangkit industri manufaktur China khususnya smartphone, tak lepas dari campur tangan pemerintah negeri Tirai Bambu itu.
Berbagai fasilitas diberikan, dari pengadaan tanah untuk pabrik, biaya energi yang relatif murah, akses terhadap industri jasa keuangan, keterhubungan dengan industri komponen, proteksi terhadap pasar dalam negeri, hingga insentif pajak yang sangat menarik.
Pada akhirnya, hanya dalam tempo 10 tahun, China tak hanya menjadi basis pasar, namun telah menjelma menjadi basis produksi yang memasok ratusan juta unit ponsel ke seluruh dunia. Riset Counterpoint menyebutkan hingga semester pertama 2017, empat vendor China masing-masing Huawei, Oppo, Vivo dan Xiaomi terus memepet Samsung yang masih nangkring sebagai vendor terbesar di dunia dan Apple di posisi ketiga.
Tentu saja kita bisa meniru langkah-langkah pemerintah China yang sukses membesarkan brand smartphone. Terpenting adalah political will. Keberpihakan terhadap brand lokal harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya memberikan karpet merah bagi brand global.
Jika peduli dengan nasib brand lokal, selayaknya pemerintah mengubah cara pendang dan memberikan perlindungan bagi vendor-vendor yang saat ini masih mampu bertahan.
Mumpung belum terlambat, mari kita dukung vendor lokal dan industri dalam negeri untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri.