Jakarta, Selular.ID – Akhir Oktober 2017, Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC), BRTI-nya Malaysia, mengambil keputusan penting. MCMC berencana mengalokasikan delapan blok 2x5MHz spektrum 700MHz untuk cakupan pita lebar bergerak.
Operator akan diundang untuk mengajukan penawaran setelah masa konsultasi ditutup pada 31 Oktober 2017, dengan tenggat waktu untuk aplikasi tender pada 2 Januari 2018. Dengan keputusan tersebut, spektrum 700 Mhz yang saat ini masih digunakan untuk layanan siaran TV analog, dipastikan akan beralih untuk layanan mobile broadband, mulai 1 Januari 2019.
MCMC menetapkan harga sebesar MYR215,5 juta ($ 50,9 juta) untuk setiap blok 2x5MHz, berdasarkan pembayaran sekaligus. Operator juga dapat memilih untuk membayar lebih dari 5, 10 atau 15 tahun tetapi untuk biaya lisensi yang lebih tinggi (misalnya MYR417 juta untuk periode 15 tahun). Selain itu, operator diharuskan membayar iuran tahunan atau BHP frekwensi sebesar MYR18,5 juta untuk konsesi 15 tahun.
Regulator mengatakan tender 700MHz akan dilakukan dengan proses beauty contest. Juga ditetapkan batas spektrum 2x20MHz, atau empat blok, per pemohon. Selebihnya, peserta lelang diwajibkan mengajukan rencana bisnis lima tahun ke depan.
Sebelumnya pada2016, MCMC telah mengalokasikan spektrum 900MHz dan 1,8 GHz ke Celcom dan Maxis, dan dua pemain kecil, Digi dan MVNO U-Mobile. Fitch Ratings mengatakan pada Februari 2016, ketika regulator mengumumkan rencana tersebut, realokasi akan meningkatkan level persaingan, karena dua operator terkecil di negeri Jiran itu akan mendapatkan akses ke spektrum hemat modal yang lebih besar. Hal ini akan membantu mereka untuk menantang dua pemimpin pasar, Celcom dan Maxis.
Bagaimana dengan Indonesia?
Jika Malaysia bergerak cepat memanfaatkan spektrum 700 Mhz untuk mendukung ekonomi broadband, di Indonesia realisasinya hingga kini masih belum jelas.
Peralihan frekuensi ini untuk dimanfaatkan layanan 4G tak semudah yang dibayangkan. Pasalnya, frekuensi 700 MHz saat ini masih diduduki oleh layanan TV analog. Karena menyangkut bisnis bernilai triliunan rupiah, para pengusaha televisi tak rela begitu saja untuk melepas frekuensi tersebut untuk kemudian hijrah ke layanan TV digital.
Sebelumnya di era pemerintahan SBY, Kominfo gencar mengkampanyekan program digitalisasi televisi, yang nantinya akan menghapus televisi analog. Program ini mulanya ditargetkan akan selesai paling cepat di akhir 2017.
Dari program digitalisasi televisi itu, kelak frekuensi 700 MHz akan memiliki digital dividen sebesar 112 MHz. Rentang pita sebesar 112 MHz di frekuensi 700 MHz itulah yang nantinya akan digunakan untuk aplikasi pendidikan dan kebencanaan, serta jaringan 4G LTE di Indonesia.
Namun sayangnya, rencana itu belum bisa terwujud. Pada 2015, Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Menteri Kominfo No.22/2011 tentang Penyelenggaraan Televisi Digital.
Seperti diketahui, spektrum 700 MHz kerap disebut sebagai frekuensi ‘emas’ lantaran menawarkan banyak keuntungan. Kajian GSMA menyimpulkan, terdapat berbagai keuntungan yang diperoleh jika operator memanfaatkan frekuensi itu.
Diantaranya mengurangi gangguan sinyal di daerah-daerah yang berbatasan dengan negara lain, menghemat biaya peralatan karena spesifikasi teknis peralatan yang dipakai sama dengan negara lain di kawasan, serta membuka potensi bisnis baru dan lapangan pekerjaan baru.
Frekuensi yang rendah seperti 700 MHz juga mampu menjangkau area lebih luas karena membutuhkan lebih sedikit menara pemancar dan menembus gedung-gedung di daerah perkotaan.
Dalam kajian The Boston Consulting Group, keterlambatan harmonisasi atau pemanfaatan frekuensi 700 MHz di Indonesia pada 2018 akan menyebabkan kerugian sebesar USD 16,9 miliar untuk GDP, USD4,7 miliar untuk pajak, 79.000 usaha dan 152.000 lowongan kerja.