Jakarta, Selular.ID – Internet of Things atau yang biasa disebut IoT adalah konsep sebuah kota cerdas yang dapat membantu masyarakat di dalamnya untuk berkembang serta dapat menunjang berbagai kegiatan. Pada dasarnya, kata “smart” yang digagasnya dapat dipastikan bahwa konsep ini akan mengusung pemanfaatan pada teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Internet of Things (IoT), atau bahkan dapat dikatakan juga Internet of Everything, sejatinya bakal menjadi suatu bagian inti untuk mewujudkan terciptanya sebuah kota pintar. Dalam menghadapi tantangan urban seperti pertumbuhan laju ekonomi, penciptaan lapangan kerja serta environmental sustanbility menuntut pemerintah untuk dapat menangkap infromasi tentang beragam sumber daya yang dimiliki oleh kota tersebut dan mengelolanya dengan baik. Maka, salah satu cara untuk mewujudkan semua hal itu pemerintah dapat menerapkan IoT ini.
Namun, menurut pakar IoT, ada tiga tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah jika ingin menerapkan konsep ini. Ketiga tantangan yang dikemukakan oleh para pakar IoT diantaranya kebutuhan data governance, kebutuhan konektivitas, dan kebutuhan standardisasi.
Kebutuhan Data Governance
Ketika sebuah kota sudah menjalankan konsep smart city, maka kota tersebut akan menghasilkan sebuah data dari berbagai sistem. Ada beberapa pertanyaan yang muncul mengenai pengelolaan data. Siapakah yang berhak untuk mengakses data-data tersebut? Pemerintah kota? Pemilik gedung atau properti ? atau bahkan penyedia layanan cloud? Mungkin diantara pertanyaan tersebut, bakal muncul pertanyaan yang lebih penting lagi, siapakah yang mempunyai hak untuk mengamankan data-data tersebut?
Oleh karena itu, pengelolaan data governance ini akan amat penting. Dalam hal akuntabilitas, pemerintah harus memainkan perannya untuk turut ikut serta memandu konsep smart city ini. Solusi untuk hal ini, sepertinya pemerintah harus membuat framework tersendiri demi memandu efektivitas pengelolaan data governance.
Kebutuhan Koneksi
Salah satu bagian inti dan terpenting dari IoT ini adalah jaringan. Untuk membangun smart city dibutuhkan koneksi internet yang super cepat. Kebutuhan internet broadbrand selain untuk mengakses segala sesuatu di internet, juga dibutuhkan untuk menghubungkan sensor-sensor yang nantinya bakal diterapkan. Sensor tersebut pada umumnya akan hadir berupa unit perangkat yang tidak akan selalu online, serta mengarah pada low-power Wide Area Netwrok (WAN), Bluetooth, atau hal lainnya.
Kebutuhan jaringan broadbrand akan menjadi lebih penting lagi apabila pemerintah kota menyadari bahwa golongan masyarakat dengan segmen ekonomi yang rendah kurang memahami dunia digital. Golongan masyarakat ini pada umumnya tinggal di wilayah dengan penetrasi broadbrand yang rendah.
Maka dari itu, dibutuhkan lobbying pemerintah oleh para pelaku industri IoT agar konektivitas broadbrand tersebar merata dan andal dapat terwujud. Karena jika jaringan broadbrand belum merata, maka masyarakat tidak dapat menikmati manfaat smart city secara utuh.
Kebutuhan Standardisasi
Katalin Gallyas (CEO Civic Tech Amsterdam) pernah menerangkan bahwa, pendekatan kolaboratif perlu diperhatikan guna membangun kota pintar. Katallin menuturkan lebih lanjut, smart city jangan diperlakukan sebagai pasar. Namun, open smart city market juga harus dibuat berdasarkan kebutuhan komunitas perkotaan, interoperabilitas dan standar.
Oleh karena itu, pemerintah kota dianjurkan untuk terlebih dahulu mencari informasi dari berbagai sumber untuk mencari solusi yang tepat agar dapat diterapkan dengan benar di wiliyahnya.
Standardisasi juga bukan sekedar hanya “menyulam” teknologi-teknolgi smart city yang ada, tapi juga dapat memadukan proses serta pengelolaannya. Dan yang lebih terpenting, pemerintah maupun masyarakat dapat menikmati smart city secara efektif guna mendukung segala aktivitas kota lebih baik lagi.
Itulah beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh para pelaku industri IoT dan pemerintah kota agar konsep smart city dapat diterapkan dengan baik.(rf)
