Jumat, 1 Agustus 2025
Selular.ID -

Tarif Interkoneksi Asimetris Bakal Untungkan Pelanggan

BACA JUGA

ridwan-effendiJakarta, Selular.ID – Pro kontra soal interkoneksi terus bergulir, pasca ditundanya penerapan tarif baru oleh pemerintah. Sementara publik masih menunggu sampai kapan penundaan diterapkannya tarif interkoneksi baru, para pakar juga terus memaparkan beragam pendapatnya.Sebut saja Muhammad Ridwan Effendi yang dikenal sebagai seorang pakar dalam bidang telekomunikasi.

Menurutnya, adalah suatu yang wajar jika telepon antar operator itu berbiaya mahal, karena melibatkan dua operator, operator A dan operator B, sehingga tentu saja karena mengguna dua jaringan yang berbeda, maka tarifnya sudah bisa diprediksi akan mahal.

Lebih lanjut, pria yang juga pernah menjadi anggota Komite Regulasi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia selama dua periode itu menganggap wajar jika biaya masing-masing operator dalam interkoneksi berbeda-beda.

“Misalnya dari XL Rp65 per menit, kalau kita analisis kenapa bisa 65, angka ini memang murah tapi wajar karena melihat sinyal XL berada di daerah yang untung saja dan juga pelanggannya banyak. Kemudian angka Indosat lebih tinggi sedikit Rp86 per menit, Slamet mestinya juga menilai ini juga wajar, karena sinyal Indosat ada di daerah untung dan lebih luas daripada XL,” tandas Ridwan.

Begitupun dengan operator Tri, angkanya itu Rp120 per menit, meski Ridwan menilai angka ini agak mahal, tetapi itu juga wajar, karena sinyal Tri ada di daerah untung saja, tapi pelanggannya cuma sedikit. Jadi, biaya yang dibebankan ke pelanggan jadi lebih mahal.

Untuk Telkomsel meski biaya interkoneksinya tergolong mahal dibanding operator-operator lain, ini juga dinilai wajar.

“Nah, sementara Telkomsel kabarnya Rp285 per menit, mahal, tapi wajar ngga, ya wajar, karena sinyal Telkomsel sudah ada di seluruh kabupaten kotamadya di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Maka di daerah yang tidak ada listrik pun Telkomsel selalu masuk. Sehingga angka-angka XL 65, Indosat 86, Tri 120, dan Telkomsel 285 itu sesungguhnya wajar ada yang murah dan ada yang mahal,” bebernya.

Adapun yang jadi soal, lanjut Ridwan, kita ingin tarif telepon itu semakin murah. Lalu, bagaimana agar tariff telepon bisa menjadi murah. Dalam hal ini Ridwan membeberkan dua model penurunan biaya jaringan interkoneksi, yakni simetris dan asimetris.

Bila menggunakan simetris dalam penerapannya penentuan tarif tidak berdasarkan biaya jaringan setiap operator. “Karena kita tidak memperhitungkan modal atau biaya masing-masing operator, semua operator dibayar berdasarkan biaya yang dikeluarkan Telkomsel, simetris. Jadi, angka yang diajukan itu adalah angka dari Telkomsel. Jadi, total biaya interkoneksi dua operator maksimum karena berdasarkan biaya Telkomsel jadi 285 ditambah 285, jadi totalnya Rp570,” tandas Ridwan.

Lebih lanjut, Ridwan mengatakan kalau dibandingkan dengan asimetri, yang dihitung berdasarkan biaya masing-masing operator, maksimum akan didapat angka Rp405. Angka 405 diperoleh dari biaya maksimum pertama (milik Telkomsel) dan biaya maksimum kedua (milik Tri).

“Jadi kalau kita bandingkan angka 570 dan 405 kan lebih murah yang 405. Jadi, sesungguhnya untuk menurunkan tarif seharusnya pertama menggunakan model asimetri. Jadi, pelanggan akan diuntungkan kalau menggunakan model asimetris,” kata Ridwan ketika menjadi pembicara di Seminar Aspek Persaingan Usaha dalam Penerapan Tarif Interkoneksi yang digelar oleh Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum UI hari ini (9/9).

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU