Jakarta, Selular.ID – Ada sejumlah catatan menarik saat saya menyimak sambutan singkat Menkominfo Rudiantara dalam perayaan HUT XL Axiata ke 19 di Grha XL, Jakarta (16/10/2015). Menurut menteri yang akrab dipanggil Chief RA ini, industri selular sesungguhnya masih sangat prospektif, karena meski revenue dari basic service menurun drastis, namun layanan data tumbuh eksponensial dan menjanjikan pendapatan yang jauh lebih baik karena ARPU data masih berkisar Rp 50 ribu – Rp 100 ribu. Jauh dibandingkan pendapatan dari SMS dan voice yang sudah anjlok rata-rata Rp 20.000 – Rp 30.000. Belum lagi belanja konten dan aplikasi yang nilainya lebih besar lagi.
Sayangnya akibat kompetisi yang sudah berdarah-darah, saat ini kondisi keuangan operator bisa dibilang tak memuaskan. Dari enam operator (Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Tri, Bakrie Telcom, Smartfren), hanya Telkomsel yang mampu membukukan keuntungan. Lainnya harus menelan kerugian yang tak sedikit. Repotnya, kerugian bisa terus bertambah terutama dari rugi kurs akibat hutang dollar, mengingat nilai rupiah yang masih rentan terhadap dollar AS.
Agar tidak terus terpuruk, Menkominfo Rudiantara, mengingatkan bahwa operator perlu menjalankan bisnis secara lebih hati-hati.
“Lupakan pelanggan banyak. Buat apa pelanggan mencapai puluhan juta kalau perusahaan sakit. Sekarang waktunya fokus ke pencapaian revenue, sehingga bisa meningkatkan net income dan juga EBITDA”, tegas Chief RA.
Itu sebabnya, Chief RA mewanti-wanti agar operator jangan lagi mengulang perang tarif yang pernah marak di masa-masa sebelumnya. Dahulu demi meningkatkan jumlah customer base, tarif dibandrol hingga ke titik terendah, bahkan terkesan tidak masuk akal karena ada operator yang menerapkan tarif hanya nol nol koma. Itu pun masih dikasih bonus gratis bicara dan seribu SMS. Ujung-ujungnya operator tak mendapatkan keuntungan, yang sesungguhnya sangat penting demi menjaga kelangsungan bisnis.
“Investasi besar yang sudah dikeluarkan harus bisa kembali dalam bentuk keuntungan yang kemudian menjadi modal dalam menjalankan operasional perusahaan, re-investasi sekaligus kontribusi kepada negara dalam bentuk pajak, dan deviden kepada para pemegang saham”, ujar Chief RA.
Rudiantara menilai industri selular memiliki posisi yang sangat strategis terutama dari sisi peningkatan ekonomi. Tengok saja, kontribusi operator selular bagi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama 10 tahun terakhir terus meningkat, mayoritas berasal dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi. Mulai dari BHP untuk layanan 2G, 3G, hingga 4G. Merujuk pada laporan keuangan empat operator yang tercatat di bursa saham, ada sekitar Rp 280 triliun kontribusi operator ke PNBP dalam periode itu.
Memang akibat kompetisi yang marak, sejak 2012, pasar selular sudah jenuh karena jumlah SIM card yang beredar telah melebihi populasi penduduk. Meski demikian, pasar sesungguhnya masih terbuka karena dari 300 juta lebih SIM card yang sudah beredar, sekitar 70% persen saja yang merupakan pelanggan berkualitas. Artinya, saat ini pelanggan yang efektif memberikan revenue hanya sekitar 160 juta-170 juta saja.
Di sisi lain praktek perang tarif juga sudah memakan korban. Setelah Mobile 8 (Fren) terpaksa merger dengan Smart Telecom, Axis akhirnya juga harus lenyap dari peta industri selular. Sang pemilik. Saudi Telecom, memutuskan untuk menjual Axis ke XL Axiata pada 2014. Operator CDMA lainnya, Bakrie Telecom (Esia), hingga kini nasibnya tak jelas. Hutang yang menggunung, membuat anak perusahaan Bakrie Group ini sejak beberapa waktu telah mengentikan layanan dan berpotensi mengalami kebangkrutan. Kita ketahui, pada masa perang tarif berkecamuk, tiga operator ini paling getol mengkampanyekan tarif murah yang pada akhirnya menjadi bumerang.
Bagi saya, himbauan Rudiantara ini sangat tepat. Tidak hanya menyangkut isi pesannya namun juga momentumnya demi kesehatan operator itu sendiri. Apalagi kita ketahui, saat ini operator tengah giat mengkampanyekan penggunaan layanan 4G. Setelah Smartfren meluncurkan 4G LTE di frekwensi 2.300 Mhz dan 850 Mhz, lima operator eks GSM (Telkomsel, XL Axiata, Indosat dan Tri), juga terus menggencarkan jualannya, terutama setelah program refarming 1.800 Mhz berjalan tuntas pada pertengahan November 2015. Alhasil, dengan carrier aggregation eks GSM (1.800 Mhz + 900 Mhz) dan eks CDMA (2.300 Mhz dan 850 Mhz), akses internet kini bisa ngebut hingga 142 Mbps.
Operator tentu berharap banyak agar investasi mahal yang sudah ditanamkan untuk membangun dan mengembangkan jaringan 4G, dapat menjadi sumber revenue yang menguntungkan di masa depan. Namun tentu saja hal itu menuntut kesadaran sebab praktek tarif murah selalu menggoda. Sekali bermain dengan harga, cenderung hingga ke bottom, hingga tak ada keuntungan tersisa. Beruntungnya, saat ini isu tentang revenue dan pentingnya menggaet pelanggan berkualitas terus menggelinding. Operator mulai berhati-hati untuk tidak terjebak lagi pada perang tarif jilid kedua.
Seperti disampaikan oleh Roberto Saputra, Direktur Marketing Smartfren, bahwa operator tentu ingin tetap untung, sementara pelanggan inginnya tarif yang terjangkau. Cuma ia berharap jangan sampai di layanan data ini terjadi perang tarif seperti yang terjadi di voice.
Untuk menghindari terjadinya perang tarif untuk layanan data menurut Roberto yang dilakukan Smartfren adalah memberikan VAS (value added service). Dengan adanya layanan lebih tersebut diyakini Roberto masyarakat tidak akan merasa terberatkan dengan tarif yang ditawarkan operator.
Kalau perang tarif yang terjadi untuk layanan data, operator akan kembali berdarah-darah dalam menjalani bisnisnya. Terlebih tarif internet yang ada di Indonesia saat ini masih terbilang rendah dibandingkan dengan negara lain.
“Kalau kita utak-atik tarif dasar itu gampang sekali diikutin, begitu kita ubah pasti operator lain langsung ikutan,” papar Roberto dalam satu kesempatan.
Lebih lanjut pria berkacamata ini menjelaskan revenue operator dalam layanan 4G LTE ini berasal dari konsumsi kuota. Dengan adanya VAS konsumsi yang dilakukan pelanggan tentu konsumsi akan meningkat dengan sendirinya.
“Ketimbang menaikkan tarif, memberikan layanan VAS jauh lebih baik bagi pelanggan,” pungkasnya.
Seperti halnya Smartfren, XL Axiata juga sudah mengubah kebijakan strategis. CEO XL Axiata Dian Siswarini menegaskan bahwa pihaknya kini tak lagi mengedepankan price leader, sebagai strategi untuk mendongkrak kinerja perusahaan. Sebagai gantinya, Dian lebih memilih profitability focused model. Ini adalah model bisnis yang mengedepankan keuntungan buat perusahaan dan dinilai lebih cocok mengingat kebutuhan pelanggan lebih beragam, khususnya layanan data yang akan menjadi revenue masa depan bagi operator.
Konsekwensi dari strategi ini, jumlah pelanggan XL merosot drastis, dari 55 juta pelanggan menjadi 48 juta. Namun di sisi lain, XL mulai menuai hasil yang positif karena ARPU mulai meningkat. Dian mengungkapkan, ARPU perusahaan pada awal Januari 2015 masih sebesar Rp 27 ribu. Namun di kuartal ketiga, mengalami peningkatan menjadi Rp 31 ribu. Menurut Dian, hal itu menunjukkan usage pelanggan semakin meningkat, terutama di sisi layanan data. Dengan kata lain, pelanggan XL mulai memaksimalkan layanan di luar basic service.
“Tumbuhnya pengguna data juga memberikan peluang bagi XL untuk terus menggenjot layanan bernilai tambah, seperti mobile payment, mobile advertising, e-commerce, dan lainnya”, imbuh perempuan berwajah manis ini.