Pada penelitian pertama, Berkman meggunakan fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) untuk memetakan area otak yang berperan dalam pengendalian diri. Mereka membuktikan bahwa kemampuan individu untuk merespon keinginan bisa diprediksi dengan uji fMRI sehingga besar kemungkinan untuk memberlakukan program penghentian kebiasaan merokok yang disesuaikan dengan kapasitas respon tiap individu secara terukur.
Pada penelitian yang kedua, Berkman dan tim bergabung dengan Janna Dickenson dari UCLA (University of California, Los Angeles). Mereka menguji partisipan dengan mengirimkan 8 SMS tiap hari selama tiga minggu untuk memantau keinginan, mood, dan frekuensi merokok para responden dan mereka diharuskan merespon SMS-SMS tersebut. Selain itu, paru-paru dan urine mereka juga diperiksa secara teratur. Hasilnya, SMS terbukti sama efektifnya dengan peralatan pengumpul data standar yang biasa digunakan pada program berhenti merokok. Alat seharga lebih dari $300 per unit ini tentu jauh lebih mahal dibanding SMS.
Hasil riset ini juga membenarkan hasil riset-riset sebelumnya bahwa pemantauan berkala terhadap kebiasaan para perokok, baik dengan SMS ataupun alat lainnya, membantu untuk mengeliminasi bias memori yang umum pada saat seseorang menginginkan sesuatu. “bagaimana memanfaatan peralatan neuroimaging secara efektif untuk tujuan jangka panjang, seperti penghentiaan kebiasaan merokok menjadi motivasi riset ini. Penggunaan SMS dengan fMRI mungkin adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut,” Ujar Berkman. SMS mungkin menjadi media yang ideal untuk mengintervensi keinginan merokok karena SMS lebih murah dan kebanyakan orang bisa menggunakannya di peralatan yang telah mereka miliki sekarang, dan SMS bisa memberikan hasil yang nyaris instan dalam kehidupan nyata. (Dissa Naratania)