Selular.id – Lanskap keamanan siber global diprediksi akan mencapai titik balik signifikan pada tahun 2026.
Menurut laporan terbaru dari perusahaan keamanan siber Trend Micro, tahun tersebut akan menjadi tonggak di mana kejahatan siber memasuki era otomatisasi penuh.
Para pelaku kejahatan diperkirakan mampu menjalankan serangan secara otonom dari awal hingga akhir, berkat kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi.
Pergeseran ini dinilai akan menambah kompleksitas tantangan bagi organisasi, termasuk di Indonesia, yang tengah mempercepat digitalisasi di berbagai sektor.
Ryan Flores, Lead Forward-Looking Threat Research di Trend Micro, menjelaskan bahwa pergeseran ini akan meninggalkan pola lama kejahatan siber sebagai “layanan” dan masuk ke era operasi yang sepenuhnya otomatis.
“Tahun 2026 akan diingat sebagai tahun di mana kejahatan siber menjadi industri yang terotomatisasi. Kita memasuki era di mana agen AI menemukan, mengeksploitasi, dan memonetisasi kelemahan tanpa input manusia,” ujarnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi transformasi mendasar dalam ekonomi kejahatan siber, yang kini didorong oleh AI generatif dan sistem agentik.
Trend Micro menyoroti bagaimana teknologi ini tengah mengubah cara kerja para penyerang.
Upaya pembobolan tanpa campur tangan manusia yang bisa beradaptasi secara real-time, malware polimorfik yang terus-menerus menulis ulang kodenya sendiri, dan social engineering berbasis deepfake diprediksi akan menjadi alat standar bagi para penyerang di masa depan.
Teknik-teknik yang sebelumnya membutuhkan keterampilan khusus manusia, seperti pengintaian target, pencarian celah keamanan, penyusupan, hingga pemerasan, kini dapat dijalankan secara otomatis oleh sistem yang terus belajar dan beradaptasi dalam hitungan detik.
Baca Juga:
Ancaman Baru yang Lebih Cerdas dan Sulit Dilacak
Malware generasi baru menjadi salah satu ancaman paling menonjol dalam prediksi ini.
Kemampuannya untuk menulis ulang kode secara berkelanjutan membuatnya sangat sulit dideteksi oleh mekanisme keamanan tradisional yang bergantung pada tanda tangan atau pola serangan yang sudah dikenal.
Selain itu, bentuk-bentuk manipulasi sosial, termasuk deepfake suara maupun video, diperkirakan akan menjadi taktik standar para penyerang dalam menipu organisasi dan individu.
Evolusi ancaman ini menunjukkan bahwa kejahatan siber terus meningkat baik dalam skala maupun kecanggihannya.
Lingkungan target serangan juga mengalami pergeseran. Trend Micro memprediksi bahwa lingkungan hybrid cloud, rantai pasokan perangkat lunak (software supply chain), dan infrastruktur AI akan menjadi sasaran utama pada tahun 2026.
Vektor serangan yang umum diperkirakan akan mencakup paket open source yang dirusak, container image yang berbahaya, dan identitas cloud yang over-privileged atau memiliki hak akses berlebihan.
Kerentanan dalam rantai pasokan perangkat lunak menjadi titik lemah kritis karena satu komponen yang terkontaminasi dapat mempengaruhi keamanan seluruh ekosistem.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang disponsori negara (state-sponsored groups) diprediksi akan semakin beralih ke strategi “harvest-now, decrypt-later”.
Strategi ini merupakan aksi spionase yang melibatkan pencurian data-data terenkripsi saat ini, dengan keyakinan bahwa kemajuan komputasi kuantum di masa depan akan memungkinkan data-data tersebut didekripsi.
Pendekatan jangka panjang ini menunjukkan perencanaan yang lebih strategis dan sabar dari aktor ancaman tingkat lanjut.
Perlunya Pergeseran ke Ketahanan Proaktif
Menghadapi lanskap ancaman yang berubah cepat ini, Trend Micro menyarankan agar berbagai organisasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, beralih dari pertahanan reaktif ke ketahanan proaktif.
Kunci utamanya adalah mengintegrasikan prinsip keamanan dalam setiap lapisan pengadopsian AI, operasional cloud, dan pengelolaan rantai pasokan mereka.
Organisasi yang mampu mengintegrasikan penggunaan AI yang etis, pertahanan yang adaptif, dan pengawasan manusia, diprediksi akan lebih sukses menghadapi tantangan di masa depan.
Prediksi Trend Micro untuk tahun 2026 menekankan tiga langkah penting ke depan: visibilitas yang komprehensif terhadap seluruh aset digital, otomatisasi proses keamanan dengan validasi manusia, dan pergeseran budaya organisasi yang menempatkan keamanan sebagai infrastruktur strategis, bukan sekadar fungsi teknis.
“Mereka yang berinovasi secara aman, dengan menyeimbangkan kecepatan dan tata kelola, serta kecerdasan dengan etika, akan menetapkan standar untuk kepercayaan dan ketahanan di dunia yang semakin otonom,” tulis Trend Micro dalam laporannya.
Peringatan ini juga selaras dengan tren yang diungkap oleh analis keamanan lainnya, termasuk pergeseran platform komunikasi di kalangan penjahat siber.
Seperti dilaporkan sebelumnya, ada indikasi bahwa penjahat siber mulai meninggalkan Telegram untuk platform yang dianggap lebih aman, menunjukkan dinamika dan adaptasi yang terus terjadi di dunia bawah tanah siber.
Bagi individu dan bisnis, laporan ini menjadi pengingat penting untuk terus meningkatkan kewaspadaan dan investasi dalam keamanan digital.
Menerapkan langkah-langkah proaktif untuk mengamankan data pribadi dari ancaman siber bukan lagi pilihan, melainkan keharusan di era digital.
Perlombaan senjata antara penyerang dan pembela di dunia siber kini memasuki babak baru, di mana kecepatan, otomasi, dan kecerdasan buatan akan menjadi penentu utama.
Implikasinya bagi industri keamanan siber sangat besar. Perusahaan-perusahaan di sektor ini dituntut untuk mengembangkan solusi yang tidak hanya reaktif tetapi juga prediktif dan adaptif.
Kolaborasi antara sektor publik dan swasta, serta across borders, akan semakin krusial untuk berbagi intelijen ancaman dan mengembangkan kerangka pertahanan yang lebih tangguh.
Tahun 2026 mungkin masih terasa beberapa tahun lagi, tetapi persiapan menghadapi era kejahatan siber otomatis harus dimulai dari sekarang.




