Selular.ID – Di pasar konsol game, publik khususnya para gamer kini hanya mengenal tiga pemain utama. PlayStation (Sony), Nintendo, dan Xbox (Microsoft).
Dengan kuatnya cengkraman dua pemain asal Jepang, Xbox bisa dibilang bertarung sendirian.
Untuk diketahui, kiprah Xbox dimulai pada akhir 1990-an saat Microsoft – raksasa perangkat lunak yang ingin masuk pasar konsol, mengembangkan prototipe berbasis teknologi DirectX PC, yang disingkat menjadi “Xbox”.
Perangkat ini pada akhirnya diluncurkan pertama kali pada November 2001 di AS, bersaing langsung dengan PlayStation 2 dan GameCube.
Konsol perdana besutan Xbox itu sukses dengan penjualan awal yang kuat, didorong game fenomenal Halo: Combat Evolved dan diikuti oleh kesuksesan jaringan daring Xbox Live (2002).
Microsoft terus mengembangkan merek dengan konsol berikutnya seperti Xbox 360 (2005), Xbox One (2013), hingga Xbox Series X/S (2020), menjadikannya salah satu pemain utama dalam industri game.
Meski demikian, dibandingkan dua seteru beratnya, kinerja Xbox kini tengah kedodoran. Tak dapat dipungkiri, Xbox memang tengah mengalami tahun yang penuh gejolak.
Serangkaian PHK, kenaikan harga, dan penutupan studio telah menyebabkan banyak orang menyatakan — bukan untuk pertama kalinya — bahwa Xbox telah mati.
Laura Fryer, mantan produser eksekutif di Microsoft Game Studios, mengatakan pada Juni lalu bahwa perusahaan tampaknya “tidak memiliki keinginan atau benar-benar tidak dapat lagi mengirimkan perangkat keras”.
Senada dengan Fryer, nantan eksekutif Microsoft dan mantan presiden Blizzard Entertainment, Mike Ybarra, mengecam strategi Xbox yang “membingungkan”.
Dalam sebuah unggahan X yang sekarang telah dihapus pada Oktober lalu, ia mengatakan bahwa perusahaan berpotensi menuju “kematian perlahan akibat banyak tusukan jarum”.
Kinerja Xbox belakangan memang terus merosot. Pendapatan keseluruhan perusahaan dari game menurun 2% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan penurunan 29% pada penjualan perangkat keras Xbox, menurut laporan pendapatan kuartal pertama Microsoft untuk tahun fiskal 2026.
Di sisi lain, industri konsol secara keseluruhan mengalami penurunan besar, dengan pengeluaran perangkat keras turun 27% dibandingkan tahun sebelumnya pada November, yang biasanya merupakan bulan belanja yang ramai, menurut laporan terbaru dari perusahaan riset Circana.
Dengan penurunan tersebut, bisa dibilang bahwa November merupakan pencapaian terburuk dalam dua dekade, lapor IGN, mengutip data Circana.
Penjualan gabungan unit Switch dan Switch 2 turun lebih dari 10% selama bulan tersebut. Begitupun penjualan PS5 turun lebih dari 40%, ungkap IGN.
Tetapi perangkat keras Xbox Series mengalami penurunan terbesar dibandingkan pesaing. Tercatat, penjualan anjlok secara dramatis sebesar 70%.
Dalam penjualan konsol, Xbox juga hampir tidak dapat menyamai para pesaing terdekatnya pada tahun ini.
Meski pasar tengah lesu, namun Switch 2 telah terjual 10,36 juta unit sejak debutnya pada Juni lalu, kata perusahaan tersebut dalam laporan pendapatan terbarunya.
Sementara PlayStation 5 terjual 9,2 juta unit sepanjang 2025, menurut hasil keuangan terbaru Sony.
Sebaliknya, Microsoft Xbox Series S dan Series X, dengan penjualan 1,7 juta unit, tidak mampu mengalahkan Nintendo Switch generasi pertama, yang diluncurkan pada 2017 dan telah terjual 3,4 juta unit hingga saat ini, menurut data dari situs pelacak penjualan game VGChartz.
Microsoft sendiri sejauh ini, menolak berkomentar tentang penjualan atau angka Xbox.
Perusahaan tersebut berhenti melaporkan pengiriman unit konsol pada 2015 karena kesenjangan antara Xbox dan PlayStation yang semakin melebar.
Baca Juga:
- ROG Xbox Ally Resmi Buka Pre Order di Indonesia
- Respons Pasar Positif untuk Xbox ROG Ally, ASUS Kaget
Microsoft Xbox Kini Andalkan Game Pass
Tak dapat dipungkiri, Xbox kini tengah berada di persimpangan. Namun menurunnya penjualan konsol, tak lepas dari perubahan strategi perusahaan.
Di bawah kepemimpinan Phil Spencer, Xbox menjadikan layanan berlangganan Game Pass sebagai upaya pengubah permainan.
Hal itu tercermin dari positioning Xbox Series X|S (2020), di mana Xbox tak lagi mengandalkan konsol sebagai sumber utama pendapatan.
Sebagai gantinya, Xbox kini berfokus pada game berbasis cloud dan konten yang luas demi memperluas pasar game di masa depan.
Pachter mengatakan bahwa meskipun Microsoft tidak sepenuhnya meninggalkan perangkat keras, perusahaan membagi audiensnya menjadi pembeli yang sudah ada yang tertarik pada konsol khusus dan semua orang lainnya.
Dalam sebuah wawancara dengan The Verge pada 2019, Spencer mengatakan bahwa ia tidak terlalu fokus pada penjualan konsol, melainkan pada membuat game lebih mudah diakses.
“Saya pikir ketika kita melihat dekade game berikutnya, ketika kita berpikir untuk menjangkau lebih dari 2 miliar orang di planet ini yang bermain game, banyak dari orang-orang itu tidak akan membeli konsol dan PC gaming,” kata Spencer.
Alhasil, sejak beberapa tahun terakhir, Microsoft terus memperluas penawaran judulnya di layanan tersebut.
Layanan berlangganan Xbox Game Pass, yang memberi pelanggan akses ke game dari berbagai penerbit, adalah contoh nyata dari strategi ini.
Tingkat paling dasar platform ini, Game Pass Essential (sebelumnya Game Pass Core), yang harganya $9,99 dan diluncurkan pada tahun 2023 dengan 36 game, sekarang menawarkan lebih dari 50 judul.
Sedangkan anggota tingkat Ultimate yang merupakan kasta tertinggi, ditawarkan banyak kelebihan. Diantaranya, memiliki akses ke lebih dari 500 judul game-game favorit.
Pertumbuhan Cloud Gaming Sangat Pesat
Sejak berupaya fokus pada game berlangganan, Xbox melaporkan rekor 34 juta pelanggan Game Pass pada 2024 dan total pendapatan Game Pass hampir $5 miliar selama tahun fiskal terakhir.
Xbox mengatakan dalam sebuah postingan blog pada November lalu bahwa jumlah jam bermain cloud gaming dari pelanggan Game Pass meningkat 45% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Anak perusahaan Microsoft ini juga mengatakan bahwa pemain konsol “menghabiskan 45% lebih banyak waktu untuk streaming cloud di konsol dan 24% lebih banyak di perangkat lain.”
Dalam pengumuman tolok ukur tersebut, platform ini menambahkan bahwa Xbox Cloud Gaming kini hadir di 30 negara.
Perusahaan juga berekspansi ke India, yang disebut sebagai “pasar game dengan pertumbuhan tercepat di dunia,” rumah bagi lebih dari 500 juta gamer tahun ini.
Meskipun Microsoft menghadapi kritik keras dari pelanggan setelah menaikkan biaya paket Ultimate sebesar 50% dari $19,99 menjadi $29,99 pada Oktober lalu, perusahaan tersebut dilaporkan sedang menguji versi Xbox Cloud Gaming yang didukung iklan.
Analis utama senior Omdia, George Jijiashvili, mengatakan kepada CNBC bahwa layanan Game Pass gratis kemungkinan akan berfungsi sebagai alat akuisisi pengguna, terutama bagi para gamer yang belum berinvestasi di konsol.
Namun, karena biaya tinggi yang terkait dengan cloud gaming, layanan yang didukung iklan kemungkinan tidak akan mampu menghasilkan pendapatan yang signifikan, katanya.
Cloud gaming pada dasarnya sulit untuk diskalakan karena perlu menyeimbangkan daya komputasi dan biaya operasional dengan keterjangkauan pengguna.
“Dengan cloud gaming kelas konsol, Anda pada dasarnya perlu menjalankan setiap instance game di server,” kata Jijiashvili.
“Anda membutuhkan perangkat keras khusus untuk setiap orang yang melakukan streaming game, artinya itu tidak dapat diskalakan.”
Terlepas dari keterbatasan skalabilitas game, Microsoft tampaknya berkomitmen untuk melakukan apa yang telah mereka lakukan dengan produk-produk lainnya — memindahkannya ke cloud.
“Mereka telah berevolusi menjadi perusahaan layanan cloud utama,” kata Pachter.
“Jadi, semua yang telah mereka lakukan sejak mulai mengakuisisi studio di Xbox telah diarahkan pada pengalaman terhubung di rumah untuk menikmati hiburan.”




